Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan Belas)

BERBAGI News – Kampung Sukaraja kini tak hanya tempat orang-orang bermain gasing. Di arena ini juga ada hiburan baru, tempat menyaksikan anak-anak menampilkan keahlian mereka bermain musik.

Namun kondisi tempat aktifitas-aktifitas tersebut masih belum tertata. Inilah yang menjadi bahan pembicaraan Cornelia sore itu.

“Saya ingin ada tempat anak-anak berlatih, sehingga terpisah dengan tempat bermain gasing. Saya ingin ada berugaq (balai-balai beratap), tempat latihan dan orang-orang bisa duduk di situ. Berapa biayanya?” kata Cornelia.

Orang pertama yang mengomentari gagasan noni adalah Daeng Salam. “Begini. Non Cornelia tidak perlu keluar biaya. Non sebutkan saja berapa lebarnya dan tempat mendirikannya. Sekarang juga kami akan kerjakan. Bagaimana saudara-saudara?”

“Siaaaap!” orang-orang serempak menjawab.

“Karena untuk kepentingan kita bersama, kita yang siapkan bahan-bahan, peralatan, dan orang-orang yang mengerjakannya,” ujar Abah Karim.

“Kita buat sekenem (berugaq bertiang enam),” usul Amaq Jupri dari Sintung.

“Saya setuju. Saya tanggung tiang-tiangnya,” menyahut Daeng Salam.

“Ana sumbang usuk satu dokar,” timpal Abah Karim.

“Saya siap jadi tukang mengerjakannya,” Fahmi dari Pejeruk mengacungkan tangan. Ia seorang tukang kayu.

Tujuh orang tukang lainnya yang hadir di tempat itu juga menyatakan kesanggupannya.

Babah Hongli yang sedari tadi merasa jengkel kepada orang-orang yang berusaha merebut perhatian si noni dengan menawarkan jasa dan kontribusi, kini membuka suara. “Kalian ini bagaimana? Usul begitu banyak. Tapi belum ada yang membicarakan lantai dan atap. Dua-duanya saya yang tanggung. Lantai dari papan dan atapnya alang-alang,” ucap Babah Hongli disambut riuh tepuk tangan.

“Betul, Babah. Ini baru Babah kita,” seru Munahip dari Karang Panas.

Wajah Cornelia bersinar-sinar. Ia dengarkan semua masukan dengan penuh perhatian. “Kalau semua sudah siap, apakah kita bisa memulainya besok pagi?” suara gadis jelita itu seperti gemericik air yang menyejukkan hati semua lelaki di tempat itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh)

“Bisa. Bisa!”

“Sepakat, Non!”

“Sekarang juga bisa. Sanggup. Biar sampai subuh bekerja,” celetuk seseorang.

Inaq Senun, pedagang bubur mengingatkan sesuatu. “Ape ndek ngelor dengan-dengan sak begawean lemak (apa tidak makan orang-orang yang bekerja besok)?”

“Senun betul. Apa kalian tidak kelaparan besok? Siapa ikut ana sekarang ke rumah ambil beras,” ujar Abah Karim.

Daeng Salam tak mau kalah. “Panggil kusir dokar, ikuti saya ke Pasar Ampenan. Non Cornelia sukanya ikan apa?”

Cornelia hanya tersenyum. Senyum yang membuat Daeng Salam semakin bertingkah. Di dekatnya, Abah Karim menampakkan wajah tak suka.

“Kupi, kupi berembe (kopi, kopi bagaimana)?” tanya Badrun, seorang tukang dari Gatep.

“Kopi gula sekalian saya bawa besok,” kata Babah Hongli.

Esoknya, belum jam tujuh beberapa dokar bolak-balik membawa material di ujung jembatan Ampenan.

Babah Hongli, orang pertama yang muncul di pagi itu. Ia membawa sekeranjang bakpao. Ia benar-benar menepati janjinya. Bahkan ia menutup tokonya hari itu. Semua yang disebutnya kemarin sore tak satu pun terlupa.

