Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Sembilan)

BERBAGI News – Setelah beberapa lama menjadi sarana penghubung para pedagang di Nusantara, di tahun 1840 Pelabuhan Ampenan mulai menjadi pusat kegiatan ekspor-impor. Melalui pelabuhan inilah berbagai komoditas diekspor, di antaranya beras, ikan, kayu cendana, teripang, dan penyu. Kota dan negara tujuan antara lain Bourbon County, Kentucky, Amerika Serikat, Manila, Cina, dan Kepulauan Mairitus di barat daya Samudera Hindia. Sedangkan produk yang diimpor berupa emas, perak, senjata api, amunisi, candu, dan minuman keras yang didatangkan dari Bourbon, Mauritius, Singapura, dan Bengala, India.

Setelah kekuasaan Karangasem di Lombok runtuh, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Pelabuhan Ampenan sejak tahun 1894. Belanda mulai membangun berbagai fasilitas yang berhubungan dengan jaringan transportasi se-Pulau Lombok. Mulai dari perbaikan dermaga, pembuatan jalan, jembatan, dan penambahan sarana angkutan darat dan laut. Di kawasan Pelabuhan Ampenan juga didirikan sejumlah gudang, rumah gadai, dan kantor-kantor perwakilan, di antaranya Nederlandsche Indische Handelsbank, dan Konoinklijk Paketvaart Maatschappij (KPM).

Nederlandsche Indische Handelsbank berkantor pusat di Amsterdam dengan jaringan tersebar di hampir seluruh dunia. Sedangkan kantor pusat di Hindia Belanda berada di Batavia. Perusahaan yang mulai berdiri di tahun 1863 ini menangani bisnis perbankan, kasir, dan perdagangan dalam arti luas.

Sementara KPM adalah perusahaan pelayaran Kerajaan Belanda yang juga berkantor pusat di Amsterdam. Peran utama perusahaan ini mengangkut bala tentara dan suplai logistik untuk pasukan Belanda.

Para pegawai perusahaan-perusahaan pemerintah kolonial itu sebagian besar menetap di Kampung Taman Kapitan. Banyak di antara mereka teman-teman Willem Hendrick.

Sejak Cornelia datang ke Lombok, teman-teman lelaki Willem sering berkunjung. Gadis itu hanya sebentar menemani bercakap-cakap lalu pamit kembali ke kamarnya.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tiga)

Beberapa kali Willem memancing-mancing, ingin mengetahui apakah ada salah satu dari temannya yang membuat adiknya tertarik. Tapi Cornelia hanya menjawab apa adanya. Baginya, teman Willem adalah juga temannya.

Tapi, belakangan, ia mengetahui ada sesuatu sedang terjadi pada adiknya. Sepanjang hari Cornelia mondar-mandir dari ruang tengah ke ruang depan dan nampak selalu gelisah. Ia pun lebih sering keluar-masuk kamar mandi. Gadis itu bisa berganti pakaian sampai tiga kali sehari, padahal tidak bepergian. Yang paling menyolok, ia kini sangat aktif di dapur. Memasak atau bertanya bermacam hal tentang masakan pribumi.

Willem pun mafhum. Diam-diam ia mencari tahu. Awalnya ia sedikit kecewa, mengapa adiknya tak ada ketertarikan sama sekali kepada pemuda-pemuda sebangsanya.

Namun pemuda itu akhirnya menepis rasa keberatannya. Ia menyayangi adiknya. Ia mesti bersyukur adiknya senang tinggal bersamanya. Pemuda pribumi bernama Ahmad yang diketahui menjalin hubungan dengan Cornelia, punya andil membuat adiknya betah di Lombok.

Di tengah kemelut di Eropa, orang-orang sebangsanya terusir dari negeri sendiri, membuatnya merasa sangat prihatin. Ia merasa kasihan, terutama pada Cornelia yang terpaksa ikut menyelamatkan diri, meninggalkan tanah kelahiran.

Sehingga apa pun kesibukan adiknya ia tak pernah komentari ataupun melarangnya. Ia ingin Cornelia selalu merasa nyaman dan menemukan ketenteraman, sehingga bisa melupakan keadaan di hampir seluruh belahan bumi yang dicekam teror bernama perang.

“Akhir-akhir ini saya sering bermimpi ada tetaring (anyam-anyaman daun kelapa yang di tata renggang, dijadikan langit-langit atau sekat di tempat pelaksanaan berbagai acara) di depan rumah,” kata Willem saat makan malam.

“Itu artinya apa?” tanya Cornelia.

