Noni Jembatan Ampenan (Bagian Delapan Belas)

BERBAGI News – Jemuhur bersiap menutup kedainya. Telah hampir jam 10 malam. Tapi sesosok lelaki memasuki warung nasi itu. Ia segera mengenalinya.

“Sedah, napi kabar, Semeton (Sedah, apa kabar, Saudara)?”

Di depan sebuah meja mereka duduk berhadap-hadapan.

“Sudah makan?”

“Sudah. Tadi habis isya.”

Sedah lalu bercerita pertemuannya dengan pemuda yang sebelumnya pernah berjumpa Jemuhur sebagaimana cerita beredar yang pernah didengarnya. Ia menuturkannya selengkapnya, sampai ia meninggalkan pemuda itu.

“Di mana kau bertemu? Saya masih berusaha mencarinya, tapi sampai sekarang belum berjumpa.”

“Ia sedang bersama anak-anak di Tempit waktu itu,” jelasnya, “Sampai di rumah kotak uang itu tak ada apa-apa di dalamnya. Tidak seperti peristiwa yang kau alami. Anehnya, saya temukan sesuatu terselip di pinggang saya. Padahal tadinya jelas-jelas saya melihat benda itu ia masukkan ke dalam tas di pundaknya.”

Sedah bangkit. Dari balik bajunya ia mengambil revolver, diletakkannya di atas meja. Jemuhur menggeser mundur tempat duduknya. Ia terperanjat.

“Saya tak tahu apa maksudnya memberikan saya senjata ini. Yang saya butuhkan uang, modal, seperti yang kau dapatkan. Untuk apa saya pistol ini. Saya bukan prajurit. Saya juga mau membunuh siapa, saya tak punya musuh. Senjata ini saya tinggalkan saja di sini.”

Jemuhur terdiam beberapa lama. Ia melihat Sedah bangkit dan berpamitan. Lelaki itu ia minta duduk kembali. Ia menarik nafas panjang.

“Kau sungguh-sungguh ingin menggeluti usaha seperti yang saya jalankan?”

“Jemuhur, saya ingin sepertimu. Kisah tentangmu saya harap-harap juga terjadi pada saya. Tapi garis hidup kita beda. Kenyataannya seperti itu. Nasibmu memang baik, Semeton.”

“Sedah. Mungkin jalannya sudah seperti ini. Mungkin pula kau menjadi bagian cerita dari perjalanan hidup saya. Banyak misteri dalam kehidupan. Kita susah-payah mencari rejeki. Kadang berhasil, sering juga mengecewakan. Dan ketika saya tak terlalu banyak berharap, tiba-tiba rejeki itu datang tanpa diduga-duga,” Jemuhur mengeluarkan lompaq (dompet kecil dari daun pandan) tembakau dari saku bajunya. Di atas selembar potongan daun jagung ia letakkan sedikit tembakau, menggulung, dan membakarnya. Asap mengepul di dalam kedai itu. “Saya punya simpanan cukup untukmu membuka warung dan membeli dokar. Kau pakailah. Jangan pikir itu adalah hutang, supaya tidak membebanimu.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Dua)

Jemuhur bangkit, masuk ke dalam biliknya. Tak lama ia muncul membawa kotak kayu. Kotak tempatnya menyimpan hasil jualan es dulu. Ia serahkan kepada Sedah. Lelaki itu menerimanya dengan tangan gemetar.

“Jemuhur. Kau….”

“Pulanglah.”

Jemuhur menutup pintu, setelah Sedah pamit dan mengucapkan salam. Pistol itu masih tergeletak di atas meja. Malam telah larut.

*

Siang menjelang sore. Jemuhur meminta istrinya menggantinya menunggu kedai. Ia menyusuri jalan di Karang Ujung. Ia meneliti setiap orang yang lalu-lalang di jalan. Di simpang lima Ampenan ia terus menyeberang ke arah pasar. Ia berbelok menuju Sukaraja.

Di depan rumah Dokter Willem ia melihat orang-orang berkumpul. Ada yang bermain gasing, ada yang duduk menikmati minuman dan makanan yang dijual di tempat itu. Banyak pula yang mengelilingi beberapa anak yang sedang memainkan alat musik. Lelaki itu berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling. Pemuda yang dicarinya tak nampak di sana. Beberapa orang menyapanya.

“Mau begasingan?”

Jemuhur tersenyum, menggeleng.

