Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Satu)

BERBAGI News – Abah Karim tak bisa bermain gasing. Tetapi ia tak kalah masyhur dengan jago-jago di arena pegangsingan. Hampir setiap minggu ia menjadi sponsor pertandingan di lingkup Ampenan. Ia menyiapkan hadiah berupa uang tunai, bahan-bahan pokok, pernah pula buah kurma.

Bahkan tak jarang ia mengubah jumlah hadiah. Tentu saja ada penyebabnya, yaitu kehadiran Cornelia di arena.

“Ana tambah lagi masing-masing lima liter beras untuk tiga pemenang utama. Dan, ente, Subhan, ana kasih hadiah khusus lagi, Hep. Fulus ƒ2 (ƒ=gulden) kalau ente bisa pecahkan gasing lawan.”

Orang-orang di arena mengelu-elukannya. Saat pertandingan berhadiah itu berlangsung pengunjung datang lebih ramai. Cornelia ikut bertepuk tangan dan menyerukan nama Abah Karim.

“Hidup, Abah Karim. Hidup Abah kita!” Ada juga yang berteriak, “Hebat, Abah kita yang paling gagah di Ampenan!”

Abah Karim berjalan mengelilingi arena main gasing. Ia tegak-tegakkan tubuhnya sambil mengisap cerutu. Dadanya dibusungkan. Semua orang tahu ia agak bungkuk lantaran usia. Tetapi setiap Cornelia hadir di tempat itu, ia selalu menampakkan diri sebagai seorang lelaki yang tak lemah.

“He, jangan berdiri terlalu maju. Ana lanjak (tendang) kaki ente nanti,” tegur Abah Karim pada beberapa penonton yang berdiri melewati garis.

Namun ada beberapa orang yang tak ikut bersorak-sorai memuji. Dua di antaranya Babah Hongli dan Daeng Salam. Mereka seolah tak mendengar keriuhan orang-orang yang menyebut-nyebut nama Abah Karim setinggi langit. Mereka membuang muka ke arah lain. Wajah mereka masam.

Sebenarnya, gagasan memberikan penghargaan kepada para pemain gasing terbaik, adalah prakarsa Daeng Salam. Ia bahkan memulainya dengan menyediakan hadiah yang tak tanggung-tanggung: tiga ekor kambing dewasa! Namanya pun berkibar ketika itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan)

Namun, kambing-kambing itu baru ia bayar kurang dari separuh. Sampai sekarang perkara itulah yang menjadi sumber keributan. Setiap hari pemilik ternak itu menagih ke rumahnya. Istrinya mengomel habis-habisan.

Sambil duduk di berugaq, setelah permainan gasing berakhir, Abah Karim menyampaikan kabar yang membuat orang-orang menunda kepulangan.

“Ana selalu di-pejuluk (didahului) si Ahmad. Ana dait (temukan) dia sedang ngupi (ngopi) di teras dengan harem itu.”

“Siapa harem itu, Abah?” seseorang bertanya.

“Ente semua ana pastikan belet elor (telan ludah). Pernah lihat gitar Spanyol? Dia bebalu. Tapi tak kalah menarik dengan dedare (gadis). Ana lihat wajahnya, ana ndak tahan. Ana nunduk, tapi ana sempat lihat impung (paha) harem itu. Ia duduk pakai celana pendek. Laa puteq meneng (jernih), montok.”

“Harem dari mana, Abah?”

“Dia baru datang dari Surabaya. Ternyata dia istri pemilik ekspedisi yang ana pakai selama ini. Harem itu bebalu Belanda. Suaminya meninggal setahun lalu.”

Berita Abah Karem seperti hunjaman paku di gendang telinga Cornelia. Bagai godam menghantam jantungnya, ketika nama Ahmad disebut-sebut.

“Inaq, besok pagi-pagi sebelum ke pasar, kita ke pelabuhan.”

“Ada keperluan, Non?”

“Inaq tidak dengar cerita Abah tadi sore? Perempuan itu tinggal di sekitar pelabuhan.”

“Inaq dengar. Tapi tidak begitu percaya. Bisa saja dilebih-lebihkan.”

“Tidak mungkin dia bohong tentang Ahmad yang duduk berdua ngopi bersama perempuan itu. Dan saya heran, Ahmad itu tak pernah minta kopi selama ini.”

“Non, Non Lia ‘kan tahu rata-rata mereka datang setiap sore di depan, orang-orang yang suka pada Non. Tapi mereka tahu Ahmad yang paling mendapat perhatian Non Lia. Bisa saja ada yang iri, termasuk Abah Karim, yang mulai mencari-cari kesalahannya.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Tujuh)

“Tapi perasaan saya tidak enak, Inaq.”

Malam itu Cornelia gelisah. Sampai ayam jantan berkokok, ia belum bisa memicingkan mata. Ia benar-benar terusik dengan kabar yang dibawa Abah Karim. Ia tak sabar menunggu hari terang. Seperti ada bara di dalam dadanya yang membuatnya tak tenang. “Secantik apa perempuan itu?” ia membathin. Malam terasa melata, berjalan sangat lamban. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)