Media Massa Tingkatkan Kecemasan

Opini1886 Views

Berbagi News – Mall antre, pasar ramai, jalanan memadat. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bertempur dengan suasana menjelang lebaran. Baju baru, silaturahim, dan seluruh persiapan hari raya meminta masyarakat sejenak melupakan pandemi Covid-19. Di sisi lain para petugas kesehatan merasa lelah tak berdaya. Terserahlah, ujar mereka dalam beberapa unggahan viral video. 

Kasus positif Covid-19 meningkat pesat; korban meniggal semakin bertambah; penolakan masyarakat; mati ditelantarkan; adalah beberapa contoh frasa kalimat yang ‘menyenangkan’ awak media. Frasa-frasa kalimat yang menimpuki kecemasan, membuka lebar pintu pesimisme, menjurangkan imunitas, serta ‘pasti’ membuat senang para produsen obat dan vaksin. Betapa tidak, keuntungan global segera bisa dihimpun dari meningkatnya onzet obat dan vaksin.

Helifax-Grof, J. dalam “Hex Death” mengungkap sebuah kasus yang terjadi pada seorang pengacara yang berusia lima puluh tahunan. Ia punya tiga orang anak. Pengacara itu sedang di puncak karier.

Tubuhnya atletis, mencerminkan kondisi kesehatannya yang bugar. Satu-satunya persoalan adalah sakit perut yang dirasakannya datang dan pergi selama beberapa minggu. Pada pemeriksaan medis, tidak ditemukan sesuatu yang mengkhawatirkan.

Hanya saja pria itu bersikeras meminta dilakukan scan perut. Ia hanya ingin memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang berarti di dalam perut.

Permintaannya terkesan melampaui pengetahuan dokter yang merawat. Sang dokter mengikuti saja kemauannya.

Betapa terkejut dokter itu ketika menerima informasi ada benjolan dalam pankreas. Radiolognya mengatakan kemungkinan kanker.

Sang dokter dengan bijak melakukan diskusi dengan pengacara itu. Ia memberikan beberapa kemungkinan solusi yang bisa ditempuh, antara lain melakukan operasi.

“Tak ada operasi”, pasien itu menyanggah sang dokter dengan penuh hormat. “Tak ada gunanya, tak seorang pun selamat dari kanker pankreas,” sambungnya. 

Baca Juga :  UU Kesehatan Omnibus law apakah dapat mengatasi masalah kesehatan di Indonesia?

Dokternya kembali menjelaskan bahwa kesimpulan yang diambilnya belum sepenuhnya benar. Memang secara statistik hasil pengobatan kanker pankreas belum menggembirakan, namun sebagian penderita berhasil selamat.

Lagipula, informasi radiologis bukanlah diagnosis pasti. Masih diperlukan serangkaian pemeriksaan untuk memperoleh hasil akurat.

Hari itu juga pasien minta dimasukkan ke rumah sakit. Ia terlihat sangat cemas dan ketakutan. Apa pun informasi yang ditujukan untuk membuatnya tenang seolah tak berguna. Tatapannya hampa. Ia enggan berbicara kepada siapa pun.

Malam harinya ketika sang dokter berkunjung, pasien itu dalam keadaan terbaring kaku. Rahangnya mengencang, alis matanya mengerut. Walau ia diberi informasi nilai normal hasil tes darahnya, tidak membuatnya berubah. Ia tidak peduli. Lalu, keesokan harinya sang dokter menemukannya meninggal di atas pembaringannya.

Cemas hebat mengantar pasien segera meninggal “sebelum” waktunya.

Informasi Pakar

Kepala Forensik Medis di Hamburg-Jerman, Profesor Dr. Klaus Püschel, bersama tim-nya meneliti para korban meninggal akibat virus corona.

Ia meminta Kanzelir Angela Merkel mulai mencabut lockdown. Menurut temuannya, Covid-19 adalah virus yang tidak terlalu berbahaya. Jerman harus belajar hidup dengan virus itu tanpa karantina.

