Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Delapan)

BERBAGI News – Perjalanan Omar Jabari telah sampai di kawasan Hutan Monggal di utara Lombok, ketika sesosok penunggang kuda berpakaian hitam-hitam berhenti di depannya. Ada seekor kuda lagi di belakangnya. Penunggang kuda bertubuh ceking itu segera turun menghampiri lelaki itu.

“Kosey, ada apa lagi?”

“Kita harus balik lagi ke Ampenan.”

“Maksudmu?”

“Saya menemukannya. Tapi dari penerawangan saya, dia orang yang berbeda.”

Omar Jabari dan Kosey Radames, datang dari Az Zagazig, sebuah dataran rendah di Mesir tak jauh dari kota kuno Bubastis.

Omar putra salah seorang pengusaha terkaya di Provinsi Sharqiya. Tetapi ia tak tertarik mengikuti jejak ayahnya. Ia sempat menuntut ilmu di Kairo, tetapi hanya berjalan selama dua tahun. Ia seorang yang ambisius. Tertarik di bidang politik. Bidang yang diterjemahkannya adalah upaya-upaya untuk menguasai dunia. Paling tidak di negerinya. Tetapi politik tanpa dukungan materi hanya akan berjalan di tempat. Dengan harta kekayaan akan didapatkan orang-orang kuat. Para pengabdi yang dapat diandalkan tenaga dan pikirannya, untuk merebut dan memperluas kekuasaan. Untuk itu, terlebih dahulu ia mesti memperkuat dirinya sendiri. Hingga usianya hampir tiga puluh tahun, ia mengembara menuntut berbagai ilmu kesaktian. Terakhir ia sampai di Kota Kematian, di tepi barat Kota Luxor. Di sinilah ia bertemu Kosey, yang ternyata berasal dari kota yang sama dengannya.

Kosay memperdalam ilmu magis yang dipelajarinya dari The Book of Abramelin. Kitab yang memuat ajaran gaib dari penyihir Mesir Kuno Abramelin, salah satunya anjuran untuk menjalin persekutuan dengan iblis.

Pertemuan itu sangat berarti bagi keduanya. Bagi Omar, munculnya Kosey adalah tonggak awal kesepakatan sebuah perencanaan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Potensi teman barunya ini akan memudahkan semua urusan bahkan menambah kekuatan di pihaknya. Sedangkan Kosey yang terlahir di keluarga miskin, tak tertarik pada kekuasaan. Latar belakang hidupnya membuatnya mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan sekaligus kedigdayaan. Perkenalannya dengan Omar baginya sebuah berkah, datangnya sang dewa penolong. Omar membiayai hidupnya, termasuk riset-riset gaib menelusuri harta karun yang tersebar di sejumlah dataran dan perairan Mesir.

Omar ditunjukkan sebuah peta. Titik-titik di peta itu didapatkan dari bisikan dan petunjuk iblis yang mulai bisa dikendalikan. Omar menurunkan belasan bahkan puluhan orang untuk menelusuri tanda-tanda potensi itu. Ketika mulai digali, sebagian besar terbukti memendam benda-benda berharga, antara lain koin-koin emas dan perak, aneka perhiasan, dan senjata bersepuh emas.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Lima)

Kedua lelaki itu tambah bersemangat. Mereka mulai memiliki simpanan harta-benda yang tak ternilai. Mereka pun kini memiliki ratusan pekerja tangguh. Para pekerja yang sangat loyal, lantaran mendapat bayaran besar. Tak satu pun mengetahui obsesi besar yang tersusun di kepala kedua majikan mereka.

Namun suatu hari Kosey menyampaikan usulan penting menyangkut percepatan tercapainya sebuah rencana. Ia mengaku belum tuntas menguasai ilmu purba dari kitab yang dipelajarinya. Tapi walaupun di kemudian hari pelajarannya khatam, ia menyangsikan kemampuan tersebut.

“Sihir Abramelin hanya mampu membuat tunduk para iblis golongan tertentu. Dan mereka bukan yang paling tangguh.”

“Lantas?” tanya Omar tak sabar. Ada kekecewaan di wajahnya.

Kosey menuturkan guci berisi senyawa yang dimiliki Minephtah yang pada suatu masa jatuh di tangan tokoh sakti Majusi. Tapi kemudian direbut seorang titisan jin yang dibuang kaumnya sendiri.

“Namanya Ghalib, keturunan jin di kawasan Sungai Tigris. Ia membawa senyawa itu kembali ke tempat asalnya, di suatu pulau di Hindia Belanda. Kita harus dapatkan itu.”

Keduanya memutuskan berangkat menuju Pulau Lombok. Di hari pertama setibanya di Ampenan, Kosey mendapat petunjuk keberadaan Ghalib. Jin pertapa itu berada di tengah hutan yang diselimuti kabut tebal. Tetapi tidak diketahui secara persis di hutan mana posisinya. Dari komunikasi gaib yang diperoleh, Kosey hanya mendapat isyarat arah timur dan utara. Akhirnya keduanya berpencar. Omar menyusuri hutan-hutan di bagian utara, sedangkan Kosey bergerak ke arah timur. Namun di perjalanan lelaki itu kembali mendapat petunjuk yang cukup jelas. Ia menyewa dua ekor kuda menyusul kawannya, agar segera kembali ke tempat kedatangan awal.

Sebelum sampai di Ampenan, Kosay minta berhenti sejenak. Lelaki itu mengajak Omar menuju rerimbunan belukar. Dari balik pakaiannya ia mengeluarkan kantung kain hitam berisi kemenyan. Benda itu dibakarnya, tak lama asap bertebaran, menebar aroma yang membuat bulu kuduk berdiri.

