Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Lima)

BERBAGI News – Tujuh tahun sebelumnya, ketika pemuda tanggung indigo bernama Ahmad bertemu Ghalib, pertapa dari lereng Rinjani, di sebuah hutan belantara.

“Kakek, mengapa saya di sini?”

Pertapa itu menarik nafas. Helaan yang membuat tanah di belantara itu bergetar. Daun-daun berguguran. Burung-burung menghentikan kepakan sayap. Aneka satwa gelisah.

“Seratus windu aku menunggu. Enam ratus tahun aku mencari, melintas benua-benua, menyusuri negeri-negeri kelam, dan ribuan daratan yang nyata maupun gaib. Ternyata yang kucari ada di depan hidungku,” pertapa itu mengangkat lalu menghentakkan tongkatnya yang berkeluk tak beraturan. Tongkat dari kayu Sulaiman.

Hentakan tongkat itu menimbulkan gelombang angin yang deras. Tubuh Ahmad terdorong ke belakang. Sebuah pohon besar menahan tubuhnya yang terjajar.

Dua makhluk kembar bertanduk berkepala gundul tiba-tiba muncul. Keduanya duduk bersimpuh di depan pertapa setelah memberi hormat.

“Jin punggawa kembar Hutan Pusuk, bawa pemuda ini ke tempatku,” pertapa berjanggut panjang memberi perintah, lalu menghentakkan lagi tongkatnya. Segulungan kabut turun berputar mengelilingi tubuhnya, lalu ia lenyap dari pandangan.

Dua jin punggawa bertubuh kerdil itu menghampiri Ahmad. Mereka hanya setinggi pinggang. Dua pergelangan tangan Ahmad serasa dicekal, lalu tubuhnya ditarik, melesat di udara ke arah timur.

Mereka berhenti di sebuah rumah panggung kayu beratap alang-alang. Di depannya ada telaga berair jernih dikelilingi tumbuhan semak namun tertata rapi yang berfungsi sebagai pagar. Di tengah salah satu sisi pagar ada pintu kecil. Daun pintunya dari anyaman kulit bambu yang berbingkai.

Pertapa itu menuruni tangga ketika dua makhluk yang membawa Ahmad tiba di depan rumahnya. Dua hulubalang itu menjura, lalu melesat ke dalam rimba.

Orang tua berjanggut panjang itu mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Ia memberi isyarat agar Ahmad mendekat. Benda di tangan sang pertapa adalah guci kecil dari tembikar. Sumbatnya dibuka, lalu ia menuang tiga tetes cairan dari benda itu ke dalam telaga.

Ahmad mencium aroma yang membuatnya seolah tak menjejak di bumi. Seperti berada di tempat sangat luas tak berbatas. Juga tidak memiliki dasar tempat berpijak. Tubuhnya seperti melayang. Saat tetes terakhir itu menyentuh air permukaan kolam, suasana mendadak senyap. Rimba belantara seolah tak berpenghuni. Pohon dan dedaunan tak bergerak. Angin mati. Ia melihat permukaan kolam berwarna pelangi menyilaukan. Lalu muncul bayang-bayang bermacam bentuk makhluk di sekitar kolam. Mulai dari aneka jenis hewan, sosok manusia, hingga sosok aneh dan menyeramkan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh)

“Buka pakaianmu, Ahmad. Kau mesti berendam di telaga ini selama tiga hari tiga malam. Pejamkan matamu. Pusatkan terus pikiranmu. Hanya kekuatan pikiran satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu. Jika kau gagal, itu berarti ajal, akhir kehidupanmu. Jangan sekali-sekali kau membuka mata sebelum mendengar suaraku. Aku akan pergi selama kau berada di sini.”

Orang tua itu ternyata mengetahui namanya.

Ahmad turun, berjalan ke tengah telaga. Di bagian ini air hanya seinci dari hidungnya.

“Berhenti dan berdiri di situ. Mulailah,” terdengar lagi suara sang pertapa.

