Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh)

BERBAGI News – Di lantai dua rumah dan tempat praktik Dokter Willem, Cornelia menemukan sejumlah benda yang tak dibawa pemiliknya. Ada beberapa buku tebal, lukisan, dan perabotan dari keramik.

Di dalam kotak besi yang sudah berkarat, ia temukan guntingan-guntingan surat kabar berbahasa Belanda. Koran yang terbit di Jawa dan di Belanda. Semuanya berhubungan dengan perairan Ampenan. Informasi yang bahkan ada yang lebih dari satu abad. Ia tertarik membacanya.

Pertama kali Cornelia membaca sebuah laporan Javasche Courant pada 10 Maret 1838. “Menurut laporan dari Ampenan di Pulau Lombok, sebuah sekunar Belanda Maria Fredericka milik seorang Cina diserang dan dirampas dua kapal perampok pada 9 Oktober (1837) di sudut timur laut Bali. Kepala kelasinya, seorang pelaut asli Cina melarikan diri dari tangan para perampok setelah tiba di Bima, dari mana kabar tersebut berasal. Ia memberi tahu bahwa kapal perampok tersebut berlabuh di Pulau Satonda, di perairan Sumbawa. Disebutkan juga, kapten sekunar disandera para perampok,” demikian dilaporkan surat kabar tersebut.

Koran yang sama pada 24 Oktober 1838 memberitakan sebuah brig (kapal layar dengan dua tiang) dirampok di Selat Lombok saat menuju Ampenan. Perampok yang menggunakan sampan Bugis menikam kapten dan seorang awak, dan menenggelamkannya.

Informasi tentang peristiwa kapal tenggelam dimuat pada 20 September 1854. Jomima Pareira, sebuah kapal kargo buatan Inggris bertolak dari Ampenan pada 31 Agustus 1854, menuju Singapura. Kecelakaan terjadi begitu tiba-tiba seolah kapal menyerah kepada ombak. Kapal tenggelam di kedalaman 30 depa, di sekitar Pulau Raas yang masuk dalam perairan Sumenep, Madura. 19 orang selamat, sementara 13 lainnya hilang.

Gadis itu tersenyum ketika membaca ada kapal bernama Cornelia di tahun 1857 yang memuat beras, gula, dan tembakau.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sepuluh)

Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 11 Januari 1859 menurunkan berita sebuah persidangan di Batavia dengan terdakwa Umar, Daeng Mangerang, Semannah, Inalla Uwe Soenie, Matanuah, dan Boelie. Mereka dituduh melakukan pembajakan, disertai dengan pembunuhan, percobaan pembunuhan, dan pembakaran, pada malam 4 sampai 5 April 1858 di kapal Srie Bakong. Kapal itu sehari sebelumnya bertolak dari Banyuwangi menuju Ampenan, memuat minyak, jangat, benang emas, minuman, lukisan, garam, sabun, kentang, dan 1.957.200 kepeng Cina. Empat terdakwa dijatuhi hukuman mati, tetapi dua lainnya dibebaskan karena tak ada bukti.

Koran Javabode 15 Juni 1859 melaporkan, Kim Woean Sing, sebuah kapal Inggris milik Singapura, tenggelam di Selat Lombok. Kapal ini berangkat dari Sumbawa dengan muatan 168 ekor kuda menuju Surabaya. Semua awak selamat, kecuali kapal dan hewan-hewan yang diangkut.

Cornelia masih asyik membaca ketika Raodah masuk kamar. “Ada Kak Ahmad datang,” katanya.

Cornelia bergegas turun. Ia melihat Ahmad di atas dokar.

“Mana kusirnya?”

“Saya yang bawa. Saya pinjam dokarnya saja.”

Cornelia ingin melihat aliran hulu Sungai Jangkok. Tapi Ahmad mengatakan letaknya jauh, berada di kawasan Hutan Sesaot. “Kita sedikit ke atas saja, dekat-dekat Dasan Agung,” kata Ahmad.

Rabiyah membawa segala perlengkapan, menaikkannya ke atas dokar.

Sepanjang perjalanan Cornelia berpegangan di pundak Ahmad yang memegang tali kekang kuda yang menarik dokar. Setelah melewati jembatan, dokar meluncur ke arah timur. Nampak di sepanjang jalan beberapa bangunan berdiri, namun lebih dominan areal persawahan dan kebun. Tiba di sebuah perkampungan dokar berbelok. “Kita titip dokarnya di sini. Kita berjalan sedikit ke tepi sungai,” ucap Ahmad.

