Noni Jembatan Ampenan (Bagian Satu)


BERBAGI News – Pantai diburu. Perahu atau kapal dipacu, merapat ke daratan. Wajah-wajah lesu para penumpang berubah cerah, setelah penat dipermainkan gelombang laut yang mencemaskan, juga memabukkan. Tapi begitu berlabuh, kaki-kaki melangkah tergesa menjauhi garis pantai. Pijakan-pijakan kaki meninggalkan jejak di pasir, tapi tak lama lenyap dijilati lidah gelombang pasang. Jejak hilang tiada bekas, seperti keberadaan pantai yang sebentar kemudian terlupakan. Dikenang pun tidak. Selalu begitu selama berabad-abad.

Tapi gemuruh ombak di Pantai Ampenan, mengabadikan kisah orang-orang yang datang dan pergi. Juga tentang mereka yang tak pernah kembali, setelah mereka pertama kali menginjakkan kaki di pasir pesisir.

Bahkan jauh sebelum Lombok ditetapkan sebagai daerah gubernement yang berada dalam kekuasaan Kolonial Belanda di tahun 1895, Ampenan telah menyimpan sejarahnya sendiri. Di tahun 1530 Pedanda Sakti Wawu Rawuh Mpu Dwijendra menyeberangi Selat Lombok. Perahu pedanda tertinggi Kerajaan Gelgel ini ditambatkan di Pantai Ampenan. Sang Brahmana diutus menemui Raja Sasak, Sri Aji Krahengan, seorang sakti yang bertahta di Cakranegara. Ia membawa misi perdamaian, setelah pasukan Gelgel terus mengalami kekalahan. Diserang habis-habiskan bala tentara Sasak, Lombok, di sepanjang pantai timur Bali.

Satu setengah abad sebelumnya, di kitab Negara Kertagama yang ditulis tahun 1364, Mpu Prapanca mendeskripsikan armada dagang Majapahit mengunjungi wilayah timur, mulai dari Sulawesi hingga kepulauan Nusa Tenggara yang kaya rempah-rempah, kapas terbaik, dan kayu sepang. Bandar-bandar di Nusa Tenggara, termasuk Pelabuhan Ampenan, telah mulai berkembang melalui perniagaan maritim sejak awal abad ke-14.

Lidah gelombang menciptakan gulungan ombak. Deburnya menggetarkan hati. Seolah sebuah pesan samudera yang tak henti melampiaskan kemarahan. Tetapi di balik gemuruh yang mencekam, ombak Pantai Ampenan bertutur, menyampaikan cerita. Rekaman riwayat dari masa ke masa. Lebih akurat dari penuturan babad-babad dan kitab purba di atas daun lontar.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Belas)

Orang-orang datang dan pergi. Orang-orang yang tak kembali, adalah mereka yang menemui ajal di berbagai medan perang di tanah Lombok. Atau mereka yang menemukan penghidupan, beranak-pinak, lalu menentukan sejarahnya sendiri.

Mulai abad ke-17, Lombok berada dalam kekuasaan Karangasem, Bali. Lantaran Bali sulit dijangkau kapal besar, perdagangan untuk Bali sebagian besar melalui Lombok. Pengiriman berbagai komoditas melalui Pelabuhan Ampenan, dengan tujuan Singapura.

Dalam kepentingan perniagaan tersebut, penguasa Lombok menggandeng pihak asing, yaitu Denmark dan Inggris. Kerjasama itu di luar sepengetahuan Pemerintah Kolonial Belanda yang notabene sekutu pihak Kerajaan Karangasem. Kantor perdagangan berbendera Inggris dan Denmark didirikan di Lombok. Namun konspirasi itu tercium juga. Belanda merasa terganggu karena kerjasama itu dapat mementahkan klaim Belanda atas wilayah Lombok. Di samping sebagai ancaman yang dapat merugikan kepentingan ekonomi dan perdagangan Belanda sendiri.

Di tahun 1843, Belanda berhasil menghentikan pengaruh kedua negara tersebut dengan menandatangani kesepakatan dengan penguasa Lombok.

Namun, ditandanganinya sebuah perjanjian bukan secara praktis menghentikan segala kepentingan tersembunyi. Belakangan, Belanda mengetahui penguasa Lombok memperkuat pasukannya dengan mengimpor senjata dari Singapura.

Belanda mendapatkan alasan yang tepat untuk melakukan intervensi. Ketika pada 20 Februari 1894, secara resmi pribumi Sasak mengirimkan utusan, meminta dukungan Belanda untuk menghentikan kesewenangan penguasa setempat. Belanda melihat sebuah kesempatan untuk memperluas kendali mereka di Hindia Timur. Memilih untuk memihak kepada Sasak yang telah meminta perlindungan kepada mereka.

Dalam 4 bulan pertempuran sengit sejak pertengahan 1894, Belanda akhirnya berhasil memaksa penguasa Lombok menyerah. Di bawah komando Jenderal Vetter, Mataram hancur-lebur. Pada akhir November 1894, Belanda telah berhasil mengalahkan semua perlawanan. Di pihak lawan, ribuan orang menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan. Sementara pihak Belanda pun kehilangan ratusan prajurit dan gugurnya Jenderal van Ham.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Tiga)

Di tahun 1924, atau 30 tahun setelah kekuasaan Karangasem di Lombok jatuh, Belanda menyempurnakan pembangunan dermaga yang lebih modern di Pantai Ampenan. Sejak itu Ampenan secara resmi memiliki bandar bertaraf internasional.

Kampung nelayan di pesisir Ampenan mulai ramai. Keberadaan bandar mengundang kedatangan orang-orang dan para pedagang dari Nusantara dan sejumlah benua. Ampenan tak lagi hanya dihuni warga lokal. Kedatangan orang-orang Jawa, Banjar, Melayu, Bugis, Arab, Tionghoa, dan Eropa, yang menetap, melahirkan peradaban baru.

Tujuh belas tahun kemudian.

Sebuah kapal besar berbendera tiga warna merapat ke dermaga. Bertolak dari Batavia. Klakson panjang bernada rendah terdengar, sesaat menindas keriuhan di pelabuhan.

Sore mulai meremang. Sisa cahaya jingga matahari menimpa sesosok tubuh yang keluar paling terakhir dari geladak kapal. Ia seperti boneka. Bermata biru, berkulit putih mulus, berhidung mancung mempesona. Rambutnya kecoklatan, berkilau disirami cahaya tembaga penghujung senja. Gadis Eropa dengan kecantikan sempurna seperti dilukiskan dalam roman-roman Barat abad dua puluh.

Debur ombak itu juga yang menyambut sang dara jelita. Menghantam bibir pantai, dinding kapal, dan tonggak-tonggak dermaga. Berdebum, bergemuruh, mencekam. Menjadi saksi kekal atas kedatangannya. Dan cerita pun bermula. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)