Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Tiga)

BERBAGI News – Sarung itu ia lipat rapi. Setiap tidur ia letakkan di atas bantal. Harum khas yang tetap menempel di sarung itu, seolah menghadirkan Ahmad selalu berada di dekatnya, menemani malam-malamnya. Sering pula ia menggulung bantal guling dengan sarung milik pemuda itu. Ia memejamkan mata, memeluk guling. Dan ia seolah memeluk tubuh Ahmad. Ia terlelap, dan selalu bermimpi indah. Terkadang ia malu sendiri. Betapa ia selalu merindukan Ahmad. Perasaan yang tak bisa ia tepiskan. Sehelai kain sarung, begitu berarti. Tapi, ia akan selalu kecewa pagi-pagi saat ia bangun. Ia hanya sendirian di kamar itu. Di ranjang itu. Yang berada dalam pelukannya hanya bantal guling.

Untunglah sepanjang hari ia ditemani Rabiyah atau Raodah. Setidaknya ia tak merasa kesepian. Sunyi adalah penyiksaan, ketika ia merasakan kerinduan yang tak pernah beranjak dari hati dan benaknya. Dan ia harus mengakui sekarang. Ia memang telah jatuh cinta. Perasaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Ia punya banyak teman lelaki di Rotterdam dan di Batavia. Tetapi mereka baginya hanya teman biasa, atau penggemar yang mengagumi kemampuan musiknya. Konsentrasinya selama ini tercurah pada tuts-tuts piano atau menggubah komposisi lagu. Sehingga tak ada waktu memikirkan apa pun di luar aktifitas itu.

Kepada Rabiyah ia sudah menjelaskan perihal sarung itu. Ia terpaksa berbohong. Dalihnya, ia keluar saat perempuan itu tertidur, memeriksa pintu depan. Ternyata pintu masih terbuka, dan ia melihat sarung itu di atas berugaq. Ia mengambilnya, membawanya masuk, lalu ia ketiduran.

“Perasaan inaq tak pernah lalai menutup dan mengunci pintu,” kata Rabiyah.

“Namanya lupa, siapa saja tak luput dari lupa. Sudahlah,” sahut Cornelia.

“Mana sarung itu sekarang?”

“Sudah saya taruh di berugaq, biar diambil yang punya,” Cornelia berbohong lagi.

Tapi ketika Rabiyah membahas lagi tentang bungkusan kemarin yang diberikan kepada Ahmad, wajah Cornelia kembali bersemu merah.

“Kalau boleh tahu, bungkusan itu isinya apa, Non? Kok inaq tidak diberitahu?”

“Kurma.”

“Kurma, kok, jauh-jauh dibawa dari Batavia? Di sini juga banyak. Tinggal ngomong sama Abah Karim,” Rabiyah semakin cerewet.

“Kurma Jawa. Mau tahu saja. Kita harus berterima kasih kepada pemuda itu. Dia pernah menyelamatkan kita dan Raodah,” jawab Cornelia. Matanya yang biru bertambah indah ketika melotot karena terus digoda Rabiyah.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat)

“Memang di Jawa ada pohon kurma?” Rabiyah semakin menjadi-jadi. Ia senang melihat gadis itu tersipu dan merasa jengkel. Sebagai wanita yang berkali-kali mengenal cinta sejak masa puber, ia tak dapat dibohongi. Gelagat yang ditunjukkan dari sikap Cornelia tak dapat disembunyikan, bahwa gadis itu sedang tergila-gila pada seorang lelaki.

Cornelia kehabisan alasan. Ia tak menjawab lagi. Di dalam kamar ia mengambil sarung yang disembunyikannya tadi. Ia cium berkali-kali. Wajah Ahmad timbul-tenggelam dalam lamunannya.

*

“Inaq, saya ingin mengundang anak-anak itu makan ramai-ramai di berugaq.”

“Baik, Non. Sekalian selamatan berugaq itu. Kapan, Non?”

“Besok bisa?”

“Terserah Non Lia. Kita hidangkan apa saja?”

