Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Satu)

BERBAGI News – Seperti ada magnit yang menarik tubuhnya. Langkahnya begitu ringan menuju ke arah jembatan.

Langit bersih. Bintang-bintang berpendar, namun cahaya rembulan merajai semesta malam.

Cornelia merasakan sesuatu yang berbeda. Ia sering melewatkan malam di alam terbuka. Tetapi kali ini ia tak mendengar satu denging nyamuk pun. Burung hantu yang biasa terbang melintas di atas rumah memperdengarkan suara yang menggidikkan, tiada terdengar. Anjing-anjing seperti tertidur nyenyak, melupakan lolongannya. Dedaunan seolah tak terjamah angin, diam tak bergemerisik. Bahkan air Sungai Jangkok yang mengalir dari timur ke barat, sedikit pun tak bersuara. Malam bungkam, sepi senyap.

Aroma itu bertambah semerbak ketika langkahnya mulai menjejak jembatan. Wewangian yang seolah menguap dari aliran sungai. Tetapi, jika sebelumnya keharuman itu beberapa kali membawanya ke alam bawah sadar, saat ini ia tetap berpijak di tempat yang ia kenal. Ia sempat menoleh, berugaq yang siang tadi didirikan, masih berada di tempatnya. Yang ia rasakan sebagai sebuah perbedaan, jantungnya kini lebih berdegup kencang. Bukan lantaran cemas — ia tak ada perasaan takut sama sekali — tetapi lebih pada ketidaksabarannya ingin cepat berjumpa lelaki yang selalu membuatnya gelisah, di tempat dan waktu yang tak pernah ia rencanakan.

Ia mendengar suara mendehem. Lelaki itu memutar tubuh menyongsongnya. Ia tak salah. Kebahagiaan pertama seketika ia dapatkan di atas jembatan itu, perasaan senang yang tak tertakar, ketika ia melihat pemuda itu nampak rapi, mengenakan pakaian yang ia titipkan lewat Rabiyah sore tadi. Begitu tampan, gagah, sangat berwibawa. Kulitnya bersinar diterpa benderang cahaya purnama.

“Ahmad,” panggilnya, suaranya hampir tak terdengar lantaran tak dapat mengatasi debaran jantungnya.

“Nona Cornelia.”

Dua tangan berjabat erat.

“Dari tadi lidah saya terus-terusan tergigit.”

“Memang kenapa?” tanya Cornelia.

“Menurut orang Lombok, ada orang yang sedang membicarakan.”

“Siapa yang bicarakan?”

“Seorang gadis.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Delapan)

“Cantik?”

“Sangat cantik. Bukan gadis biasa.”

Cornelia tak suka mendengarnya. Tiba-tiba ia merasa cemburu.

“Siapa?” tanyanya ketus.

“Gadis di depan saya sekarang. Cornelia Doutzen.”

Cornelia terkejut. Ia membathin, dari mana lelaki ini tahu nama lengkapnya?

“Ngawur. Siapa yang membicarakan kamu?”

“Bahkan tak hanya membicarakan. Dia juga merindukan saya.”

“Sok tahu. Terlalu percaya diri. Saya kemari karena panggilan senggeger-mu.” Cornelia bertahan, tak mau mengakui perasaannya di hadapan pemuda itu. Tetapi ia suka tipe lelaki seperti itu. Tidak kaku, berbeda sekali saat pertemuan-pertemuan sebelumnya. Baru ia tahu pemuda itu tak pendiam, bahkan cenderung seenaknya berbicara.

Mendengar kata senggeger itu, Ahmad tertawa. Tawa yang terdengar sangat nyaman di telinga Cornelia. “Tahu dari mana tentang senggeger, nona cantik?”

“Tahu dari inaq saya, Rabiyah. Kamu taruh senggeger di depan rumah. Ngaku saja. Untung inaq saya sudah kencingi.”

Tawa pemuda itu terdengar lagi. Lebih keras dari sebelumnya.

“Rabiyah, iya, Rabiyah. Tadi sore ia mengatakan, kau kepingin berjumpa saya. Berdua saja. Di jembatan ini. Itu sebabnya saya ke sini.”

“Inaq ngomong begitu? Kamu bohong, Ahmad.”

Tangan Cornelia bergerak, mencubit dada Ahmad. Tetapi ia tak tega mencubit keras, walaupun ia sangat gemas. Ia rasakan debaran di dada itu. Debar yang sama, dari geletar jantung seperti yang ia rasakan.

Malam seolah mempersembahkan kesenyapannya, agar tak mengusik sepasang manusia dalam suasana indah rembulan purnama. Malam yang bening, hening. Kesunyian yang membuat kepekaan seluruh indera. Cornelia bahkan dapat mendengar denyut nadi dan desiran darah lelaki di depannya.

“Cornelia, lihatlah,” Ahmad menunjuk ke bawah jembatan.

Gadis itu tak melihat apa pun, kecuali pantulan sinar rembulan dan bayang-bayang hitam. “Tak ada apa-apa di bawah.”

“Coba perhatikan lagi.”

