Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Dua)

BERBAGI News – Air laut baru saja surut. Batas air saat pasang hanya tinggal lima depa dari beberapa pondok yang berada paling pinggir di pesisir. Gelombang pasang tertinggi di Pantai Ampenan dalam enam bulan terakhir.

Laut surut hampir bersamaan dengan terbitnya matahari. Tapi udara masih dingin. Seolah tak hendak beranjak meski matahari mengisyaratkan terik dari cahayanya yang menyilaukan. Orang-orang di pelabuhan ataupun para nelayan yang memeriksa perahu yang tertambat di pantai, masih berselubung kain sarung.

Rabiyah memandang ke arah timur, ke sebuah bangunan rumah di sekitar pelabuhan. Ada papan nama di depan bangunan berhalaman cukup luas itu. Temboknya yang berwarna putih nampak berdebu. Bangunan itu sudah cukup lama ditinggalkan penghuninya.

Telah hampir setengah jam perempuan pribumi itu mengamat-amati. Semestinya ia tak sendiri berada di sana. Tetapi, saat ia meninggalkan rumah, ia sempat mengetuk kamar Cornelia. Pintu kamar tak terkunci. Ia masuk, tapi gadis itu nampak tertidur pulas. Ia tak tega membangunkannya.

Pintu rumah itu terkuak. Seorang perempuan Eropa berusia sekitar tiga puluhan ke luar, masih mengenakan gaun tidur. Ia berdiri di teras lalu masuk lagi. Tapi tak lama perempuan itu muncul kembali dan turun ke halaman.

Dari tempatnya berdiri, Rabiyah dapat melihat dengan cukup jelas. Abah Karim tak salah. Perempuan itu selain cantik, bentuk tubuhnya begitu menggoda. Sepasang payudaranya nampak menonjol, walaupun ia mengenakan pakaian tidur yang cukup longgar. Rambutnya yang pirang panjang digelung di belakang kuduk. Kulitnya seperti pualam, terang cemerlang tersiram cahaya pagi.

Rabiyah tak ingin berlama-lama. Sekembalihya dari tempatnya mengintai, ia hendak belanja di pasar dan cepat-cepat pulang melaporkan semua yang dilihatnya. Tetapi ia tak jadi melangkah, ketika ia melihat seseorang muncul berhenti di depan bagunan itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tiga)

Rabiyah terkejut. Sekali lagi ia membenarkan Abah Karim. Orang yang baru datang itu bercakap-cakap dengan wanita Eropa itu. Nampak mereka sudah saling kenal.

“Astaga, Ahmad, sepagi ini kau sudah datang. Apa urusanmu? Benar, Abah tidak mengada-ada,” Rabiyah berbisik, matanya terus mengawasi.

Ia berharap Ahmad segera meninggalkan tempat itu. Ia masih yakin Ahmad bukan lelaki yang mudah tergiur godaan kemolekan wanita. Tetapi harapan itu buyar ketika dilihatnya pemuda itu menuju pintu. Di belakangnya menyusul wanita itu. Keduanya memasuki rumah.

Lagi-lagi Rabiyah mengharapkan pemuda itu tak lama berada di dalam. Tetapi seperempat jam telah berlalu. Keduanya belum muncul-muncul. Rabiyah cemas dan gelisah. Apakah semua yang telah dilihatnya ia akan sampaikan? Rabiyah merasakan kepalanya pening. Ia tinggalkan tempat itu. Ia menoleh lagi ke arah bangunan itu. Ahmad belum ke luar juga.

*

“Jadi benar dia cantik?”

“Begitulah. Tapi ia jauh lebih tua daripada Non Lia.”

“Kenapa inaq tidak membangunkan saya tadi?” gadis itu sedikit kesal.

“Saya sudah ketuk pintu. Saya lihat Non Lia tidur nyenyak sekali.”

Cornelia melihat Rabiyah tak seperti biasanya. Perempuan itu nampak gugup dan tegang.

“Inaq, coba lanjutkan lagi. Perempuan itu ke luar, masih dengan baju tidurnya. Di luar itu dia mungkin menunggu.”

“Begitulah, Non.”

“Inaq menjawab pendek-pendek saja dari tadi. Inaq seperti takut menyampaikan. Inaq, saya sudah menganggap inaq adalah ibu saya sendiri.”

Air mata Rabiyah berlinang. Ia pandangi wajah gadis itu, tapi ia kemudian menunduk. “Saya pun sudah anggap Non Lia anak saya. Saya sangat menyayangi Non Lia,” Rabiyah terisak.

“Mengapa Inaq menangis? Inaq, ceritakan semuanya, Inaq. Inaq lihat ada Ahmad di sana?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Tujuh)

“I… iya, Non,” perempuan itu tiba-tiba menjatuhkan diri di depan Cornelia, “Maafkan saya, Non.”

Sekujur tubuh Cornelia gemetar. Lantai yang dipijaknya seolah berguncang, laksana lindu yang sangat dahsyat.

Rabiyah meneruskan ceritanya. Kepalanya menekuri lantai, di ujung jari-jari kaki gadis itu. “Mereka masuk rumah. Saya lama menunggu, tapi mereka tidak keluar-keluar lagi.”

Cornelia berusaha tak mendengar penuturan itu. Tapi ia sudah telanjur mendengarnya. Ia terguncang. Dadanya seperti ditikam, dihunjam belasan belati. Ia rasakan tubuhnya diremas tangan raksasa, meremukkannya hingga berkeping-keping. Gadis itu limbung. Pandangannya berkunang-kunang. Dengan cepat Rabiyah bangkit menahan tubuh gadis itu. Ia memeluk Cornelia, menuntunnya ke dalam kamar.

Di atas ranjangnya Cornelia tak dapat menahan air matanya. Air mata deras laksana bah yang membobol dinding tanggul. Rabiyah duduk di tepi tempat tidur, memandang gadis itu tanpa berkata-kata.

“Inaq, sejahat itu Ahmad?” suara lirih meluncur dari bibir mungil Cornelia.

Kamar hening. Yang terdengar hanya isak tangis. Dua perempuan itu berurai air mata. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)