Para Suami, Bersabar Atas Sifat Buruk Istri

Ngaji1778 Views

Oleh: Shafiyan Atsauri

BerbagiNews.com – BERSABARLAH ATAS SIFAT KASAR ISTRI KALIAN JANGAN CEPAT MENCERAIKANNYA, LEBIH BAIK NAMBAH DARI PADA BERCERAI DAN JAGALAH SHOLAT SUNNAH BERJAMAAH DENGANNYA DI RUMAH KALIAN INSYA ALLAH SIFAT KASARNYA AKAN HILANG SEBAGAIMANA KISAH SEORANG THABI’IN YANG MEMILIKI SIFAT KASAR SEHINGGA BERNIAT MENCERAIKAN ISTRINYA TETAPI DENGAN SABAR DAN SHOLAT SUNNAH BERJAMAAH BERSAMA ISTRI BELIAU MAKA SELAMA 20 TAHUN BERUMAH TANGGA BELIAU TIDAK PERNAH MARAH KEPADA ISTRI BELIAU.

Syaikh Syuraih adalah seorang tabi’in yang ditunjuk oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam.

Setelah Syaikh Syuraih (seorang tabi’in) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Sya’bi (seorang tabi’in), “Wahai Sya’bi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim karena mereka adalah wanita.”

Syaikh Sya’bi bertanya, “Bagaimana hal itu?”
(dalam riwayat lain, bagimana bisa engkau tidakpernah marah dengan istrimu selama 20 tahun?)

Syaikh Syuraih bercerita, “Aku melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”

Wanita itu berkata kepadaku, “Minuman apa yang kamu sukai?”
Aku menjawab, “Seadanya.”
Wanita itu berkata, “Beri dia susu. Aku menduga dia orang asing.”
Syuraih berkata, “Selesai minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya tentang wanita itu.”
Si ibu menjawab, “Anakku.”
Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya).
Wanita itu menjawab, “Zaenab binti Hadhir dari bani Hanzhalah.”
Aku bertanya, “Dia kosong atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).
Wanita itu menjawab, “Kosong.”
Aku bertanya, “Kamu bersedia menikahkanku dengannya?”
Wanita itu menjawab, “Ya, jika kamu kufu’ (sepadan).

Baca Juga :  Indahnya Hidup Dalam Bertawakal

Aku meninggalkannya pulang ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai shalat aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat. Aku shalat ashar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu.

Pamannya bertanya, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menjelaskan keinginanku, lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai. Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal. Aku berkata dalam hati, “Aku telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.

Aku berniat menceraikannya, kemudia aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak, barulah ditalak.

Berapa hari setelah itu para wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah, aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunnah jika laki-laki bersatu dengan istrinya untuk shalat dua rakaat dan dia pun demikian.”

Aku beridiri shalat, kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga shalat. Selesai shalat para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup dengan minyak za’faran.

Manakala rumah telah sepi, aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu.”

Aku berkata kepada diriku, “Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia berkata, “Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang diridhai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya. Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.”

Baca Juga :  Al-Qur'an Mengajak Kita Untuk Berbahagia

Dia bertanya, “Jelaskan kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”

Aku menjawab, “Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.”

Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.

Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku.

Aku berkata kepada ibu mertuaku, “Selamat datang.”
Ibu mertua berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?”
Aku menjawab, “Baik, alhamdulillah.”
Ibu mertua bertanya, “Bagaimana istrimu?”
Aku menjawab, “Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”

Ibu mertua berkata, “Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan dimana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.”

Syuraih berkata, “Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, ‘Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu?’ Kujawab, ‘Terserah mereka’.”

Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya. (Shafiyan Atsauri).

Penulis : Shafiyan Atsauri