Darurat Covid-19, Melahirkan Diktator atau Negarawan

Opini1301 Views

Berbagi News – Dalam kondisi dunia yang mengalami pandemi Covid-19, berbagai negara melakukan pandekatan yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk negara dan konstitusi masing-masing negara, dalam mengunakan sumber daya negara dan kekuasaan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 ini.

Ada pula negara yang memberikan hak istimewa kepada pamerintah untuk mengantisipasi kondisi dan dampaknya tanpa pertanggungjawaban.

Belajar dari sejarah terkait pemberian hak istimewa pemerintah dalam mengelolah negara.Misalnya Republik Romawi Kuno. Yang mana hak istimewa disebut diktator seperti inilah yg membuat republik Romawi kono (Romawi barat) yang sudah dibangun selama 500 tahun runtun akibat konsul (presidium negara/kepemimpinan kolektif sekarang) di berikan hak istimewa oleh konstitusi untuk mengatasi darurat, dengan jangka waktu maksimal 6 bulan untuk mengatasi kondisi darurat tersebut, maka jabatan Konsul berfungsi mengatasi kondisi darurat melaksanakan fungsi diktator atau kekuasaan hak istimewa dan berkusa penuh  paling lama 6 bulan guna memulikan kondisi darurat, kerena keenakan berkuasa penuh tampah kontrol dan tanggung jawab, walau fungsi Diktator dari seorang Konsul lebih dari 6 bulan. inilah yg membawa keruntuhan pada republik Romawi pada tahun tahun akhir sebelum masehi dibawa kekuasaan Diktator terakhir Yulieus Kaesar. Maka istilah “Kaisar” awalnya adalah nama keluarga atau marga, berubah menjadi bentuk negara dan pemerintahan. Begitu juga istihah “diktator”, dari sebutan untuk jabatan, berubah menjadi penguasa absolut/penguasa diktator.

Kekuasan absolut inilah yang menghancurkan seluruh peradaban. Berkaca dari sejarah absolutnya kekuasaan penguasa Romawi, telah merubah wajah dan bentuk negara Romawi. Mulai dari Kerajaan menjadi Republik, dari republik menjadi Kekaisaran. Ini semua terjadi karena kekuasaan absolut yang malahirkan kekuasaan anti kritik dan hilang dari kebijakan. Diktator juga bisa melahirkan kekuasaan yang efektif dalam mengatasi krisis dan bisa pula melahirkan pemerintahan yang bijak dalam pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

Baca Juga :  Membangun Semangat Generasi Muda Muslim Di Masa Pandemi Dengan Nilai-Nilai Pancasila

Dalam pandekatan yang lain pada abad pertengahan dan era modern diktator bukanlah semata-mata warisan sistem feodal masa lampau. Bangsa yang memilih sendiri pemimpinnya, atas nama demokrasi, beberapa kali terjebak dalam rezim diktator yang merampas kemerdekaan rakyat. Pada dasarnya, diktator adalah pemimpin negara yang memerintah secara otoriter atau tirani. Biasanya dia naik takhta dengan menggunakan kekerasan, seringnya melalui kudeta. Meski ada pula diktator yang naik takhta secara demokratis, seperti Adolf Hitler.

Dunia pernah dihiasi rezim diktator, yang rata-rata memerintah negara dan rakyatnya secara represif dengan menyandang hak istimewa dan absolut. Kadang untuk mengukuhkan kekuasaannya, tangan mereka dipenuhi darah rakyatnya. Padahal, istilah yang diambil dari etimologi Romawi ini bertujuan sebagai “pemerintahan darurat” pasca-perang saudara, dan hanya berselang 3 hingga 6 bulan, sebelum dipilih pemimpin baru dari jajaran konsul. Namun, para pemangku rezim fasis ini haus kekuasaan dengan mengatasnamakan demokrasi, sosialisme, dan ideologi-ideologi yang umumnya menolak kapitalisme serta monarki (meski akhirnya mereka pun memahkotai diri).

Pada abad ke-20 diktator telah menjadi tiang utama dari rezim-rezim, rezim militer, dan bentuk-bentuk pemerintahan otoriter lainnya. Pada masa antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, rezim-rezim fasis, seperti misalnya Benito Mussolini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman, mencampurkan prinsip-prinsip pemerintahan diktator dengan sistem pemerintahan satu partai, mobilisasi massa, dan pengerahan aktivitas sosial dan ekonomi, dan penggunaan teror polisi secara sewenang-wenang oleh rezim. Setelah tahun 1922, Mussolini membentuk prototipe diktator fasis di Italia yang kemudian ditiru pada tahun 1930-an oleh Adolf Hitler di Jerman. Diktator fasis mengalami kekalahan total oleh Negara-negara Poros pada Perang Dunia II.

