Covid-19 dan Perubahan Sosial (Kajian Sosiologi Agama: Potret Ritual Keagamaan di Masa Wabah)

Opini3238 Views

BerbagiNews.com – Memasuki tahun 2020 masyarakat global (Indonesia), dihebohkan dengan sebaran virus bernama corona (Covid-19). Kasus dan awal penyebaran Covid-19 ini diduga berasal dari kota Wuhan China di akhir tahun 2019 yang kemudian menyebar secara global ke seluruh Negara di dunia. Walaupun kemudin muncul counter opini melalui berita bahwa asal mula penyebaran Covid-19, berasal dari amerika serikat, Eropa bahkan ada yang mengatakan dari Indonesia, namun hal itu tidak terlalu penting, yang jelas realitas hari ini penyebaran Covid-19 sudah hampir ke seluruh Negara di belahan bumi ini.

Virus corona (Covid-19) menjadi seperti hantu “zombie” menakutkan dan mematikan bagi tatanan kehidupan global, karna hampir Negara di dunia terpapar Covid-19. Dapat disebut sebagai “Tragedi Kemanusiaan Terbesar” sepanjang abad ini, karna biasanya kasus terkait virus, (flu burung, flu babi, ebola, colera) sebenarnya muda terdeteksi dan lokalistik, berbeda dengan Covid-19 sebenarnya sulit terdeteksi dan menyebar hampir keseluruh dunia. Sehingga Covid-19 berdampak serius terhadap sendi kehidupan masyarakat global, mulai sendi sosial, ekonomi, kesehatan, politik, budaya, hukum, dan keagamaan.

Menggunakan kerangka teori perubahan sosial Karl Marx dalam buku “On Society and Social Change”, Marx membagi struktur sosial masyarakat ke dalam dua struktur, yaitu struktur dasar (basic structure) berupa cara dan alat produksi (persoalan ekonomi) dan suprastruktur terdiri dari realitas abstrak yaitu kesadaran dan realitas terinstitusional seperti agama, keluarga, politik, hukum, budaya dll.

Menurut Marx prubahan sosial di dorong oleh posisi dan situasi basic struktur (ekonomi), sehingga tatanan suprastruktur (agama,budaya,sosial,keluarga,politik, dll) sangat ditentukan oleh basic struktur (ekonomi). Artinya ekonomi menjadi faktor dominan dan penentu arus perubahan sosial di masyarakat. Namun teori Marx untuk saat ini kurang dapat dijadikan landasan pembacaan terkait faktor utama pendorong perubahan sosial masyarakat. Berdasarkan realitas sosial yang terjadi saat ini, faktor utama (basic struktur) pendorong perubahan sosial masyarakat adalah dikarnakan virus, bukan faktor ekonomi sebagaimana teori Marx. Sebab munculnya Covid-19, mampu merubah bangunan suprastruktur (ekonomi, budaya, hukum, sosial, kesehatan dan keagamaan) di masyarakat.

Pasca sebaran Covid-19 melanda Indonesia sejak tiga bulan terakhir (Februari-April 2020) terjadi prubahan luar biasa pada bangunan suprastuktur (ekonomi, sosial, politik, budaya, agama) di masyarakat.

Untuk mencegah dan melawan sebaran Covid-19 pemerintah Indonesia dan Negara-negara didunia menerapkan protocol kesehatan yang di keluarkan oleh World Health Organitation (WHO), yaitu menerapkan strategi psyhical distancing (jaga jarak fisik), sosial distancing (jauhi kerumunan orang), stay at home (berdiam dirumah), anjuran cuci tangan, pengunaan masker Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) atau lockdown terbatas, sementara Negara lain langsung menerapkan lockdown total yaitu penutupan akses kelur masuk bagi daerah terdampak Covid-19, Seperi di NTB saat ini.

Kebijakan tersebut secara langsung atau tidak langsung berdampak pada perubahan tata pola relasi dan struktur sosial masyarakat. Dampak sosial dan ekonomi dipastikan terdampak akibat merebaknya wabah virus corona di Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski kebijakan Pemerintah Provinsi NTB saat ini tetap diarahkan bagi penanganan medis dan pencegahan penularan Covid-19 ini, namun pemerintah provinsi NTB juga memikirkandampak ekonomi masyarakat berkaitan dengan menurunnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokoknya.

Baca Juga :  Memaknai Perayaan Imlek 2021 Sebagai Momentum Memupuk Rasa Persaudaraan dan Harapan Baik di Masa yang Sulit

Pemerintah provinsi NTB saat ini sudah mulai menyiapkan sejumlah program jaring keamanan sosial, salah satunya yakni pemenuhan bahan pangan, pendataan UMKM di tengah melesunya perekonomian masyarakat terutama yang terdampak Covid-19. Apa yang menjadi kebutuhan daerah, payung-payung hukum untuk bertindak dalam penanganan Covid-19 baik melalui inpres, surat edaran maupun maklumat sudah di sampaikan, dipedomani, disosialisasikan dan dikonsolidasikan ditingkat organisasi perangkat daerah (OPD) yang ada di kabupaten/kota se NTB.

