Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Enam)

BERBAGI News – Gadis itu membuka mata. Ia lihat Rabiyah. Tangan perempuan itu masih menggenggam jemarinya.

Ia merasa sangat haus. Tetapi ia tak tega membangunkan perempuan itu. Dengan bersusah-payah ia berusaha bangkit sambil berpegangan di tepi ranjang.

Kakinya telah menyentuh lantai, tapi ia tak mampu berdiri. Tubuhnya seolah tiada bertulang. Ia merangkak menggapai meja tempat Rabiyah meletakkan ceret air.

Tiga gelas air ia teguk habis. Sejuk air terasa seperti memadamkan sesaat hawa panas di sekujur tubuhnya.

Ia pandangi wajah Rabiyah. Perempuan itu tidur begitu lelap. Ia dekatkan wajahnya. Kening perempuan yang mulai berkerut itu ia kecup lembut.

Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya di samping Rabiyah.

*

Ampenan gempar.

Ratusan orang berkumpul di rumah Dokter Willem. Tak hanya penduduk pribumi. Puluhan warga Eropa juga berdatangan. Nampak juga Kathelijn Monique, janda Belanda yang belakangan menjadi buah bibir.

Hari itu Dokter Willem tak melayani penerimaan pasien. Ia mondar-mandir di depan rumah. Masuk lagi, naik ke lantai atas, memeriksa seluruh kamar. Wajahnya pucat dan tegang.

Cornelia menghilang. Lenyap tanpa jejak.

“Saya tidur dengan dia. Pagi-pagi ia sudah tak ada di samping saya,” jelas Rabiyah. Ia tak berhenti menangis. “Saya periksa pintu kamar dan pintu depan. Semuanya dalam keadaan terkunci. Bagaimana caranya Non Lia bisa meninggalkan rumah. Ia juga dalam keadaan lemah. Dia demam tinggi sudah empat hari.”

“Hari ini sebenarnya saya akan membawanya berangkat ke Batavia. Demamnya tak sembuh-sembuh. Saya sudah periksa semua kamar. Ini sangat aneh,” kata Willem, lalu kembali memasuki rumah.

Sebagian warga turun menyusuri Sungai Jangkok. Desas-desus beredar, hilangnya Cornelia secara misterius, adalah pekerjaan makhluk halus.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tujuh)

Sejak pagi orang-orang berpencar ke seluruh kampung. Warga Sukaraja memeriksa rumah masing-masing. Orang-orang mencari hingga dermaga pelabuhan. Kapal dan seluruh perahu diperiksa. Tapi Cornelia tak ditemukan.

Berugaq di arena permainan gasing dipenuhi warga yang turut merasa kehilangan. Mereka sudah mencari ke mana-mana. Cornelia raib seperti ditelan bumi. Betapa kehadiran gadis Belanda itu telah membuat suasana Ampenan lebih hidup, lebih berwarna. Gadis itu akhirnya bukan lagi warga asing, tetapi menjadi bagian dari setiap denyut kehidupan terutama bagi warga di sekitar pinggiran Sungai Jangkok. Wajah-wajah penuh kecemasan dan ketegangan. Ada banyak yang menampakkan kesedihan. Semua memikirkan Cornelia yang tiba-tiba menghilang.

“Kaye, noni. Mbe laik telang. Sai bebinjat sak seboq Cornelia (kasihan, noni. Ke mana dia menghilang. Siapa keparat yang menyembunyikannya),” ucap Papuq Siti prihatin. Nenek berusia tujuh puluhan ini beberapa kali pernah dikunjungi Cornelia di gubuknya di ujung Kampung Sukaraja. Gadis itu membawakannya kain sarung ketika pulang dari Batavia.

“Ana yakin noni diculik raja jin,” kata Abah Karim, “Kalau sampai lewat maghrib nanti Cornelia belum ditemukan, ana harus bersemedi.”

Kathelijn menimpalinya. Wajah janda ini nampak kecut, membayang perasaan takut. “Bagaimana kalau benar-benar makhluk halus yang menyembunyikannya?”

Pertanyaan janda cantik berkulit putih mulus itu dijawab sebuah suara lantang. “Dedemit, makhluk jadi-jadian, segala jin, serahkan kepada saya. Semua makhluk halus, mulai dari Gunung Lompobattang, Rantekambola, sampai Botto Tallu di Latimojong, saya tantang satu-persatu. Tak ada yang berani mengganggu lagi setelah saya obrak-abrik sarang mereka.”

Itu suara Daeng Salam. Semua mata menatapnya penuh kekaguman, termasuk Kathelijn. Kecuali Abah Karim yang bersikap acuh tak acuh. Ia nampak menyeringai. Mulutnya komat-kamit, memaki pelan dengan kata-kata tak jelas.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tiga)

Hari telah petang. Orang-orang pulang, tapi mereka kembali lagi setelah maghrib.