“Dia berada di sekitar pelabuhan. Gampang mengenalinya. Seorang pribumi yang mengenakan pakaian lengkap, di antara mereka yang tak berbaju. Tapi saya bertanya-tanya. Sosok yang muncul ini bukan seseorang yang pantas diperhitungkan. Tak nampak punya kemampuan sedikit pun. Seorang laki-laki remaja. Cepat, mumpung ia masih di sana!”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tujuh Belas)

Di bawah pondok yang sudah ditinggal penghuninya di pesisir Pantai Ampenan, Ahmad berdiri menghadap pantai. Seorang anak menghampirinya, menyerahkan dua batang rokok kelobot. Anak itu juga memberikan beberapa keping uang logam.

“Kamu ambil sudah kembaliannya,” kata Ahmad.

Anak itu mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke tempat teman-temannya berkumpul di dekat perkampungan.

Ahmad mengeluarkan pemantik api dari dalam tasnya. Ia berusaha menyalakan api, ketika dua orang lelaki turun dari kuda beberapa langkah di sampingnya.

“Ringkus dia. Benda itu ada padanya,” kata seseorang bertubuh kurus kering.

Kawannya yang bertubuh tinggi besar dan berotot bertanya ragu. “Remaja ingusan ini? Bagaimana mungkin benda keramat yang dihormati segala makhluk berada di tangannya?”

Tetapi Kosey tak menyahut. Ia semakin mendekat. Remaja itu masih berusaha membakar rokok yang terselip di bibirnya.

Kosey tinggal tiga langkah lagi akan menyentuh Ahmad. Ia membentangkan tangannya siap menyergap. Pemantik di tangan remaja itu akhirnya menyala. Ahmad tersenyum girang. Ia bakar rokoknya. Mulai mengisapnya. Asap ia hembuskan perlahan. Anehnya, asap itu membelok ke arah Kosay. Langkah lelaki itu terhenti. Asap rokok itu terasa seperti benda yang sangat keras menghantam keningnya. Ia hampir terjungkal. Terdengar makiannya yang membuat Omar terheran-heran.

“Bedebah. Haram jadah! Monyet kecil ini menyerang saya.”

Kosay kembali maju. Kini Ahmad membalikkan badan ke arahnya. Ia tetap asyik merokok.

Mulut Kosay komat-kamit. Tiba-tiba dari pundaknya muncul dua sosok makhluk berkulit legam. Makhluk-makhluk besar dan sangat jangkung. Di atas sepasang telinga mereka yang bergerigi, terdapat sepasang benda hitam runcing seperti tanduk kerbau. Sepasang tangan mereka begitu panjang sampai ke tanah, dengan jari-jari berkuku melengkung ke depan yang juga panjang. Dua makhluk mengerikan itu berdiri membelakangi Kosay, berhadap-hadapan dengan Ahmad.

Ahmad menyedot lagi rokoknya. Kali ini lebih lama. Gumpalan asap keluar dari mulutnya. Asap berputar, lalu hilang, berganti sesosok tubuh sangat gemuk yang hanya mengenakan cawat.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Enam)

“Gendarip jin Selat Lombok, siap tunaikan perintah,” ucap makhluk itu, menjura di depan Ahmad.

Dua Iblis dari Kota Kematian suruhan Kosay menyeringai, memperlihatkan mulut-mulut bertaring. Secara bersamaan menyeruduk ke depan. Tetapi jin gemuk Selat Lombok tak gentar. Ia membungkuk menanti serangan. Dua pasang tangan iblis itu mengincar leher, dada, dan perut gendut jin Gendarip. Dengan kecepatan luar biasa ia melompat, berjumpalitan di udara. Terdengar suara berderak patah, disusul raungan Dua Iblis Kota Kematian. Ketika dua kaki Gendarip menjejak, tanah terasa bergetar kuat. Di tangannya tergenggam dua buah tanduk. Dua iblis itu kehilangan masing-masing sebuah tanduk. Mereka masih meraung-raung. Gendarip tak menunggu lama. Ia menerjang dengan dua benda di tangannya. Dua iblis meraung lebih keras, tapi itulah yang terakhir kalinya. Tanduk-tanduk menancap di ulu hati mereka. Dua tubuh besar itu terbanting ke tanah tak berkutik lagi, lalu hilang lenyap. Gendarip kembali membungkuk hormat, dan ia pun segera lenyap dari pandangan.

Wajah Kosey pucat pasi. Dua iblis dari belasan makhluk halus andalannya, tak berdaya menghadapi jin lokal yang dikendalikan remaja ingusan.

“Sudah, biar saya urus bangsat ini,” ujar Omar.

Lelaki itu membuka bajunya, melemparkannya ke tanah. Tubuhnya berbulu, kekar berotot. Tangannya meninju tiang teras pondok tempat Ahmad berdiri. Tiang pondok dari kayu jati sebesar paha orang dewasa itu remuk berkeping-keping. Kehilangan satu penyangga membuat atap teras roboh. Ahmad pindah ke tempat terbuka sebelum atap itu menimpanya. Rokoknya tinggal isapan yang terakhir. Lelaki besar berbulu itu terus mendekat. Satu tangannya memukul lagi ke arah dada Ahmad. Tapi sebelum tangan itu sampai, Ahmad membuang puntung rokoknya. Sisa rokok yang masih memiliki bara itu melesat ke wajah Omar. Lelaki itu tak menyangka mendapat serangan seperti itu. Ia tak sempat berkelit. Puntung rokok itu seperti peluru dengan telak menembus tepat di antara cuping hidungnya. Lelaki itu memekik kesakitan.

Ia mengamuk, membuat serangan baru. Tetapi remaja itu telah hilang dari pandangannya.

“Anjing. Haram jadah. Kejar keparat itu!” makinya sambil menahan rasa sakit menusuk yang belum hilang di hidungnya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)