Korban meninggal yang diperiksanya, semuanya memiliki penyakit serius. Prediksinya mereka semua bisa mati pada tahun ini. 

Pakar mikrobiologi, virologi dan epidemiologi infeksi Austria, Profesor Dr. dr. Martin Haditsch, menyesalkan banyaknya hambatan untuk melaksanakan penelitian post mortem (pasien meninggal), dengan alasan protokol Covid-19 untuk perlindungan infeksi.

Konsekuensinya penyebab kematian sesungguhnya dari mereka yang dites positif tidak bisa diketahui secara akurat.

Pemeriksaan otopsi minimal (terbatas) sekedar menemukan apa yang dicari, tetapi tidak bisa menghasilkan temuan penting yang lain. Bila penelitian bisa dilakukan secara seksama pastilah kematian akibat Covid-19 jauh lebih sedikit daripada angka-angka yang dilaporkan.

Baca Juga :  Romantisme Islam dan Pancasila Sebagai Ideologi Negara

Dr. Bodo Schiffmann, pakar medis ini menegaskan bahwa ketakutan terhadap Covid-19 didasarkan pada perkiraan angka kematian yang tinggi, seperti dikatakan WHO dan beberapa organisasi di dunia sekitar 2-4% dari mereka yang tertular.

Menurutnya ini kesalahan besar. Sangat sulit mencegah penularan virus, sehingga jumlah infeksi semestinya jauh lebih besar daripada yang resmi dilaporkan. Maka tingkat kematian sesungguhnya jauh lebih rendah daripada angka-angka yang menakutkan itu. 

Profesor Dr. Eran Bendavid dan Profesor Dr. Jay Bhattacharya, para profesor medis di Stanford University AS menyarankan agar menghindar  dari menonton berita televisi yang cenderung sensasional. Itu tidak sehat. Covid ini tidak berbeda dari epidemi flu musim dingin yg buruk.

Data tahun lalu ada 8000 kematian pada kelompok beresiko, dimana 65% lebih adalah pengidap sakit jantung. Kematian Covid sekarang ini tidak melebihi angka itu. Jadi kita saat ini dilanda epidemi media, ungkap Bendavid.

Profesor Dr. John Oxford dari Universitas Queen Mary London, Inggris, ahli virologi dan influenza terkemuka di dunia, menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah mengendalikan kecemasan. Media telah menyebabkan kepanikan yang tidak perlu.

Media terus-menerus memberitakan peningkatan jumlah kumulatif kasus dan kematian, dan tak hentinya menyoroti para selebritas yang terinfeksi Covid.

Padahal sejak September tahun lalu virus lain telah membuat 36 juta orang Amerika sakit flu dan membunuh 22 ribu diantaranya, namun tidak ada kehebohan sebagaimana saat ini karena tidak diberitakan.

Pemberitaan di media massa lebih banyak menyebarkan ketakutan dan kepanikan di kalangan masyarakat. Selanjutnya reaksi lockdown yg ketat menimbulkan akibat yg lebih parah terhadap kemanusiaan daripada penyakit itu sendiri.

WHO mengingatkan masyarakat dunia bahwa virus corona mungkin  saja tidak akan pernah hilang dari muka bumi. Kita harus bersikap realistis, agar masyarakat tetap produktif di tengah pandemi. Masyarakat harus berkompromi dengan Covid dan bisa hidup berdampingan.

Baca Juga :  Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kesehatan Mental Remaja di Provinsi NTB

Berdampingan bukan berarti menyerah, tapi menyesuaikan diri dan melawan dengan tetap mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat.

Tulisan ini pasti bukan bermaksud meremehkan informasi pandemik. Tetapi bersikap tenang, obyektif, terus berupaya penuh optimis merupakan sikap yang menguntungkan. Setidaknya informasi para pakar di atas bisa menjadi dasar optimis yang obyektif. (Prof. Dr. dr. Abdurachman, M.Kes)