Cornelia belum jua pulang.

Kentongan-kentongan dibunyikan. Panci, wajan, dan kaleng-kaleng bekas dipukul. Suasana hiruk-pikuk. Benda-benda sengaja dipukul keras menimbulkan suara gaduh, dengan satu maksud tertentu. Orang-orang meyakini suara yang berisik akan membuat segala yang tak kasat mata merasa terganggu. Sehingga jika mereka memang menyembunyikan manusia yang telah diculik, mereka akan lepaskan. Nama Cornelia diteriakkan di mana-mana. Di aliran Sungai Jangkok, di atas jembatan, dan lahan-lahan kosong yang penuh semak belukar. Pusat Kota Ampenan diterangi cahaya ribuan obor. Orang-orang mencari Cornelia. Anak-anak, remaja, hingga yang tua bangka. Mereka semua merasa kehilangan. Mereka tak rela ditinggalkan. Orang-orang menyayangi Cornelia. Noni kejora Ampenan. Noni purnama kota, siang dan malam.

Tapi setelah dua jam mencari, Cornelia tetap tak ditemukan.

Di bantaran Sungai Jangkok, belasan lelaki duduk bersila. Mereka para dukun dari seluruh kampung di Ampenan. Di hadapan mereka asap dupa mengepul. Sekitar rumah Dokter Willem bertebaran aroma magis yang membuat malam mencekam.

Agak jauh dari para dukun, Abah Karim duduk menyendiri. Badannya tegak menghadap sungai, dua tangannya melekat di kedua lututnya yang sedang bersila. Ia juga sedang membakar kemenyan, tapi wanginya berbeda dengan jenis kemenyan para dukun.

Hanya Daeng Salam yang mengambil tempat berbeda. Ia duduk di atas berugaq, juga bersila dan membakar benda yang mengeluarkan aroma magis itu. Hanya tangannya tak berhenti begerak. Meninju, menghantam ke segala arah, seperti sedang bertarung sengit.

“Mampus, Kau. Rasakan! Saya habisi kalian. Hmm, lari kau sekarang. Hei, hei, hei, kembalikan. Kembalikan Cornelia!” Daeng Salam meracau sambil tangannya terus menghantam.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Delapan)

Di belakangnya duduk Kathelijn yang terus memperhatikannya. Wanita ini sesekali menutup hidungnya dengan sapu tangan. Ia sebenarnya tak terganggu dengan aroma asap kemenyan. Tetapi bau ketiak lelaki itu lebih menusuk. Rupanya seharian Daeng Salam tak mandi-mandi.

Tiba-tiba terdengar seruan yang mengejutkan semua orang.

“Inaq! Inaq!”

Rabiyah tergopoh-gopoh menyambut seseorang yang berlari ke arahnya.

“Non, Non Lia, sayang! Anakku sayang. Ke mana saja baru sekarang pulang,” Rabiyah menangis lagi. Ia peluk erat Cornelia yang tiba-tiba muncul dari arah jalan raya. Orang-orang datang mengerumuni.

Orang-orang yang berkumpul di depan rumah Dokter Willem bersorak-sorai gembira. “Cornelia pulang. Noni pulang!”

Tapi dua orang lelaki bertengkar di arena pegangsingan.

“Itu hasil kerjaan ana. Ente tidak tahu, roh ana keluar meninggalkan jasad kasar ana. Ana masuki semua sarang iblis, jin, dan dedengkot bakeq beraq (hantu) penghuni Kali Jangkok. Mereka kalang-kabut, akhirnya Non Cornelia diserahkan.”

“Abah ini ngaku-ngaku. Apa tidak lihat saya tak berhenti menghajar? Mereka tumbang. Daeng Salam dilawan.”

Tapi tak ada yang menghiraukan adu mulut Abah Karim dan Daeng Salam yang sama-sama ngotot. Dua bebuyutan yang tak pernah akur.

Dokter Willem memeluk adiknya. Tak ia sadari ia meneteskan air mata. Hatinya begitu lega.

Cornelia menghambur ke pelukan Kathelijn. Di dekapan janda itu Cornelia menangis tersedu-sedu.

Rabiyah terheran-heran. Pertama tak habis pikir, gadis itu nampak segar bugar. Padahal beberapa hari kemarin tak pernah mampu meninggalkan pembaringan. Yang sangat tak ia mengerti sikap gadis itu terhadap Kathelijn. Cornelia bahkan mencium berkali-kali pipi janda gatal itu. Janda yang merampas pemuda yang dicintainya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)