Ia kembali berjalan. Tak sengaja ia menoleh ke arah Sungai Jangkok. Ia melihat seseorang sedang shalat di bawah sebuah pohon di tepi seberang sungai. Tak salah lagi, itulah pemuda yang selama ini dicarinya. Saat pemuda itu di tahiyat terakhir, ia melihat delapan serdadu Belanda muncul. Salah seorang di antaranya berseru. “Itu dia orangnya!”

Pemuda itu hanya lima puluhan langkah di depan mereka. Seorang yang berseru tadi adalah Joan van Dirk. Setelah lukanya sembuh dalam peristiwa beberapa minggu lalu, ia menaruh dendam. Hampir setiap hari ia bersama sejumlah opsir keluar-masuk kampung, mencari orang yang telah mempecundangi Graaf dan dirinya. Pemuda itu resmi menjadi buronan.

Di seberang sungai, Jemuhur mengendap-endap di balik rumpun bambu. Dari tempat pengintaiannya, ia melihat salah seorang serdadu membidik dengan senapan laras panjang ke arah pemuda yang sedang menyelesaikan shalatnya. Jemuhur meraba pinggangnya. Ia cabut revolver yang sejak berangkat tadi ia bawa. Entah mengapa ia terpikir membawa senjata itu. Serdadu itu masih membidik. Tiba-tiba terdengar letusan. Suara dari balik rumpun bambu. Letusan pistol di tangan Jemuhur. Tembakannya tak mengenai sasaran. Akibatnya, delapan moncong senjata diarahkan ke tempat persembunyiannya. Delapan senjata menyalak. Delapan peluru berdesing di atas kepala Jemuhur. Letusan-letusan terdengar lagi. Jemuhur merunduk dan bertiarap. Jantungnya berdegup kencang.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Belas)

Pemuda itu telah selesai shalat. Ia bangkit mengibaskan sajadah, melipat alas sembahyang itu, dan memasukkannya ke dalam tas pandannya. Dari tempatnya berdiri, tiba-tiba muncul pusaran air. Udara yang gerah berubah dingin yang membuat tubuh menggigil. Delapan serdadu yang masih menembakkan peluru melihat air sungai mendadak meluap. Begitu cepat air naik hingga melewati kepala. Serdadu-serdadu itu panik, melemparkan senjata dan seluruh benda yang melekat di tubuhnya. Mereka berenang, tapi seolah tertahan untuk mencapai daratan seberang. Beberapa di antaranya berteriak meminta pertolongan rekan-rekannya.

Jumuhur terheran-heran. Ia tak mendengar suara letusan lagi. Ia mencoba mengangkat kepala. Ia menahan tawa. Di seberang, delapan tentara Belanda itu dalam keadaan telanjang. Mereka seperti orang kehilangan akal. Berteriak-teriak sambil mengembangkan tangan seperti orang yang sedang berenang. Padahal mereka berada di tepi kali, jauh dari aliran sungai. Jemuhur segera maklum. Ia melihat pemuda itu mengumpulkan senjata-senjata yang bergeletakan di pinggir sungai. Dari dalam tas ia mengeluarkan sehelai sarung, membungkus bedil-bedil itu. Lalu ia menyeberangi sungai, menuju tempat persembunyian Jemuhur.

“Side (kau) menyelamatkan saya, tapi side sendiri hampir jadi korban.”

“Tiyang…” Jemuhur ingin mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Sang pemuda menyerahkan bungkusan berisi senjata-senjata itu kepadanya. “Simpan di tempat side. Ada waktunya nanti digunakan,” katanya lalu melangkah, memasuki lorong Kampung Sukaraja.

Pandangan Jemuhur mengikutinya sampai ia menghilang di perempatan gang. Sebelum berjalan pulang, Jemuhur memandang ke seberang. Serdadu-serdadu itu masih nampak seperti tadi, tapi beberapa di antaranya bergelimpangan, kemudian tak bergerak-gerak di tepi sungai. Tenaga mereka terkuras habis, kelelahan berenang di kedalaman dan arus sungai yang semu. Beberapa orang juga menyaksikan dari seberang sungai. Seperti Jemuhur, mereka juga menahan tawa agar tak sampai terlepas. Di sore yang masih terang-benderang, ada tontonan unik yang menggelikan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh)

“Baruq ana taok meno ntan bowos Belande-Belande tie (baru saya tahu begitu gaya mabuk orang Belanda).”

“Adengan ngeraos (pelan-pelan bicara)!”

“Aneh, keputeq-puteq buit’n (putih sekali pantatnya)” ucap seorang wanita separuh baya yang sedang menggendong seorang balita. Ia terkekeh-kekeh.

“Tedoq (diam), Inaq!” bentak seseorang. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)