Ahmad mengajak ke sebuah dangau di tengah sawah. Beberapa puluh meter ke utara adalah aliran Sungai Jangkuk. Pohon-pohon tumbuh rimbun di sepanjang tepi sungai. Suara derasnya air terdengar sampai ke tempat itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Delapan Belas)

“Saya akan memasak di sini. Kalian mandi saja,” kata Cornelia.

Rabiyah tersenyum. Ia sangat mengerti. Tanpa Cornelia mengatakan itu pun ia akan mencari alasan agar tak berada bersama mereka.

“Raodah, ayo kita mandi,” Rabiyah menarik lengan Raodah.

“Hati-hati menuruni tebing,” kata Cornelia.

“Non Lia juga hati-hati,” balas Rabiyah. Ia lihat wajah gadis itu seketika bersemu merah.

Ahmad duduk di balai-balai sambil melinting tembakau. Cornelia membongkar semua bawaan dari rumah.

“Kamu mau masak apa? Sebentar saya buatkan tungku,” kata Ahmad.

“Kamu mau dimasakkan apa?”

“Saya tak pilih-pilih makanan. Yakin semua yang kamu masak pasti enak.”

Ahmad membawa kayu-kayu kering dari tepi sungai. Ia membuat tungku dengan beberapa buah batu. Ia mulai menyalakan api.

Cornelia tenggelam dalam kesibukannya. Tetapi benaknya membayangkan sesuatu yang tak pernah ia pikirkan selama ini. Tiba-tiba ia tak ingin dipuja sebagai bintang dari panggung ke panggung. Ia hanya ingin pengakuan cinta dari lelaki itu. Ia membayangkan kehidupan jelata, dan berada di tengah-tengah itu. Hidup sebagai pribumi, berbahagia dengan cara sederhana.

“Kamu melamun apa? Saya lapar,” suara Ahmad menyadarkannya.

“Sebentar, sayang.”

Sayang? Ia terkejut dengan kata-kata yang terlanjur diucapnya itu. Dilihatnya Ahmad menunduk. Ia sendiri nampak tersipu.

“Kayumu hampir habis,” Ahmad bangkit.

Sebentar kemudian pemuda itu muncul membawa potongan-potongan kayu kering di pundaknya. Benak Cornelia kembali mengawang. Melompat ke sebuah masa. Ahmad akan selalu mencari kayu bakar untuknya memasak. Ahmad akan pulang tengah hari dari sawah. Perutnya lapar. Ia menemani lelaki itu makan. Ia dengar suara-suara riuh. Suara anak-anaknya yang sedang bermain. Suaminya, seorang pekerja keras. Ia akan kembali lagi ke sawah. Kadang ia ikut, beriringan di pematang sawah. Mereka pulang ketika hari telah senja.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Delapan)

Astaga, sejauh itu aku memikirkan itu. Dan, suami. Apakah aku memang telah siap menjadi istri seorang pribumi? Cornelia membathin.

“Melamun lagi,” tegur Ahmad.

“Iya, ya, sebentar lagi selesai semuanya.”

Hidangan kini telah siap. Cornelia memanggil Rabiyah dan Raodah.

“Wah, wah, Ahmad. Ini makanan istimewa. Tak ada beberok seenak ini,” kata Rabiyah.

Ahmad tak menyahut. Ia menambah nasi di piringnya.

“Ahmad, calon istrimu itu, sudah paling cantik di dunia, semua ia bisa. Masakannya merseng (gurih). Kamu aget (beruntung) sekali, Ahmad.”

Mendengar itu Ahmad dan Cornelia saling berpandangan. Tapi mereka sama-sama tersipu.

Cornelia ikut ke sungai. Rabiyah dan Raodah belum puas mandi. Tetapi Cornelia hanya sebentar menemani mereka.

Ketika ia kembali ke dangau, pemuda itu sedang pulas tertidur. Udara sepoi berhembus. Cornelia mengantuk. Tubuhnya cukup letih.

Hari menjelang senja. Ahmad terbangun. Ia rasakan ada sesuatu menindih dadanya. Ia gelagapan saat menyadari Cornelia tidur di dekatnya. Sebelah tangan gadis itu memeluknya. Ia dengar dengkur halus. Gadis itu benar-benar lelap. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)