“Saya tidak tahu artinya. Tapi saya juga lihat kuade di situ.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Enam)

“Tetaring orang merariq (tradisi perkawinan di Lombok) kalau ada kuade atau pelaminannya.”

“Ya, saya tahu. Tapi rasa-rasanya saya mengenal wanita yang duduk di kuade itu.”

“Siapa?”

“Sebentar.”

“Inaq, ya? Pria temannya bersanding, siapa?”

“Yang pasti bukan inaq. Tapi wanita itu… Ya, ya. Gadis sangat cantik. Gadis Belanda pakai baju pengantin Sasak.”

Cornelia segera sadar ia sedang disindir. Ia bangkit, mencubit kedua pipi kakaknya dengan gemas. “Saya perempuan yang kamu maksud, ya? Siapa mau merariq. Mungkin kamu. Ya, cepatlah menikah, kamu hampir jadi bujang lapuk.”

“Inaq!”

“Tiyang, Tuan Muda.”

“Coba cari tahu kapan Ahmad datang melamar. Atau ia mungkin akan membawa lari adikku.”

Cornelia heran bercampur gemas. Dari mana Willem tahu nama pemuda itu?

“Baik, Tuan Muda. Mungkin secepatnya. Barangkali sebelum bulan puasa. Soalnya….”

“Inaq!” potong Cornelia, matanya melotot. Tapi Rabiyah tersenyum-senyum tak menghiraukan gadis yang menatapnya dengan galak.

“He, sebelum bulan puasa? Kau mau melangkahiku, Cornelia?”

Cornelia kembali mendekati Willem. Ia tak hanya mencubit, tapi menggigit lengan kakaknya. Willem memekik-mekik.

“Wah, kalau begitu saya harus cepat-cepat ke Batavia, menemui tunangan saya. Jangan sampai Cornelia mendahului,” kata Willem lagi, sambil mengaduh-aduh.

Ruang tengah itu hingar-bingar hingga larut malam.

*

“Kamu laki-laki pencemburu.”

Ahmad terkejut. Ia memandang tajam noni di depannya. “Bagaimana kamu tahu saya cemburuan?”

“Kata Inaq, malam waktu sinyo-sinyo dari Taman Kapitan itu datang, kamu mondar-mandir terus di depan rumah.”

Ahmad terdiam. Tapi sejurus kemudian ia tertawa lebar. “Ya, saya ingat. Malam itu ada suara seorang perempuan memanggil saya di seberang jalan. Lalu saya kejar.”

Mata Cornelia membesar. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya. “Siapa perempuan itu. Siapa?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Delapan)

“Mungkin bebalu (janda),” kata Ahmad. Ia tersenyum melihat gadis itu mulai emosi.

“O begitu? Seorang janda memanggil kamu malam-malam, kamu datangi. Siapa dia?”

“Mau tahu saja.”

Cornelia bertambah jengkel. Tangannya ikut bicara. Ia cubit lengan lelaki itu sampai merah. “Siapa?”

“Baru dibohongi kamu tanggapi serius. Jadinya siapa yang pencemburu?”

“Cemburu, sori ya?” kata gadis itu. Tangannya kembali mencubit. “Ahmad, saya ingin tahu.”

“Ingin tahu apa?”

“Apakah kamu mencintai saya?”

Pemuda itu nampak kembali terkejut.

“Ahmad!”

Belum ada jawaban. Cornelia tak sabar. “Ahmad. Jawab!”

Ahmad menarik nafas panjang. Ia memandang ke arah Sungai Jangkok. “Apakah jawaban, kata-kata, lebih penting dan lebih berarti dari sebuah sikap?”

“Saya butuhkan pengakuan, sebuah ucapan, selain sikap dan tindakan,” kata Cornelia sungguh-sungguh.

“Saya tak pandai bermain kata, Cornelia.”

“Hanya untuk ucapkan cinta dan tidak cinta, kenapa begitu sulit?”

Lama pemuda itu menekuri lantai berugaq tempatnya duduk. Ia kembali menghela nafas. “Karena kata-kata itu sangat penting bagimu, perlu waktu dan tempat mengutarakannya. Bukan di sini dan saat ini.”

“Kapan?”

“Saya akan memberitahumu. Ada banyak juga yang saya ingin bicarakan.”

Ahmad pamit. Telah hampir maghrib.

Di atas ruang di lantai dua, Willem mendengar semua pembicaraan Cornelia dan Ahmad, dari balik jendela depan. Ia tak hanya saat itu saja menguping. Telah berkali-kali ia melakukannya sehingga ia banyak tahu. Begitu Cornelia masuk, ia bergegas turun. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)