Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Sembilan)

BERBAGI News – Udara beku. Turunnya embun menambah suramnya malam, menumpas debu kemarau yang diterbangkan angin tenggara. Dingin yang menyusup hingga sumsum menggagalkan petualangan burung-burung penguasa malam. Tapi dari beberapa arah terdengar lolongan anjing yang tak peduli dingin yang menggigilkan. Lolongan yang hampir bersamaan seperti dikomando.

“Ada awal, ada akhir. Tak perlu dibicarakan. Semua akan menemukan akhir. Tidak di sini, mungkin di lain tempat.”

Cornelia tertegun. Pemuda itu masih sempat mengeluarkan suara. Nampak tak ada kekhawatiran. Ia tak panik, tidak pula berusaha melindungi dirinya yang sesaat lagi bersimbah darah, tertikam pisau di tangan wanita yang sedang kalap di depannya.

“Kamu mati sekarang juga, laki-laki jahat!”

“Kalau memang ajal, tidak ada yang bisa hindari.”

“Kamu kira saya main-main?”

“Kamu main-main dengan pisau.”

Cornelia mendekatkan ujung pisau di leher Ahmad. Ia melihat darah terus mengalir dari sudut bibir pemuda itu. Tetapi ia tak membiarkan perasaan lain menguasainya. “Kamu jahat, Ahmad. Sangat jahat. Kamu tak tahu akibatnya. Kamu tidak punya hati. Kamu menyengsarakan saya. Saya sekarat, mungkin sebentar lagi mati. Tapi kamu harus mati lebih dulu.”

“Jangankan manusia, menyakiti hewan pun saya tidak tega.”

“Kamu pura-pura tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan.”

“Mungkin benar saya pernah jahat. Tapi apakah kamu lihat sendiri?”

“Masih saja kamu tidak mengaku. Semua orang melihat kamu main gila dengan Kathelijn Monique. Janda binal, iblis, perempuan cabul. Kamu sama mesumnya dengan perempuan iblis itu. Di depan saya kamu sok bersih. Tapi sekarang saya sudah tahu kamu tidak bermoral.”

“Apa yang dilihat mata mungkin benar. Tetapi belum tentu sebuah kebenaran. Apalagi jika kamu tak melihatnya sendiri.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tujuh)

“Bertele-tele!” Cornelia menekan tangkai pisau yang kini mulai menggores kulit leher sang pemuda.

“Saya tahu Rabiyah mengintip dari kejauhan. Dan apa yang dia saksikan itu benar.”

“Pemuda keparat!” ujung pisau Cornelia melukai leher Ahmad. Darah mulai mengalir. Tetapi pemuda itu tak bergeming dan tidak berusaha menghindar.

“Tetapi Rabiyah tentu tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah.”

“Dia tahu dan siapa pun tahu apa yang dilakukan pemuda cabul ketika berduaan dengan perempuan sundal.”

“Apakah Rabiyah tahu Kathelijn Monique adalah perempuan yang sudah saya anggap bibi?”

“Alasan. Pembohong!”

“Dan apakah Rabiyah tahu di dalam rumah ada orang tua yang saya panggil nenek?”

Cornelia menghentikan tekanan di gagang pisau.

“Apakah saya salah menolong perempuan yang sudah menjadi bagian dari keluarga saya, ketika ia mendapat kecelakaan?”

Cornelia menarik tangannya. Pisau itu terjatuh. Ahmad memungutnya, menyerahkannya kembali kepada gadis itu.

“Benar apa yang telah kamu katakan, Ahmad?”

“Kenapa mesti berbohong, jika kebohongan itu pasti terungkap?”

Tiba-tiba Cornelia menggerung, menangis keras. Ia lemparkan pisau itu. Ia tubruk tubuh Ahmad, memeluknya sangat erat. Tangannya lalu menggantung di tengkuk pemuda itu, menariknya, menciumi wajahnya habis-habisan. “Kenapa kamu tidak cerita, Ahmad?”

“Saya datang waktu itu, kamu tidak mau ke luar menemui saya. Bagaimana saya bisa cerita?”

Cornelia mengambil sapu tangannya. Ia seka darah di sudut bibir dan leher Ahmad.

“Sakit, Ahmad?”

“Masih lebih sakit saat kamu tak menghiraukan saya. Ketika kamu tak menemui saya.”

“Ahmad, apakah kamu butuh permohonan maaf saya. Atau ada cara lain untuk menebus kesalahpahaman itu?”

“Untuk apa?”

*

Cornelia menguap. Rabiyah menunggu kelanjutan cerita.

“Teruskan, Non.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Empat)

“Besok dilanjut. Ayo kita istirahat.”

“Jadi janda itu keluarga Ahmad?”

“Kakak perempuan Tante Kathelijn menikah dengan paman Ahmad, adik ibunya. Sepuluh tahun lalu Ahmad pernah tinggal di Surabaya dengan keluarga Tante Kathelijn.”

“Inaq merasa sangat bersalah jadinya.”

“Sudahlah, besok kita ke rumahnya. Inaq bikin apa besok, untuk oleh-oleh.”

“Besok inaq cari bahannya dulu di pasar. Ngomong-ngomong, kenapa bisa sampai hampir sehari semalam Non Lia pergi?”

“Panjang ceritanya, Inaq. Panjang sekali, sampai besok tak akan selesai-selesai. Kami pergi ke suatu tempat setelah itu.”

“Iya, besok saja dilanjutkan. Satu lagi pertanyaan inaq.”

“Pertanyaan apa?”

“Tadi Non Lia cerita, Non cium Ahmad habis-habisan. Bagaimana rasanya?”

Wajah Cornelia bersemu merah. Ia merasa malu. Dicubitnya perut Rabiyah. Perempuan itu menjerit-jerit.

Malam merangkak. Kamar hening. Tapi tak lama kesenyapan tertindas suara, petanda tidur yang lelap. Suara dengkur Rabiyah. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Berita Lainnya