Sepenggal Kisah Ahmad Tretetet di Ujung Dermaga Ampenan

BERBAGI News – GELOMBANG itu menarik perhatian Alfred Russel Wallace, ilmuwan dari inggris, ketika datang ke Lombok di tahun 1856. Gelombang yang begitu dahsyat di perairan Ampenan, kedatangannya sering tak terduga. Sering menjadi sumber kecelakaan, menghancurkan perahu-perahu yang ditambatkan di pesisir, dan menyulitkan kapal-kapal bersandar di dermaga. Kendati begitu, entah apa pertimbangannya di pesisir Ampenan yang berada di ujung barat Pulau Lombok ini dijadikan pelabuhan utama selama berabad-abad.

“Gelombang pasang selalu kuat, menciptakan ombak begitu tinggi yang menyebabkan kapal-kapal mustahil berlabuh,” tulis Wallace dalam The Malay Archipelago yang diterbitkan pertama kali, satu setengah abad lampau.

Tapi, satu abad kemudian.

Kapal-kapal kandas, perahu-perahu yang kerap gagal mencapai daratan, tiada pernah terjadi lagi. Bukan lantaran kondisi dermaga Ampenan yang bertambah membaik setelah direnovasi Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1924. Namun problem itu selalu teratasi sejak kemunculan seorang lelaki yang selalu berpenampilan unik. Ia malah sering nampak seperti orang kurang waras. Tertawa cengar-cengir dan ke mana pun ia pergi selalu dikerubuti anak-anak.

“Tadi dia ada di sini,” ucap Saripah, wanita pedagang cendol di Pantai Ampenan.

“Ke mana arah perginya?” seorang lelaki bertubuh tinggi besar berseragam polisi militer bertanya.

Matanya menyapu seluruh sudut pelabuhan. Setengah mil di arah barat nampak sebuah kapal uap, yang tak jua merapat. Kendaraan laut yang membawa ratusan penumpang dari Tanjung Perak, Surabaya, ini sejak berjam-jam lalu tertahan di situ. Sore menjelang petang di awal tahun 1960. Sedang puncaknya musim barat. Tak ada satu pun perahu melaut. Sebentar-sebentar lidah gelombang meluncur deras menghantam bibir pantai. Berdebur, mendebum, menggetarkan hati.

Baca Juga :  Kisah Kewalian TGH. Ahmad Tretetet Jasadnya Hilang Saat dimakamkan

“Dia menuju simpang lima, Bapak,” wanita itu menjawab tanpa memandang lawan bicara. Tangannya sibuk membersihkan gelas dan sendok yang kotor.

Lelaki itu bergegas ke arah yang disebutkan pedagang cendol. Di emper bioskop Ampenan di sudut utara persimpangan ia melihat seorang lelaki empat puluhan sedang asyik menikmati asap rokok kelobot. Rambutnya agak panjang dan awut-awutan. Ia mengenakan sarung dan piyama putih dari kain belacu yang begitu kumal. Entah sudah berapa minggu tak dicuci.

“Assalamu’alaikum, Tuan Guru,” lelaki berseragam itu menjura di hadapan orang yang ia panggil Tuan Guru.

Salamnya dijawab, namun lelaki yang dipanggil Tuan Guru nampak acuh tak acuh, tidak terusik kehadirannya. Mulutnya terus menyedot dan mengepulkan asap rokok daun jagung yang terselip di jarinya.

“Ada kapal kandas, Tuan Guru.”

Lama tak ada jawaban. Lelaki berseragam melihat lawan bicaranya membuang puntung rokoknya.

“Benang. Benang bola.”

Ia dengar jawaban yang samar. Ia bertanya lagi agar lebih jelas.

“Benang bola, benang kasur, Tuan Guru?”

Kembali tiada jawaban. Tuan Guru nampaknya enggan mengulangi kata-kata. Ia bangkit, berjalan ke arah pelabuhan. Sambil berjalan ia tak berhenti meludah sambil mengucap kata yang tak ada maknanya sama sekali.

“Tretetet. Tretetet!”

Lantaran selalu menyebut tretetet itulah orang-orang memanggilnya Tuan Guru Tretetet. Orang-orang sering melihatnya berada di sekitar Palabuhan Ampenan. Perilakunya nampak ganjil di mata mereka yang awam. Tapi menurut sejumlah kalangan, sikap dan perilaku yang tak lumrah yang ditunjukkan ulama eksentrik itu, adalah tanda-tanda kewalian seseorang. Di balik kelakuannya yang aneh dan kadang konyol dan lucu, ada misi besar yang diembannya – dunia dan akhirat.

Polisi militer itu bergegas menghampiri Ahmad Tretetet yang berdiri di ujung dermaga Pelabuhan Ampenan. Ia menyerahkan benang yang diminta tadi. Tapi Ahmad Tretetet nampak seolah tak menghiraukan kehadirannya. Ia malah menoleh pada seorang penduduk yang duduk jongkok di sampingnya berdiri.

Baca Juga :  Ujian Keikhlasan dari sang Wali

“Serahkan benang itu ke dia,” kata Ahmad Treretet.

Benang itu untuk menjahit kasur. Warnanya putih. Orang-orang menyebutnya benang bola, karena gulungannya membentuk bulatan seperti bola. Lelaki yang duduk mencangkung itu tak mengerti persoalan. Ia gelagapan ketika didekati seorang petugas berseragam. Ia segera berdiri, agak membungkuk. Lalu terdengar lagi ucapan Ahmad Tretetet. “Ambil benang itu. Pakai sampan mana saja menuju kapal kandas itu. Ikat benang di ujung kapal, lalu tarik dengan sampan,” katanya.

Lelaki itu tertegun. Satu anjuran yang benar-benar tidak masuk akal. Tetapi ia tak membantah. Ia menuju salah satu perahu yang ditambatkan di pantai. Perahu dikayuh menuju kapal yang masih tak bergeser dari tempatnya sejak tadi.

Lalu orang-orang melihat keajaiban. Kapal besar itu bergerak. Bergerak mendekat ke arah dermaga. Kapal yang hanya ditarik sampan kecil. Orang-orang berseru kagum. Kapal akhirnya bersandar sempurna.

Polisi militer itu mencari-cari seseorang di tengah kerumunan orang-orang yang terheran-heran di dermaga. Ia mencari Ahmad Tretetet. Tetapi sosok eksentrik itu tak ia temukan. Ke mana dia? Ia bertanya pada beberapa orang. Tak ada yang tahu Ahmad Tretetet ke mana. Ia menghilang begitu saja saat kapal sudah bersandar. (Buyung Sutan Muhlis)