Ahmad memejamkan mata. Sejam berlalu, ia belum merasakan atau mengalami apa pun, kecuali air telaga yang cukup sejuk seolah meresap ke dalam pori-porinya.

Mendadak kepalanya terasa panas. Seperti ada bola api di atas ubun-ubunnya. Membakar rambutnya, membuat wajah dan kulit kepalanya melepuh. Ia menahan sakit yang luar biasa. Bola api itu semakin dekat, terasa ditempelkan di batok kepalanya. Ahmad nyaris mengeluarkan jeritan kesakitan yang tak terperikan. Tetapi ia teringat pesan pertapa. Kekuatan pikiran. Bagaimana memanfaatkan kekuatan pikiran? Ia kebingungan. Dan bola api itu kini melelehkan seluruh dagingnya di bagian kepala. Tiba-tiba terpikir olehnya bongkah-bongkas es batu yang sering dilihatnya di pedagang es keliling. Pikirannya membayangkan bola salju yang sangat besar. Ada lima buah bola salju, mengepung bola api di atas kepalanya. Bola-bola itu menabrak bola api. Tapi bola api terlalu panas. Lima bola salju meleleh, mencair. Saat benda dingin dan panas itu berbenturan, Ahmad merasakan panas agak berkurang. Kini ia ciptakan bola salju yang lima kali lebih besar sebanyak dua puluh buah. Benaknya menggerakkan bola-bola raksasa itu secara serentak. Dua puluh bola salju menghantam bola api. Ia mendengar ledakan dahsyat di atas kepalanya. Bola api remuk, lalu serpihannya berjatuhan di dalam telaga. Terdengar seperti bara api yang tercelup ke dalam air. Detik itu juga Ahmad merasakan udara kembali normal. Panas yang membakar kepalanya lenyap.

Rimba sekitar telaga kembali senyap. Ahmad merasakan tenteram, bahkan lebih nyaman dibanding awal kedatangannya di tempat itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Delapan)

Namun itu tak berlangsung lama. Air telaga tiba-tiba bergelombang, menghantam tubuhnya. Ia hampir terseret arus. Ia bertahan dengan tubuh terombang-ambing mengikuti gelombang yang datang tak beraturan dari segala arah. Gelombang tinggi sempat membuat tubuhnya tenggelam. Ia rasakan air masuk ke dalam hidung dan telinganya.

Di depan Ahmad mengapung seekor buaya yang sangat besar. Ekor buaya itu terus bergerak, memukul ke kiri dan ke kanan. Inilah penyebab gelombang yang hampir membuat Ahmad terpental dari tempatnya berdiri.

Hewan buas itu bergerak maju, sampai hanya beberapa jengkal di depan Ahmad. Mulutnya menganga, memperlihatkan giginya yang siap meremukkan apa pun yang masuk ketika dikatupkan. Walau Ahmad mampu berkomunikasi dengan semua hewan, ia tak mampu membuat buaya itu menjadi jinak. Sadarlah ia, makhluk di depannya bukan hewan biasa, tetapi jejadian.

Ahmad sudah memiliki pengalaman mengolah kekuatan yang berasal dari pikirannya ketika menghadapi siksaan bola api. Saat moncong buaya itu hampir menyentuhnya, seekor hiu ganas seukuran buaya itu muncul dari benaknya. Hiu mengamuk, mencoba menyerang buaya. Tapi gigi hiu tak mampu mengoyak kulit buaya yang alot. Ketika hiu lengah, buaya menerjang, moncongnya mengatup persis di bagian kepala hiu. Tak ampun lagi, jepitan gigi-gigi buaya yang keji itu membuat kepala hewan itu terputus.

