Cerita DiBalik Tradisi Dilah Maleman Lombok

Lombok, BerbagiNews.com – Dilah dalam bahasa Indonesia yaitu lampu, jojor adalah bentuk dari lampu itu. Dilah Jojor terbuat dari buah jamplung yang sudah mengering dan sudah jatuh dari pohonnya dengan cara dibakar.

Dilah ini memiliki ukuran yang bervariasi tergantung dari si pembuatnya, yang biasanya ukurannya ada yang 15 cm, 20 cm, hingga 30 cm. Cara membuat dilah jojor ini bisa dibilang lumayan rumit karena proses pembuatan yang sangat panjang. Caranya yaitu buah jamplung yang kering dikupas dan biji buah jamplung dijemur lagi hingga semakin mengering, barulah setelah itu disangrai sampai gosong dan menjadi hitam pekat dengan bau yang menyengat.

Selanjutnya langsung diulek menggunakan cobek (ulekan) yang terbuat dari batu. Biji buah yang sudah gosong tersebut harus langsung diulek selagi masih panas agar mudah menguleknya karena jika sudah dingin akan sulit untuk melembutkannya disebabkan karena tekstur buahnya akan menjadi lebih keras, dan oleh karena itu cobek tidak boleh jauh dari tempat menyangrai agar mudah untuk melembutkannya. Terakhir buah yang sudah lembut itu dicampur dengan kapas dan dililit dengan menggunakan bambu seperti halnya membuat sate pusut .

Untuk nama dilah jojor sendiri diambil dari bentuk dilah atau lampu yang dibuat mirip dengan sate yang berbentuk jojor. Menurut keterangan yang di himpun Pejuang Berbagi dari salah satu tokoh masyarakat , tradisi ini diyakini sebagai bentuk perwujudan harapan Lailatul Qadar turun kerumahnya . Penerang atau dilah ini dianjurkan untuk dinyalakan oleh nenek moyang ketika selesai berbuka puasa dan shalat magrib , menjelang pergi tarawih pada sepuluh malam terakhir dihari ganjil pada bulan puasa atau ramadhan .

Ditinjau dari sejarah penggunaan dilah jojor pada zaman dahulu dikarenakan kebutuhan akan listrik yang minim membuat warga masyarakat memanfaatkan sumber alami untuk membuat alternatif penerangan, berbagai bahan dicoba dan dicampur untuk membuat nyala api yang pas tetapi seringkali menemukan kendala. Namun keinginan dan rasa penasaran yang tinggi membuat nenek moyang terus berkreasi hingga ditemukanlah bahan yang pas yaitu biji buah jamplung dan kapas. Kandungan minyak pada biji jamplung menghasilkan api yang sangat bagus untuk penerangan. Ditambah lagi dengan bahan kapas yang sangat mudah terbakar, dan jika dipadukan, menjadi bahan yang lumayan awet menyala, dilah ini bisa bertahan hingga 10 sampai 15 menit tergantung dari ukuran dan jenis bahan yang digunakan. Semakin besar dan bagus bahan yang digunakan tentu nyala dilah akan semakin lama.

Baca Juga :  Wisata Religi Mataram, Makam Raden Garim (Guru Jeraeng) di Resmikan

Dari tradisi inilah dasar masyarakat di Pulau Lombok sampai saat ini selalu memperingati maleman dan biasanya disetiap malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir disetiap bulan ramadhan, dengan  menyalakan Dilah Jojor di setiap sudut rumah bahkan sampai ke makam sanak saudara yang sudah tiada. (red)