Beberapa perhatian utama lainnya seperti pengawasan pada pintu-pintu masuk NTB di laksanakan dengan protocol penanganan standar yang dilaksanakan oleh dinas perhubungan, mulai dari pintu-pintu kedatangan, dengan berkolaburasi bersama kantor kesehatan pelabuhan (KKP). Dan dinas kesehatan juga tetap melakukan protocol penanganan Covid-19.

Wabah Covid-19 yang melanda dunia saat ini, termasuk di NTB dan khususnya di Lombok sebagai pulau seribu masjid sangat mempengaruhi masyarakat, baik sosial maupun budaya. Dengan merebaknya wabah ini, gubernur mengeluarkan edaran agar masyarakat tidak melakukan kegiatan pengumpulan massa. MUI akhirnya mengeluarkan fatwa dan mendiskusikan waktu, Masjid di liburkan untuk ritual keagamaan, seperti shalat berjamaah, sahalat jum’at dan shalat tarawih.

Banyak masyarakat yang menentang dengan persetujuan ini, bahkan sampai saat ini, masih ada masjid yang tetap melakukan shalat jum’at dan shalat tarawih. Dan disinilah kita melihat, bahwa saat masjid libur dan masyarakat melakukan shalat dari rumah, Kita melihat, bahwa masjid meminta Snouck tadi, Bahwa islam ritual inilah yang sangat pinggiran, dan dipelihara, karena masjid menyediakan ruang ritual dan sich membuat kompilasi ritual itu diliburkkan, maka masjidpun kehilangan ruangnya. Sementara masjid membahas kita membahas dalam ajara islam, ia adalah pusat komando. Gerakan dan politik Rasulullah SAW. Ia adalah pusat pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, dan ia juga adalah pusat ritual ummat. Jadi kompilasi, ritual di liburkan mestinya masjid dapat menjalankan perannya yang lain.

Di NTB sendiri jumlah masjid sekitar 5.500, dan lebih besar dari swadaya masyarakat. Masjidnya pun megah-megah jika kita bandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Di tengah wabah Covid-19 ini, mau tidak mau kita harus mulai merevitalisasi peran masjid sebagai solusi bagi masalah sosial ekonomi masyarakat. Bayangkan saja jika semua masjid di NTB melakukan pembagikan sembako ke jamaahnya.

Ditengah wabah Covid-19 ini, mau tidak mau kita harus mulai merevitalisasi peran masjid sebagai solusi bagi masalah sosial ekonomi masyarakat. Bayangkan saja jika semua masjid di NTB melakukan pembagian sembako kejamaahnya. Anggap saja 1 masjid menyalurkan 250,000 untuk 100 jamaahnya setiap bulan selama covid ini, maka dana yang dibutuhkan hanya 25 juta rupiah. Jika kita jumlahkan seluruh masjid di NTB yang di beli 5.500 itu maka dari masjid saja menyumbang untuk penanganan Covid-19 sudah menambah 137,5 M/ bulan dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 550.000 jamaah.

Baca Juga :  Pupuk Langka, Petani Menjerit

Angka 25 juta/ bulan ini menjadi sangat realistis dan dapat di jalankan oleh masjid selama covid ini berlangsung. Terlebih di bulan suci ramadhan ini terjadi harga dan ekonomi melesu dengan kehadiran wabah ini, maka peran sentral masjid di perlukan. Masjid takmir perlu dibuka lagi masjid gembok yang telah dipasang, tidak perlu memasang masjid sebagai pusat ritual ummat, tetapi menjalankan masjid sebagai pusat menyelesaikan masalah sosial ekonomi ummat.

Dibawah ini digambarkan perubahan struktur sosial masyarakat akibat Covid-19:

  1. Aspek Ekonomi: Covid-19 berdampak terjadinya “kegoncangan” (disstabilitas) struktur ekonomi di masyarakat. Kegoncangan ini dikarnakan adanya kebajikan pembatasan atau pentupan produksi, seperti warung-warung kecil, dan pedagang-pedagang lainnya, karena harus menerapkan physical social distancing. Pembatasan/penutupan itu untuk menghindari kerumunan manusia dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Selain itu berdampak pada sector usaha parawisata (Resturant, Warkop, Mall, Hotel, tempat wisata) sebagian besar tutup, sehingga merempet pada usaha transportasi yang loyo-lesu, terutama pada industry pesawat terbang yang mengalami kerugian besar karena adanya kebajikan penutupan akses keluar masuknya bagi warga atau wisatawan asing diberbagai Negara. Situasi ini menambah pengangguran besar-besaran, yang berdampak terjadinya kemiskinan masal, dimana masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga dapat merembet pada terjadinya kerawanan sosial atau “clash sosial”.
  2. Aspek Sosial budaya: Kebijakan physical-social distancing sangat berdampak terhadap relasi sosial-budaya di masyarakat. Diantaranya pada sector pendidikan, dimana Kemendikbud RI membuat peraturan belajar dirumah (BDR) dengan sistem daring (online) dan dihapunnya ujian nasional, dengan harapan dapat mencegah covid-19. Sebab peroses pemelajaran selama ini menggunakan sistem klasik yaitu berjumpa secara fisik guru dan murid dalam satu kelas. Covid-19 juga berdampak kemunculan “paranoid sosial” dalam pergaulan sosial budaya dimasyarakat. Paranoid sosial adalah sebuah situasi sosial dimana sikap kecurigaan berlebihan (ketakutan) antara individu dengan orang lain, karna orang dianggap berbahaya terhadap keselamatan jiwa dan raganya. Paranoid sosial diantaranya keenganan atau ketakutan bersalaman dengan orang, bersilaturahim “cengkrukan” dengan saudara teman atau tetangga, dan membatasi ketemu oleh orang banyak, serta gang-gang jalanan kampung dan perumuhan ditutup. Dan kasus paling heboh menggeterkan jiwa kemanusiaan kita adalah ditolaknya para mayat yang terpapar covid-19 di pemakaman kampung nya sendiri, padahal sebelumnya karakter sosial budaya masyarakat Indonesia adalah sangat sosialis,egaliter,guyub,rukun,suka silaturahim, kultur ini seakan hilang dan terkikis ditengah pendemi Covid-19. Situasi ini disebabkan dalam pikiran mereka terjadi ketakutan berlebih terhadap orang lain yang dianggap semuanya dapat menularkan Covid-19 terhadap dirinya.
  3. Aspek politik: Masifnya sebaran Covid-19 berdampak pada dunia politik, yaitu terjadinya “eningma politik”. Enigma politik adalah situasi sosial politik, yang penuh teka-teki atau ketidak jelasan terhadap proses-proses kegiatan politik di masyarakat. Seperti ditundanya hajatan politik pilkada Gubernur-wakil gubernur, pilkada Bupati-wakil bupati dan ditundanya pilkades sampai dengan waktu yang belum pasti hingga Covid-19 mereda. Penundaan proses politik ini berimbas pada individu dan keluarga calon, yaitu semakin membengkak biyaya politik dan kegelisahan pikiran dan jiwanya, karna menunggu lama dan tidak pasti, sehingga dapat mudah terserang stres dan penyakit. Serta berdampak terhadap tata kerja politik pemerintahan, seharus sudah tahap pergantian kepemimpinan akhirnya diperpanjang.
  4. Aspek keagamaan: berdampak terhadap kehidupan keagamaan, beragama disini maksudnya adalah situasi dimana ritual-ritual suci keagamaan yang biasa dikerjakan secara bersama-sama di ruang publik dan sekarang bergeser dilaksanakan di ruang privat (rumah) dan dilakukan bersama keluarga. Semisal larangan shalat fardhu,shalat jumat,shalat tarawih dan shalat idul fitri secara berjamaah di masjid atau lapangan. Bahkan tradisi mudik lebaran yang menjadi ritual tahunan dan tradisi unik masyarakat muslim Indonesia terancam dilarang, sehingga lebaran tahun ini akan sepi, tidak ada gempita tadrus Al-Qur’an, Shalat terawih berjamaah, berbuka puasa bersama, tidak ada gempita pembelian baju baru, sepinya gema takbiran, silaturahim sanak keluarga. Padahal mudik dan merayakan I’ddul Fitri bersama sanak kelurga merupakan “cita-cita” yang ditunggu bagi para perantauan untuk pulang, dan teradisi mudik berdampak selain sebagai pemenuhan rasa rindu bertemu keluarga, berdampak pula pada peningkatan sector ekonomi lainnya. Maka adanya larangan mudik, diprediksi terjadinya kelesuhan ekonomi di masyarakat.
Baca Juga :  Apa Kabar Petani Kabupaten Lombok Timur, Apakah Sudah Sejahtera?

Adapun perdebatan menyikapi pandemic covid-19 di masyarakat. Ada tiga arus penyikapan masyarakat terhadap pandemi, Pertama sikap sangat percaya jika kita mengikuti semua prosedur ilmu kesehatan, maka kita sehat dan selamat dari Covid-19. Sikap ini dalam ilmu Kalam (theologi) disebut aliran “Qodariyah”.

Kedua, sikap percaya penuh kepada kehendak Allah, virus dan kematian semua bagian dan sudah diatur oleh Allah sang maha kuasa. Artinya jika Allah sudah mentakdirkan mati, pasti akan mati walaupun sudah mengikuti anjuran ilmu kesehatan atau sebaliknya, jadi pasrahkan semua kepada kehendak Allah. Sikap dalam ilmu kalam (theology) disebut aliran “jabariyah”.

Ketiga, Sikap tetap mengikuti anjuran ilmu kesehatan dan terus berdo’a meminta kesehatan dari Allah, sebagai ikhtiar keselamatan dari Allah, sebagai ikhtiar yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh manusia secara maksimal, kemudian pasrahkan semua hasil dari ikhtiar kepada kehendak Allah (tawakal). Sikap ini dalam ilmu kalam di sebut aliran “As’ariyah”. Perdebatan semacam ini jarang terjadi dipublik dan mnyeruak kembali di saat pendemi Covid-19 di masyarakat.

Semoga wabah virus ini segera berakhir, Dan terakhir hanya Allah yang punya kebenaran sejati. *