“Kalau begitu Inaq ke pasar sekarang. Beli kebutuhan untuk acara besok. Terserah apa yang inaq mau masak. Nanti saya ikut bantu.”

“Kita undang Ahmad juga, ya?”

Wajah Cornelia tersipu dan memerah lagi ketika nama itu disebut Rabiyah.

“Kalau undang dia, siapa yang temani?”

“Kan Non Lia. Masak inaq.”

“Inaq! Usil lagi, usil lagi. Mau undang dia, terserah,” katanya berpura-pura tak peduli, padahal ia sangat berharap kehadiran pemuda itu.

*

Siang di Hari Minggu, belasan anak duduk bersila di atas berugaq, berkelompok-kelompok. Mereka begibung (makan bersama menggunakan satu wadah). Satu kelompok terdiri dari empat-lima anak. Mereka mengelilingi nare (nampan) yang beralas daun pisang, berisi nasi dan beberapa macam lauk. Sebentar-sebentar Rabiyah menambahkan potongan-potongan daging dari dalam baskom berisi rawon.

“Ndendek kandoq doang kaken (jangan hanya makan lauk),” Rabiyah mengingatkan.

Cornelia memandang anak-anak yang sedang menikmati hidangan. Ia merasa terhibur dengan kemeriahan itu. Anak-anak yang selalu riuh tak hanya ketika bermain.

Sebentar-sebentar ia menoleh ke jalan raya. Orang yang ia tunggu-tunggu belum muncul. Rabiyah kemarin mengatakan telah bertemu pemuda itu di Kampung Melayu Bangsal. Undangan telah disampaikan.

Anak-anak telah meninggalkan tempat setelah perut mereka kenyang. Rabiyah dibantu Raodah telah memberesi bekas-bekas makan di berugaq. Tetapi Ahmad belum datang juga. Cornelia di puncak kegelisahannya. Ia lelah menunggu. Telah beberapa kali ia bolak-balik ke kamarnya, menyisir rambut dan mematut-matut diri di depan kaca. Gaun yang ia kenakan belum pernah dipakainya selama ini.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tujuh Belas)

“Kamu tak ada perasaan, Ahmad,” bisiknya. Ia mulai kesal. Ia bangkit dari tempat duduknya, hendak kembali ke kamar dan tak keluar-keluar lagi.

Tetapi ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa dari arah timur. Ia semakin mendekat, menyusuri tepi Sungai Jangkok.

Cornelia bersorak dalam hati, nyaris terlontar dari bibirnya. Akhirnya ia datang juga. Kemunculan Ahmad serta-merta meruntuhkan kekesalan itu. Seperti kemarau yang baru tersentuh hujan pertama. Tak hanya kesejukan, tapi mengundang debaran. Ia tiba-tiba salah tingkah menyambut kedatangan sang pemuda, lantaran tak dapat mengendalikan degupan jantungnya.

“Lelah orang nunggu baru side datang, Ahmad. Tiyang sudah bilang pasti Ahmad datang.”

Astaga, perempuan itu bikin gara-gara lagi, Cornelia membathin. Ia tambah kikuk. Pemuda di depannya senyum-senyum.

“Sebentar, inaq ke dalam dulu,” lanjut Rubiyah. Ia menarik lengan Raodah, meminta mengikutinya.

Ahmad dan Cornelia duduk berhadapan. Tapi gadis itu lebih banyak menundukkan kepala. Debaran di dadanya tak reda-reda. Waktu ia mengangkat kepala, matanya membentur tatapan Ahmad. Mata lelaki dengan sorotan yang seolah mampu melihat ke dalam dirinya. Mata dari sebuah kepribadian yang teguh, seribu wibawa. Mata yang menyiratkan kekuatan besar, membuatnya takluk. Ia tak sanggup. Kepalanya ditundukkan lagi.

“Saya sudah duga,” Ahmad membuka suara, masih dengan senyumnya.

“Menduga apa?”

“Saya pasti ditunggu-tunggu dengan tak sabar.”