Menyusul kemudian Abah Karim yang datang dengan dokar. Ia membawa sebakul besar buah kurma.

Para tukang mulai bekerja. Menggergaji, memahat, dan mengetam kayu-kayu yang tersedia.

Para wanita mulai memasak. Beberapa periuk besar dari tanah liat berderet di tepi sungai, di atas batu bata yang dijadikan tungku.

Suasana di ujung jembatan itu seperti orang sedang begawe (pesta). Cornelia keluar membawa ceret berisi air minum. Di belakangnya menyusul Raodah membawa gelas-gelas kosong di atas nampan.

Cornelia mengenakan baju kurung hijau dan celana setinggi lutut. Betisnya yang putih mulus membuat silau para lelaki yang sedang bekerja. Beberapa lelaki nampak menelan ludah.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Lima)

“Noni, cobain bakpao buatan saya. Paling terkenal di Ampenan, Non,” sapa Hongli. Ia meneruskan bicara tapi dipotong Abah Karim.

“Kurma lebih lezat, Non. Ini kurma Ajwa, kurma terbaik di dunia yang tumbuh di Arab,” Abah Karim menawarkan bawaannya.

“Wah, bakpao ini pasti enak. Tapi saya mau coba kurma ini dulu,” kata gadis itu, mengambil segenggam buah itu.

Tengah hari kerangka berugaq sudah berdiri. Tinggal pemasangan tulang-tulang di bagian atap dan lantai. Semua bekerja dengan semangat. Semua ingin menunjukkan kepada Cornelia, mereka orang-orang yang rajin. Semua rela mengorbankan pekerjaan mereka sehari itu, demi menyenangkan hati sang dara.

Sebelum ashar berugaq itu rampung dikerjakan. Sebuah berugaq besar dan kokoh beratap alang-alang. Dari arah Sungai Jangkok angin berhembus. Tempat duduk dan berbaring yang sejuk, terlindung dari terik matahari dan hujan. Belasan orang mencoba duduk di atasnya. Lantainya halus terpasang rapi.

Seseorang muncul dari jalan raya memikul sesuatu. Ia terus berjalan menuju berugaq yang baru berdiri.

Cornelia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sejak ia kembali dari Batavia ia tak pernah bertemu. Jantungnya berdegup kencang ketika matanya sempat bertatapan.

“Ahmad, apa yang ente bawa?” menyapa Abah Karim.

“Karpet, Abah, biar jadi alas di berugaq,” jawabnya.

Dua orang membantunya menurunkan gulungan panjang di pundaknya. Pemuda itu meminta karpet itu langsung saja digelar.

“Kemana saja Ahmad, lama tak muncul,” seorang lagi bertanya.

Namanya Ahmad, Cornelia membathin. Siapa yang memberitahunya tentang berugaq itu? Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia memanggil Rabiyah. Di dalam kamarnya ia menyerahkan sebuah bungkusan yang ia bawa dari Batavia.

“Berikan ini kepadanya.”

“Siapa?”

“Pemuda yang baru muncul itu.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Lima)

“Ahmad?”

“Iya. Tapi serahkan kalau dia akan pergi. Jangan saat orang sedang ramai.”

Rabiyah menatap gadis itu lekat-lekat. Lalu perempuan itu tersenyum. Senyum dan tatapan yang membuat Cornelia menjadi malu dan salah tingkah. Rabiyah masih saja tersenyum, lalu melangkah ke luar.

Cornelia ke kamar mandi. Ia cuci mukanya. Kembali ke kamar ia menyisir rambutnya. Ia pandang wajahnya di cermin. Tak ada yang berubah. Wajah yang tetap cantik. Tapi kehadiran pemuda itu membuatnya ingin lebih cantik daripada sebelumnya. “Apa yang terjadi pada diriku?” bisiknya.

Ketika ia ke luar, pemuda itu baru saja pergi. Ia kecewa. Ia balik lagi ke kamar. Seperti anak kecil yang tak terpenuhi keinginannya, ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Kekecewaannya berubah menjadi kerinduan yang menyiksa. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)