Kali ini Cornelia nyaris memekik. Di bawah jembatan ia melihat belasan buaya muara berukuran sangat besar berbaris dengan moncong-moncong menganga. Di tengah sungai dua ekor tuna lebih besar dari batang kelapa berdiri tegak, hanya beberapa jengkal di bawah kaki mereka berdiri. Cornelia melompat mundur. Ia menggigil ketakutan. Tetapi Ahmad menarik tangan gadis itu kembali ke sisi jembatan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh)

“Jangan takut, mereka tak akan mengganggu,” kata Ahmad.
.
Cornelia merapatkan tubuh di sisi Ahmad. Sebelah tangannya melingkar memeluk pinggang sang pemuda. Ia menyaksikan semua hewan air menutupi aliran Sungai Jangkok sekitar jembatan Ampenan. Ia juga melihat beberapa ular raksasa bergelung di tepi sungai.

“Cornelia,” Ahmad menyebut namanya lagi. Pemuda itu menadahkan tangannya. Saat itu juga sesuatu yang berkilau melompat dari sungai.

Seekor ikan berwarna keperakan mengibas-ngibaskan ekornya di telapak tangan Ahmad. Bentuknya gemuk lucu. Seluruh tubuhnya bersinar.

“Mana tanganmu?”

Cornelia menyodorkan tangannya. “Dia tidak menggigit?”

“Tidak.”

Ikan itu kini berada di telapak tangan gadis itu. Sebelah tangannya membelai tubuh montok hewan air itu. Ikan itu membuka mulut dan tiba-tiba berdiri. Ia berputar, melompat, dan menari. Gadis itu tertawa-tawa senang. Ia mencoba memasukkan telunjuknya ke mulut ikan itu. Mulut hewan itu bergerak-gerak, menggigit pelan-pelan ujung jemari sang gadis. Mulutnya berpindah lagi ke jari yang lain.

“Geli, Ahmad. Geli.”

“Dia menyukaimu.”

Aroma itu bertambah semerbak. Ikan yang bermain-main di telapak tangan Cornelia juga mengeluarkan aroma yang sama. Gadis itu hendak menyerahkan kembali ikan itu kepada Ahmad. Tetapi tiba-tiba hewan itu mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Benda bundar berwarna hitam berkilau sebesar ujung ibu jari.

“Ini benda apa, Ahmad?”

“Itu mutiara hitam. Simpan saja. Apa saya bilang, ikan itu menyukaimu. Ia memberimu hadiah. Sekarang biarkan dia kembali ke air.”

Sekali lagi tangan Cornelia mengelus ikan itu. Ia ulurkan telapak tangannya di atas sungai. Ikan itu membuat gerakan mengagumkan sebelum melompat ke dalam air.

“Inikah sihir, Ahmad?”

“Bukan. Ini nyata. Ada banyak yang belum kau lihat. Ada banyak yang akan saya ceritakan padamu. Tetapi tidak sekarang.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Satu)

Mereka berpandangan. Gadis itu tak sanggup menatap berlama-lama wajah lelaki di hadapannya. Ia peluk tubuh pemuda itu. Erat. Semakin erat. Tangan sang pemuda membelai rambutnya. Dua tubuh dalam kecamuk dan amukan rindu. Tubuh-tubuh dengan jantung menggelepar.

Embun turun di jembatan Ampenan. Udara berubah dingin. Tetapi tubuh Cornelia tak merasakan turunnya temperatur udara. Hangat tubuh sang pemuda menjalari seluruh tubuhnya, mulai ubun-ubun hingga tapak kaki.

“Kau pakai ini,” Ahmad mengeluarkan kain sarung dari dalam tasnya. Ia membungkus rapat tubuh wanita molek itu. Jemarinya tak sengaja menyentuh leher jenjang sang gadis. Cornelia merasakannya seperti percikan bunga api menyulut sumbu yang rentan terbakar. Ia merasakan kobaran di tubuhnya.

“Peluk saya, Ahmad. Cium saya.”

Kepala gadis itu mendongak. Ia pejamkan mata. Bibirnya sedikit terbuka. Ia menantikan sentuhan itu. Sentuhan pertama kali dalam hidupnya.

Tetapi ia tak mendengar jawaban Ahmad. Ketika ia membuka mata, ia menemukan dirinya sudah berada di dalam kamarnya.

“Kamu jahat, Ahmad,” ucapnya lirih.

Baru ia merasakan kantuk luar biasa. Ia tidur begitu pulas. Ia bangun kesiangan, lewat jam 10.

Ketika ia menuju kamar kecil, ia berpapasan dengan Rabiyah. Perempuan itu tersenyum jahil seperti semalam.

“Mulai lagi. Mulai usil lagi, ya?” Awas!” gadis itu mengacungkan telunjuknya di depan wajah.

Tapi senyum Rabiyah berubah menjadi tawa mengikik. Cornelia terheran-heran. Ia baru sadar, sehelai kain sarung dengan ujung bagian atas tersimpul di belakang lehernya, masih menutupi bagian depan tubuhnya. Kain sarung milik Ahmad semalam. Ia tiba-tiba tersipu malu. Wajahnya bersemu merah. Apa yang akan dijelaskannya pada Rabiyah? Ia mempercepat langkahnya ke kamar kecil. Berlama-lama di ruang sempit itu. Ia keluar setelah menemukan sebuah jawaban. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)