“Sembarangan bicara. Siapa menunggu kamu?”

“Apa saya salah dengar bicaranya Rabiyah tadi?”

“Dia lekak (bohong) inaq. Saya dari tadi mau masuk tidur, dia tahan-tahan saya.”

Pemuda itu tertawa. Cornelia mengangkat wajahnya. Bibirnya mencibir. Tetapi dengan seperti itu kecantikannya semakin menggoda.

Rabiyah dan Raodah meletakkan dua nare di atas berugaq. “Silakan, Ahmad, begibung bersama Non Lia.”

“Kita bersama-sama,” jawab gadis itu.

“Saya begibung dengan Raodah,” kata Rabiyah lagi.

Di depan Cornelia, pemuda itu mulai menyuap makanan. Cornelia membuka pes selah (pepes ikan kecil-kecil) meletakkannya di atas nare yang segera dinikmati Ahmad. Pelecing kangkung yang baru diaduk Cornelia juga dicicipi pemuda itu. Cornelia melihat pemuda itu makan dengan lahap. Ia pun memulai makan, menyuap dan mengunyah perlahan-lahan. Makan satu nare, berhadapan. Satu pepes dimakan berdua, pelecing dan lainnya juga dinikmati berdua. Gadis itu merasakan sesuatu yang sangat romantis, yang tak pernah dialaminya saat makan dengan berbagai hidangan di meja makan. Duduk begibung, dengan lauk seadanya, bersama lelaki yang selalu dirindukannya, ternyata cara sederhana untuk menemukan kebahagiaan. Tradisi pribumi yang bersahaja namun mengesankan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Delapan)

Cornelia membuka lagi bungkusan pepes. Ia bagi dua, sepotong untuk Ahmad, separuh lagi untuknya. Ia meletakkan potongan daging di atas nasi Ahmad. Apa pun yang disodorkan gadis itu selalu dinikmatinya. Cornelia memperhatikan diam-diam. Setiap suapan yang masuk ke mulut pemuda di depannya, adalah bongkah-bongkah bahagia yang tersimpan di hatinya.

Semilir angin bertiup dari Sungai Jangkok menambah nyamannya suasana.

“Siapa yang buat pepes ini? Pepes paling lezat yang pernah saya nikmati.”

Suara dari belakang menjawabnya. “Pepes, rawon, dan semuanya dibuat Non Lia. Karena yang datang Ahmad, ia paling sibuk di dapur,” itu suara Rabiyah.

Jawaban yang membuatnya gemas sehingga wajahnya merah tersipu, tapi juga membuatnya senang. Perempuan itu berbohong. Ia hanya membantu Rabiyah.

“Siapa menyangka perempuan cantik pandai memasak?” Ahmad memuji, “Besok saya minta tolong Cornelia bikin lebih banyak, bolehkah? Saya mau bawa pulang.”

Gadis itu mengangguk. Ia akan dengan senang hati mengerjakannya. Nanti malam ia akan belajar membuat pepes itu. Ia tak ingin campur tangan orang lain nantinya. Ia buat sendiri untuk lelaki yang telah menguasai separuh jiwanya.

Rabiyah dan Raodah masuk membawa nare yang telah kosong. “Tunggu. Saya mau buatkan kopi,” ucap Rabiyah.

Ada remah menempel di bawah bibir pemuda itu. Cornelia membersihkannya dengan telapak tangannya. Ia merasa geli ketika tangannya mengusap turun ke dagu. Janggut pemuda itu mulai tumbuh, sudah seminggu tak dicukur. Terasa menusuk kasar telapak tangannya yang lembut.

“Jorok. Awas, besok saya tak mau lihat itu masih ada,” ancam Cornelia bersungut-sungut.

“Kau yang cukur.”

“Enak aja. Memangnya saya istrimu?”

Tiba-tiba ia terkejut dengan kata-katanya sendiri. Istri? Istri pemuda itu? Angannya melayang, membayangkan kisah malam pertama. Malam yang indah. Jantungnya berdebar lagi, ia dengar seperti deburan ombak. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)