Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Empat)

BERBAGI News – Cinta semakin bernas seiring bertambahnya kekaguman. Sejak awal ia bertemu, pemuda itu telah berhasil menjamah dasar hatinya. Kini setelah ia tahu siapa Ahmad yang sesungguhnya, pemuda yang selama ini tampil bersahaja, perasaan gadis itu kian bergelora. Ahmad memiliki kemampuan yang tak kalah dahsyat dengan tokoh-tokoh mitologi di sejumlah belahan bumi. Tetapi sosok Ahmad yang selalu sederhana itulah yang membangun kesan khusus di hati dan perasaannya.

Cornelia mengenang saat-saat indah yang telah dilaluinya bersama pemuda itu. Makan begibung berdua di berugaq, saat ia tertidur di sebelah Ahmad di dangau persawahan di sekitar aliran Sungai Jangkok, ketika beberapa kali ia di-senggeq Ahmad, terakhir di Pantai Ampenan saat sang surya bergerak menggapai selimut malam.

“Tanpa kelebihan dan kekuatan itu pun, kau tetap satu-satunya lelaki yang bersemayam di jiwaku. Aku telah telanjur cinta, Ahmad. Kau tak banyak tahu, betapa segalanya telah kau kuasai, di tubuh dan jiwaku,” bisik Cornelia. Bola matanya yang indah berputar menatap langit-langit kamarnya.

Ia pandangi jemarinya. Ada dua cincin melingkari jari tengah dan jari manisnya. Semua dari Ahmad. Ia ingat lagi, setelah salah satu cincin dipasang Ahmad, ia memandang ke arah timur.

“Istana itu, Ahmad. Istana megah dan indah.”

“Kamu menyukainya?”

“Istana itu mengingatkan saya gedung Witte Huis di kota saya. Benar-benar mirip, Ahmad. Itu gedung kebanggaan warga Rotterdam. Saya suka, Ahmad. Kenapa bisa ada di sini?”

“Itu pekerjaan mereka.”

“Mereka siapa?”

“Makhluk-makhluk itu.”

“Kapan dibuat?”

“Sehari setelah pertemuan pertama kita di jembatan Ampenan.”

Cornelia tambah terpesona.

“Mereka yang merencanakan dan mengerjakan. Saya tak tahu-menahu soal konstruksi,” kata Ahmad lagi. Ia menceritakan pembicaraannya dengan beberapa makhluk astral.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Satu)

“Ahmad, kami ingin mempersembahkan sesuatu untuk kalian berdua.”

“Persembahan apa?”

“Kami ingin membangun istana, kebun, dan taman.”

“Saya tak mau merepotkan kalian untuk urusan itu. Kalian hanya bertugas membantu saya menjaga pohon itu.”

“Gadis itu layak mendapatkannya. Manusia terindah yang pernah kami lihat. Kecantikan yang tak terlukiskan. Ia pantas memiliki istana indah, untuk menghormati kecantikan pendamping Yang Dipertuan Ahmad, junjungan kami.”

“Terserah kalian. Saya tak yakin ia suka.”

“Mudah-mudahan ia menerima hasil kerja kami. Kami mengambil contoh bangunan di kotanya. Kami akan hadirkan di atas Sungai Jangkok, supaya ia tak berpikir mau pulang ke tempat asalnya.”

Maka terselenggaralah kesibukan yang luar biasa. Sungai Jangkok hiruk-pikuk siang dan malam. Bahkan sejumlah binatang air ikut membantu. Tuna-tuna putih membuat lubang-lubang di dasar sungai untuk tiang-tiang pancang. Buaya-buaya muara tak mau kehilangan andil. Seluruh buaya Ampenan bahu-membahu mengangkut berbagai material untuk membangun istana.

Jin-jin dari berbagai penjuru melaksanakan tugas masing-masing dengan giat dan semangat. Beberapa di antara mereka bekerja sambil ngobrol.

“Kunaon Ahmad henteu agrésif (kenapa si ahmad tidak agresif),” kata Jin Mata Putih dari Gunung Tangkuban Parahu.

“Aidaaa, nonda timal manjeng nya Mek (tidak ada tandingannya pacar si Ahmad),” menimpal jin dari Gili Batu, Selat Alas.

“Ntika ja siwe aka (cantik sekali perempuan itu),” ujar Sepasang Jin Kembar dari Gunung Tambora.

“He, angku-angku bicaro sajo. Karajo! Karajo! Kantuik! (He, kamu-kamu bicara saja. Kerja! Kerja. Kentut)!” bentak Jin Bamuko Anguih dari Gunung Singgalang. Nampaknya ia ditunjuk sebagai mandor.

Tapi ada jin agak tuli dari lereng Rinjani, terus saja nyerocos. “Coba tiyang jari lok Amat. Noni tie junmatik mele tetunggang (coba saya jadi si Ahmad. Noni itu sebenarnya siap ditunggang).”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Dua)

Mata Cornelia membelalak. Ia cubit perut Ahmad keras-keras. “Masak dia ngomong begitu? Kurang ajar jinmu itu, Ahmad.”

Ahmad tertawa sambil menahan geli di perutnya. “Tapi mereka jin yang baik-baik. Mereka telah bekerja empat puluh hari empat puluh malam.”

“Jadi? Istana itu….”

“Istana itu memang dibangun untukmu.”

Cornelia memandang kembali bangunan indah itu. Ia seperti tak percaya. “Ahmad, ayo kita ke sana.”

“Nanti kita tunggu waktu yang baik. Bagaimana kalau purnama bulan depan? Sekalian saya mau perkenalkan kamu kepada mereka.”

“Ahmad, mengapa mereka mau capek-capek mendirikan istana itu?”

“Mereka menyayangi kamu. Semua makhluk terpesona. Semua mengagumimu, memuji kecantikanmu.”

Cornelia menatap wajah pemuda itu. Ia merasa sangat tersanjung.

“Pada hari itu nanti, tolong kamu siapkan telur ayam sembilan butir,” kata Ahmad lagi.

“Untuk apa?”

“Nanti kamu akan tahu juga,” Ahmad mengajak gadis itu kembali berjalan ke arah selatan. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)