Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Dua)

BERBAGI News – Di sebuah warung di sebelah timur simpang lima Ampenan, Daeng Salam, Abah Karim, dan Babah Hongli tengah makan siang. Mereka baru selesai merundingkan persiapan kompetisi gasing yang digagas sore kemarin.

“Sudah lebih tiga bulan arena main gasing kita. Selama itu pula saya lihat abah dan babah tak pernah absen datang. Sekarang dengan munculnya janda Belanda itu, abah lebih rajin datang. Paling dulu ada di sana,” kata Daeng Salam blak-blakan, sambil terus menyuap nasi ke mulutnya.

“Justru ente yang paling sering muncul. Beberapa kali ana pergoki ente sengaja lewat pagi dan siang, tak peduli waktu.”

“Sebenarnya, mana yang abah pilih di antara kedua perempuan itu?” tanya Babah Hongli.

“Ana mau dua-duanya.”

“Babah Hongli sendiri incar yang mana, Cornelia atau Kathelijn,” Daeng Salam bertanya.

“Sejak awal saya sangat tertarik pada Cornelia. Dia gadis cantik tidak ada tandingannya. Tapi sejak Kathelijn muncul, saya juga suka pada janda itu. Pantatnya itu, aduh! Saya tak tahan,” kata Babah Hongli. Matanya bersinar-sinar. “Tapi, saya pasrah pada jodoh. Cornelia atau Kathelijn, saya akan terima dengan senang hati. Kalau Daeng Salam, tertarik juga?”

“Siapa pun laki-laki yang muncul di gelanggang itu punya maksud yang sama. Saya ini ingin memperistri keduanya sekaligus. Tapi istri saya sering membangunkan saya malam-malam. Katanya saya ngigau nyebut nama Cornelia.”

“Ente serakah!”

“Harusnya kalian berdua ini tidak usah ikut incar noni dan janda itu. Mengalahlah, kasih saya kesempatan. Saya ‘kan bujangan,” kata Babah Hongli.

“Tahu tidak, Cornelia itu berpacaran dengan Ahmad.”

“Semasih belum ada ikatan resmi, harem-harem itu milik semua orang. Doakan saja ana yang berjodoh. Sudah lama si Maryam ndak ada madunya. Kasihan dia, lelah dia mandiq raus (mandi) tiga-empat kali sehari.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Sembilan)

“Ngomong-ngomong ini makanan siapa yang bayar?”

“Kebetulan ana ndak bawa fulus.”

“Uang saya di dalam kolor, masak saya harus buka celana di sini,” ujar Babah Hongli.

“Kalian ini royalnya hanya di depan perempuan. Payah!” Daeng Salam bersungut-sungut, bangkit menemui pemilik warung.

*

“Non, lanjutkan cerita malam itu,” kata Rabiyah, saat ia dan Cornelia berbaring di kamar atas.

“Ceritanya baru sampai ketika saya menghapus darah di bibir Ahmad, ya?

“Nggih, setelah Non mencium Ahmad habis-habisan.”

Mata gadis itu melotot.

“Malam yang luar biasa, Inaq.”

“Malam luar biasa. Hah?! Astaga! Non Lia ditunggang Ahmad? Pantesan waktu pulang Non Lia cigah (segar-bugar, cerah-ceria) sekali.”

Satu cubitan mendarat di perut Rabiyah.

“Inaq ini otaknya selalu ekek (jorok). Mau saya lanjutkan, tidak?”

“Iya, iya, Non, lanjutkan ceritanya. Lanjutkan,” sahut Rabiyah meringis.

“Inaq, tahu tidak, di timur sebelah jembatan itu ada istana lengkap dengan tamannya. Istana dan taman yang luas dan begitu indahnya. Ada air sungai bening mengalir di bawah istana.”

“Jembatan di depan?”

“Iya, Jembatan Kuning Sungai Jangkok. Saya sudah pernah ke tempat-indah di Belanda, Swiss, Jerman, dan Paris. Tetapi semua yang indah di Eropa itu tak seberapa dibanding keindahan taman istana di sebelah jembatan Ampenan.”

