Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Tujuh)

BERBAGI News – Cinta membuatnya rela mengerjakan apa saja yang selama ini tak pernah dilakukannya. Dalam urusan dapur, gadis itu hanya bisa menggoreng telur dadar atau mata sapi. Ia sama sekali tak pernah tertarik mempelajari apa pun resep masakan. Ia hanya duduk di depan meja saat merasa lapar. Tak pernah bertanya atau memberi komentar selezat apa pun hidangan yang ia nikmati.

Tetapi semua itu berubah setelah ia mengenal pemuda pribumi itu. Ahmad kini sering mampir di berugaq. Ia bahkan tak malu-malu meminta makan ketika ia merasa lapar.

Cornelia dengan senang hati memenuhi permintaan pemuda itu. “Inaq, tadi dia makan dengan olah-olah itu begitu lahap. Dia bilang besok dia akan datang lagi, dia minta dibuatkan ares (gulai berbahan kedebong, batang pisang). Ajari lagi, ya?”

“Nanti kita cari kedebong-nya dulu,” kata Rabiyah.

Seringnya permintaan itu akhirnya membuat gadis Belanda itu menguasai resep-resep masakan Sasak dalam waktu singkat. Ia pandai membuat pelecingan lindung (belut), pedis panas, ebatan, pelalah, bebalung, beberoq, urap bebele, sampai gulai otak bajo. Ia selalu menunggui Ahmad yang sedang makan. Semua yang dihidangkannya selalu habis dinikmati pemuda itu. Itu membuatnya selalu senang. Apalagi setelah Ahmad memuji semua masakannya. Sekali waktu mereka makan begibung. Dan Rabiyah terus mendehem-dehem menggodanya. Tetapi telinga gadis itu sudah kebal.

Di saat-saat seperti itu ia teringat teman-temannya. Apa komentar mereka melihat banyak perubahan terjadi pada dirinya sekarang? Ia pastikan, ia akan jadi bahan tertawaan. Idola di Rotterdam, gadis pujaan sinyo-sinyo di Batavia, juita terindah di hamparan aneka puspa, ternyata hatinya menggelepar, tertembus anak panah yang terlepas dari busur seorang pemuda inlander. Ia membayangkan semua ledekan bahkan cemooh itu. Tetapi apa pedulinya? Apakah itu sebuah kesalahan? Siapa yang bisa merencanakan datangnya cinta? Asmara baginya kutub-kutub yang saling mencari, saling menemukan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh)

Ia menatap pemuda yang baru selesai makan. Ia lihat dagu pemuda itu telah bersih. Ia senang, Ahmad menurutinya, mencukur janggutnya. Tetapi ia ingin menyentuhnya lagi, di bagian lain. Kumis tipis itu menggodanya. Tangannya gatal. Tetapi ia belum menemukan alasan. Namun tangan lembut itu nekad.

“Ada lalat di hidungmu,” katanya. Telapak tangannya mengusap hidung sang pemuda, dan sedikit turun meraba kumis yang membuatnya gemas.

“Mana ada lalat. Alasan saja.”

“Alasan apa?” gadis itu melotot, tapi ia tersipu juga.

“Alasan mau pegang-pegang saya.”

“Apa? Enak saja bicara!”

Tapi kali ini Cornelia tambah gemas. Ia pencet hidung pemuda itu keras-keras, tak dilepaskannya. “Coba ulangi lagi. Bilang apa tadi?”

Rabiyah muncul. Ia terheran-heran. Tapi selalu ada bahannya untuk menggoda.

“Na na na, kenaq wah. Leman piran kubadaq. Kapong, siduk mes iye (nah, betul sudah. Dari dulu saya beri tahu. Peluk, cium dia).”

Cornelia melepas jepitan jarinya. Gadis dan pemuda itu sama-sama menunduk menyembunyikan wajah yang memerah.

“Inaq, inaq. Tidak bosan-bosannya,” kata Cornelia, turun dari berugaq memburu Rabiyah yang berlari masuk rumah.

Sebelum pulang Ahmad menyerahkan sesuatu yang cukup berat, terbungkus kertas amplop. “Saya khawatir hilang. Saya berikan untukmu.”

Malamnya Cornelia mengajak Rabiyah ke kamarnya. Ia membuka kertas pembungkus benda yang diberikan Ahmad. Sebuah kotak perhiasan. Kotak itu dibuka. Dua wanita itu berseru. Mata mereka terbelalak. Kotak itu berisi sepuluh buah gelang, selusin cincin bermacam motif, setengah lusin rantai kalung dengan liontinnya, dan delapan pasang giwang. Semua terbuat dari emas bertatahkan mutiara, mirah delima, dan berlian. Beratnya lebih dari satu kilogram!

“Kenapa perhiasan sebanyak itu ia berikan kepada saya, Inaq?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Belas)

“Non Lia akan dilamarnya. Pasti.”

“Saya dilamar?”

“Laki-laki memberikan perhiasan emas, siapa pun tahu maksudnya. Cuma yang tidak biasa, itu diberikan sebelum menikah. Pemuda itu memang aneh.”

Menikah? Ia tak pernah memikirkan pernikahan, hingga di usianya yang ke dua puluh tahun ini. Usia yang menurutnya belum matang. Tetapi, kini ia merenung, membayangkan hari bersejarah itu. Menikah. Dadanya bergemuruh. Debaran yang membuat perasaan indah. Tiba-tiba ia merasa siap. Siap menikah. Siap menanti lamaran. Siap hidup bersama lelaki yang selalu membuatnya berdebar. Membuatnya gemas.

Ketika Ahmad mampir lagi di berugaq keesokan harinya, ia bertanya perihal perhiasan itu.

“Itu diberikan ibu saya. Beliau berpesan berikan itu kepada seseorang.”

“Siapa?”

“Istri saya.”

Ada gemuruh lagi di dada Cornelia. Laksana ombak berdebur lembut, terasa indah membentur dinding hatinya. Ia menunduk. Apakah pemuda itu sudah menganggap ia istrinya? Ia melayang. Terbang.

“Tetapi saya belum resmi jadi istrimu, Ahmad,” ucapnya perlahan. Ia mengangkat kepala. Tetapi pemuda itu sudah tak ada di hadapannya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Berita Lainnya