Pada masa setelah Perang Dunia II (sesudah tahun 1945), diktator menjadi ciri khas pemerintahan militer, khususnya di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Di banyak bekas koloni Barat (beberapa negara Eropa) di Asia dan Afrika, setelah mereka mencapai kemerdekaan mereka dalam gelombang dekolonisasi setelah Perang Dunia Kedua, bermunculah rezim-rezim kepresidenan yang perlahan-lahan berubah menjadi diktator-diktator pribadi. Rezim-rezim ini sering kali terbukti tidak stabil, dengan personalisasi kekuasaan di tangan sang diktator dan rekan-rekannya sehingga menciptakan sistem politik yang tidak pasti karena munculnya berbagai masalah mengenai suksesi.

Baca Juga :  Membangun Sarjana Hukum yang Berjiwa Entrepreneur dan Humanis

Diktator dan Covid-19

Mengahadapi pandemi covid-19 ini, penulis melihat negara yang sukses mengatasi mewabahnya covid-19, dalam lockdown bisa berjalan sukses adalah negara-negara diktator, bukan negara demokrasi. Karena negara dengan sistem pemerintahan diktator ini sangat ditakuti oleh rakyatnya dalam kepemimpinan. misalnya cina yang berhasil melakukan Lockdown dengan gaya kepemimpinan yang diktator. Kediktatoran ini terbukti efektif dalam menghadapi wabah covid-19 dan menahan penyebarannya. Mereka memberlakukan tindakan keras seperti keadaan darurat dan jam malam di samping menutup toko, bisnis dan tempat-tempat ibadah.

Begitu juga di negara-negara Timur Tengah, tingkat infeksi di sebagian besar negara di Timur Tengah yang otoriter lebih rendah daripada di wilayah ‘demokratis’ seperti Eropa. Berbeda dengan negera yang menganut sistem demokrasi yaitu Amerika Serikat, Italia dan India. Kedua negera ini gagal melakukan lockdown dalam menghadapi pandemi covid-19.

Wajah Lain Diktator

Namun dalam kediktatoran, satu orang mengambil kendali atas seluruh negara dan memaksakan kehendaknya pada warganya. Terlepas dari kebrutalan para diktator terburuk dalam sejarah, di abad ke-21, kediktatoran kembali bergerak. Pemimpin Negara diktator biasanya tidak mau diganti, karena pemimpin diktator ini merasa :
-Segala hal harus seragam atau sama dengan kemauan sang pemimpin.
-Jika menolak seragam, maka mereka yang menolak akan ditumpas.
-Partai politik cenderung menjadi sarana mendoktrin masyarakat.
-Hak Asasi Manusia adalah hal yang mahal harganya.
-Manajemen pemerintahan tertutup, sehingga tidak diketahui oleh publik. Hukum hanyalah alat permainan penguasa.
-Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional.
-Pemilihan umum berjalan sangat tidak demokratis, biasanya, pemilu hanyalah agenda untuk memperpanjang penguasa yang telah menjelma menjadi tiran.
-sistem satu partai politik atau beberapa partai politik tapi hanya ada satu partai yang memonopoli kekuasaan.
-Penyelesaian masalah diputuskan oleh penguasa/pemimpin secara sepihak.
-Penguasa memiliki kemampuan untuk mengintervensi badan peradilan.
-Pemusatan kekuasaan pada satu orang atau sekelompok orang.
-Fungsi hukum sebagai legitimasi progam penguasa.
-Partai politik lebih mengedepankan sosialisasi budaya dan pola pikir yang ditentukan oleh partai.

Baca Juga :  Peran Mahasiswa di Masa New Normal

Diktator atau Demokrasi atas Runtuhnya Keadaban Bernegara

Penulis melihat selama ini sistem demokrasi bisa berakhir menjadi kediktatoran baru. Seperti yang terjadi pada era Romawi kuno, yang menghasilkan koruptor kelas kakap, bahkan menciptakan kapitalis baru. One man one vote dalam Sistem Demokrasi telah memberi peluang kepada kaum borjuis untuk membeli suara rakyat, sehingga saat berkuasa mereka berlomba mengeruk kekayaan untuk mengembalikan modal beli suara, sekaligus mengais keuntungan sebesar-besarnya. Sistem Demokrasi merupakan sumber malapetaka dan kehancuran serta runtuhnya negara.

Sistem Demokrasi penuh intrik dan tipu muslihat, karena sistem ini selalu bertopeng kemanusiaan, kesetaraan, keadilan. Demokrasi adalah suara terbanyak, yang demokrasi bisa menghalalkan yang haram, membenarkan yang salah, dan yang menonjol Nilai KeTuhanan Hadir Dalam Negara demokrasi ini sendiri.

Poin dari tulisan ini adalah kediktatoran bisa bijak jika pemimpin mengedapankan kepentingan rakyat dengan nilai keTuhanan sebagai acuan dan sumber nilai. Begitu juga dengan demokrasi, dalam mengambil keputusan harus sejalan dan tidak bertentantangan dangan nilai-nilai keTuhanan. (Hendriansyah)