“Itu mungkin surga, Non. Inaq tidak habis pikir ada tempat begitu bagus di dekat kita.”

“Kata Ahmad, itu alam yang tak terlihat mata manusia kebanyakan. Ada tangga di sisi jembatan. Kami menaikinya. Di atasnya juga ada jembatan, lantainya permadani hijau lumut. Kami berjalan bergandengan tangan. Baru sampai di tengah, jembatan itu tiba-tiba turun. Terus turun mendekati permukaan air sungai. Saya takut. Tangan Ahmad saya pegang erat. Kami melangkah lagi. Tibalah kami di gerbang taman itu. Sedangkan letak istana masih ke timur lagi. Ahmad mengajak saya duduk di bangku taman. Saya tak melihat satu pun orang di situ selain kami berdua.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima)

“Saya memandang ke sekeliling. Bunga-bunga aneka warna, daun-daunnya basah seperti baru disiram. Rumput-rumput halus hijau segar dan tumbuh rata. Saya tak bosan memandangnya. Saya tarik tangan Ahmad ke arah sungai. Ada batu datar di pinggir sungai. Di situ kami duduk. Inaq tahu? Banyak buaya di situ.”

“Buaya? Besar?” Rabiyah bergidik.

“Besar sekali. Juga tuna. Buaya dan tuna-tuna itu ada yang berwarna putih. Di leher mereka ada kalung dari ijuk. Herannya, saya tak takut pada hewan-hewan itu. Mereka nampak jinak, sangat dekat dengan tempat kami duduk. Saya masukkan kaki ke dalam sungai. Ikan-ikan kecil berwarna-warni mendekat, mematuk-matuk kaki saya. Saya sangat senang dan merasa kegelian. Ikan-ikan yang lucu.”

“Non Lia mungkin mimpi.”

“Kalau mimpi, saya tidur di mana? Saya tak ke mana-mana waktu itu. Hanya di sekitar sungai di sebelah. Di tempat yang indah itu. Matahari bersinar redup. Keadaannya selalu begitu. Selama saya di sana tidak ada waktu malam.”

“Ada sebatang pohon besar di situ. Pohon dalam gelungan ular raksasa. Di sekelilingnya bertebaran ribuan kalajengking, lipan, laba-laba, dan berbagai jenis ular berbisa.”

“Ahmad mengatakan pohon itu sebelumnya ada di lereng Gunung Rinjani.”

Corrnelia terus bercerita.

“Begitu indahnya tempat itu. Bagaimana pula keindahan yang ada di surga? Kami kembali ke bangku taman. Saya sempat tertidur. Bangun-bangun saya merasa segar. Dan Ahmad mulai bercerita. Cerita yang panjang dan mengesankan. Ada hubungan dengan saya. Saya sempat terkejut. Tapi ceritanya berlanjut besok saja. Kita turun sekarang, sudah larut malam.”

“Taman itu tak ada orang selain Non Lia dan Ahmad. Tidak ada yang mengganggu. Tempat indah, tentu sayang sekali tidak dimanfaatkan untuk mesra-mesraan.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Belas)

“Inaq! Belum kapok?”

Tapi Rabiyah seperti tak mendengarnya. “Non Lia tidur, pakai bantal?”

Cornelia lama terdiam, tapi akhirnya ia menjawab juga. “Iya, pakai bantal. Berbantal pangkuan Ahmad.”

“Itu maksud inaq. Dan waktu tertidur, mana Non Lia tahu.”

“Apa yang saya tidak tahu?”

“Pasti tangan Ahmad ke sana ke mari. Segerah meong ndek kanggoq mpak (masak kucing tidak doyan ikan). Dia kole (memainkan dengan tangan) semua. Kole sus…”

Tapi gigitan Cornelia di lengannya membuat Rabiyah tak meneruskan kalimatnya.

Di luar, purnama berkaca. Di kebeningan Sungai Jangkok yang mengalir tenang ke barat. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)