Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan)

“Biar saya bantu Inaq,” kata
Cornelia mengambil serantang kentang yang belum dikupas.

“Tidak usah, Non, nanti tangannya terluka.”

“Biar cepat selesai. Habis ini saya mau mengajak Inaq ke toko pakaian.”

Sebuah dokar yang tak berpenumpang distop Rabiyah, meminta kusirnya berbalik arah.

Belum jam 10. Tapi udara cukup gerah. Dokar melintas di jalan ke arah pasar. Setelah berbelok ke kanan di pertigaan sekolah Cina dokar berhenti.

Cornelia bertanya kepada perempuan Tionghoa pemilik toko, berapa jenis pakaian untuk anak-anak. Rabiyah bertanya-tanya dalam hati. Tadinya ia pikir noni itu akan membeli pakaian untuknya sendiri.

“Berapa tahun anaknya. Perempuan atau laki-laki?”

“Perempuan. Umur enam-tujuh tahun,” jawab Cornelia.

“Ada empat-lima model,” kata pemilik toko.

“Kalau yang seperti ini ada warna biru?”

“Ada, Non.”

Cornelia membeli tiga stel pakaian anak-anak.

“Kemana lagi, Non?”

“Kita cari sabun mandi, bedak, dan sikat gigi.”

Mereka kembali ke rumah setelah hampir jam dua belas.

“Inaq, sore nanti minta tolong antarkan belanjaan tadi.”

“Ke mana, Non?”

“Ke rumah Raodah.”

“Raodah, keponakan saya?”

“Iya, anak penjual serabi itu.”

Rabiah terdiam beberapa lama.

“Non, kenapa Raodah dibelikan baju-baju mahal? Kalau saya tahu untuk keponakan saya, banyak jenis berbahan murah di Cakra.”

“Itu hadiah saya untuk gadis kecil itu. Hadiah itu bukan dilihat dari mahal atau murah harganya. Tapi keikhlasan memberikannya. Saya akan bahagia kalau ia senang menerima dan memakainya.”

“Non lihat Raodah kemarin tak pakai baju. Di kampung hampir semua anak tak pakai baju. Laki dan perempuan. Juga percuma berpakaian karena mereka main di tanah dan pasir sepanjang hari.”

“Sudahlah, Inaq. Berikan saja dia nanti. Besok, kalau ibunya selesai jualan, tolong suruh antar Raodah ke mari. Saya mau ajari ia menyanyi.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Belas)

*

Raodah telah hampir dua minggu bersama Cornelia. Setiap sore Rabiyah mengantarnya pulang ke Kampung Melayu. Beberapa malam ia pernah menginap. Cornelia mengajarinya menyanyikan lagu anak-anak yang populer di negerinya. Raodah juga diajari membaca, menulis, dan berhitung. Awalnya gadis Belanda itu kesulitan lantaran Raodah hanya bisa berbahasa Sasak. Rubiyah ikut mendampingi. Dengan sendirinya Cornelia semakin menguasai bahasa Sasak.

Selama hampir dua minggu pula, Raodah yang dulu dekil kini nampak bersih. Perubahan lainnya, ia selalu mengenakan pakaian lengkap. Beberapa hari lalu Cornelia membelikannya sandal dan sepatu. Lainnya, sekarang Raodah tak takut lagi kepada orang asing.

Sore di Hari Minggu, Cornelia, Raodah, dan Rabiah berjalan-jalan ke pantai. Dari arah kampung terdengar ramai suara teriakan.

“Sampi (sapi) lepas. Awas, sampi lepas!”

Tiba-tiba seekor sapi jantan cukup besar berlari ke arah ketiganya. Raodah memekik ketakutan. Rabiyah dan Cornelia panik. Rabiyah menyambar tubuh keponakannya.

“Lari, Non, lari!”

Mereka berlari ke arah dermaga. Orang-orang di pelabuhan mencoba menghalau, tapi sapi itu menerjang ganas. Dua orang terpelanting. Hewan itu kini hanya tiga depa lagi dari ketiga wanita yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka berteriak putus asa. Orang-orang memejamkan mata, tak sanggup menyaksikan sesuatu yang mengerikan yang segera terjadi. Tubuh mereka tak ampun lagi roboh diseruduk dan diinjak sapi brutal yang berbobot lebih dari setengah ton!

Rabiyah memegang erat tangan Cornelia. Ia merasakan ajal sudah di depan mata.

Tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana datangnya berkelebat, berdiri tepat di depan sapi yang sedang mengamuk. Orang-orang menahan nafas. Sosok tubuh lelaki yang menghalangi hewan itu dipastikan remuk detik itu juga. Namun suatu keanehan terjadi, di depan puluhan pasang mata. Sapi itu tiba-tiba berhenti. Lelaki itu meraih tali di leher hewan yang mendadak jinak tersebut. Tak berapa lama beberapa orang datang. Salah seorang adalah pemiliknya. Sapi dituntun kembali ke kandang di pinggir kampung.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam)

Cornelia dan Rabiyah, berbalik dan melangkah dengan ragu. Nampak masih tak yakin dengan kejadian yang berlangsung begitu cepat. Lelaki itu masih berdiri di tempat tadi, membelakangi mereka. Ia ternyata seorang pemuda, berusia sekitar 25 tahun. Berwajah tampan, mengenakan pakaian agak longgar. Nampaknya ia bukan pekerja di pelabuhan. Kulitnya putih bersih.

Kedua wanita itu mengucapkan terima kasih. Tetapi pemuda itu hanya mengangguk dan tersenyum.

Cornelia mencium aroma harum. Ia yakin itu minyak wangi yang dipakai sang pemuda. Aroma itu. Ia mengingat-ingat. Sepertinya ia pernah kenal. Aroma khas yang lembut. Di mana ia pernah menghirupnya? Tiba-tiba terasa ada yang membelai hati dan benaknya. Terasa indah. Begitu indah. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)