Buaya itu melemparkan korbannya. Ia kembali mengarahkan serangannya kepada Ahmad. Dalam sekali terkam, kepala Ahmad nasibnya jauh lebih buruk daripada hiu tadi. Dari benak Ahmad melesat dua buah pisau dan tongkat besi. Pisau-pisau menancap telak di sepasang mata hewan ganas itu. Tetapi sang buaya menjadi kalap dan bertambah ganas. Ekornya tak berhenti menghantam menciptakan riak dan gelombang. Moncong buaya menganga bertambah lebar. Di saat itulah tongkat besi berdiri tegak di ujung moncong sehingga tak bisa dikatupkan. Dua bilah pisau yang telah membutakan buaya, melesat kebagian lain tubuh hewan itu. Pisau-pisau menghunjam beruntun, sampai sang buaya tak berkutik lagi. Darah muncrat, membuat air telaga berubah merah.

Belum sempat Ahmad menarik nafas lega, ia mendengar cekikikan perempuan di sekelilingnya. Empat puluh gadis berparas cantik, seolah bidadari yang turun dari kahyangan, mengitari telaga. Lalu mereka duduk. Kaki-kaki putih mulus berjuntai, memainkan air telaga. Ahmad mendengar namanya dipanggil-panggil. Suara yang terdengar lembut, seperti ibu yang memanggil anaknya pulang.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam)

Lalu gadis-gadis itu menanggalkan pakaian mereka. Tubuh-tubuh indah telanjang bulat, turun ke dalam telaga menghampiri Ahmad. Mereka mengelilingi pemuda itu. Beberapa gadis menciumnya. Ada yang memeluknya. Buah dadanya yang kencang menempel di tubuh lelaki yang baru beranjak remaja itu. Ahmad merasakan nafasnya sesak. Dadanya berdebar tak beraturan. Darahnya memanas, seperti ada api dalam tubuhnya. Ia hampir kehilangan akal sehat ketika beberapa tangan menyentuh auratnya. Ia hampir beranjak mengikuti gadis-gadis itu, melampiaskan gairah yang baru pertama kali muncul. Gairah lelaki yang dikuasai nafsu berkobar. Tetapi ia teringat pesan itu. Meninggalkan kolam sama artinya dengan akhir hidupnya. Ia mengeluh, membathin. Apakah ia akan tega menggunakan pikirannya untuk membunuh gadis-gadis molek seindah bidadari itu? Otaknya buntu. Sementara tangan-tangan lembut itu terus menggerayanginya.

“Ahmad, kita tinggalkan kolam ini. Kita bercinta di tempat kami di atas sana. Tempat yang indah,” seorang gadis paling jelita berbisik di telinganya.

Ahmad tiba-tiba teringat jaring ikan Wak Toha tetangganya. Nelayan yang selalu mujur. Setiap ia pulang melaut, sampannya penuh ikan.

Pikiran Ahmad bekerja, menciptakan jaring lebar yang terbuat dari serat-serat halus. Benang-benang sutra yang halus tapi tak mudah putus. Jaring yang tak akan mencelakai tubuh-tubuh berkulit halus itu. Jaring mengembang lebar, turun memerangkap gadis-gadis molek di telaga tanpa mereka sadari. Tubuh-tubuh itu terangkat, lalu terdengar sedu-sedan. Gadis-gadis itu memanggil-manggil Ahmad. Jauh dan semakin menjauh. Sayup-sayup, sampai hilang dari pendengaran.

Ahmad menarik nafas panjang berulang-ulang. Sunyi senyap kembali menyelimuti.

“Cukup, Ahmad! Sekarang buka matamu.”

Ia mendengar suara yang dikenalnya. Pelan-pelan ia membuka mata. Saat itu juga tubuhnya meluncur ke atas, melayang di atas telaga.

Pertapa itu berdiri di pintu pagar telaga, menyambutnya.

“Tepat tiga hari tiga malam. Kau melewatinya dengan sempurna. Sekarang separuh kekuatanku telah berpindah ke dalam tubuhmu. Mari bicara di atas rumah. Banyak hal yang perlu kusampaikan.”

Cahaya bulan memantul di permukaan telaga. Malam turun di tengah rimba. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)