Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Lima)

BERBAGI News – Bagian lain dari taman persembahan itu adalah hutan kecil dengan ratusan pohon berdaun rimbun. Di beberapa batang pohon menempel tumbuhan berbagai jenis anggrek yang sedang berbunga. Ada pancuran kecil di sebuah gundukan yang cukup tinggi. Jatuhan air mengalir melalui selokan kecil mengarah ke sungai.

Tiba-tiba terdengar suara lantang yang membuat Cornelia terkejut. Ia memegang lengan Ahmad erat-erat, merapatkan tubuhnya.

“Cornelia! Cornelia sayang. Cornelia!”

Suara itu datang dari sebuah ketinggian tak jauh dari mereka.

“Ahmad, siapa itu memanggil? Saya takut.”

Suara itu makin dekat, di atas pohon belimbing. Ahmad berlari ke bawah pohon itu. Tangannya ia luruskan ke depan. Seekor burung menukik lalu bertengger di lengannya.

“Cornelia, burung ini yang memanggilmu.”

Gadis itu terpesona. Burung itu meloncat-loncat di lengan Ahmad dan terus menyebut namanya. Tubuhnya panjang ramping, berwarna coklat kehitaman. Fisiknya tidak terlalu menarik, tapi suaranya yang lantang membuat gadis itu gemas.

“Saya boleh memegangnya?”

Sebelum ia meraihnya burung itu pindah sendiri ke pundaknya, menyibak rambutnya, menggelitik daun telinganya. “Burung nakal tapi pintar. Kenapa dia tahu nama saya?”

“Itu burung koak kaok. Bisa dilatih bicara seperti manusia.”

Dari arah pohon nangka yang berbuah lebat, terdengar suara lainnya.

“Ahmad, piran jak’m merariq kance noni. Aruan (Ahmad, kapan kamu akan kawin dengan noni. Buruan)!”

Itu suara burung kakatua yang mengangguk-angguk ke arah mereka. Ahmad dan Cornelia saling berpandangan.

Dari arah lain muncul suara burung nuri. “Ndendek ulek juluk, Cornelia, te wah taok merariq (jangan pulang dulu, Cornelia, kawin di sini).”

“Ahmad, kamu ajari burung-burung di sini usil. Kamu ini dasarnya jahil, ya?” Cornelia semakin gemas mendengar berbagai jenis burung menggodanya.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Dua)

“Mana tahu saya burung-burung di sini dilatih seperti itu. Masuk ke tempat ini saja baru pertama ini.”

Namun puluhan burung lain memperdengarkan bunyi-bunyi yang merdu. Di antaranya petuq, tekukur, kutilang, dan kecial. Suara-suara yang menenteramkan di hutan kecil itu.

Cornelia terkejut lagi ketika mendengar suara bergemerisik di atas pohon yang mereka lewati. Beberapa sosok berlompatan ke tanah menghadang langkah mereka. Enam ekor kera jantan mengenakan mahkota dari dedaunan, serentak membungkuk memberi hormat. Satu di antaranya membawa karangan bunga, maju mendekati Cornelia. Karangan bunga-bunga cantik, nampaknya baru dipetik diberikan kepada gadis itu.

Cornelia tertawa senang. Monyet itu mengulurkan tangan. Gadis itu memegang tangan kecil hewan itu, bersalaman. Sang kera tak hanya menyalami, tapi mencium tangan noni itu.

Di atas sebuah batu besar memanjang dengan permukaannya yang datar, Ahmad mengajak gadis itu duduk. Ia melanjutkan cerita.

“Saya hanya hafal lima nama untuk menyebut pohon itu. Oudh, oud, jinko, dan agaru. Orang-orang di Nusantara mengatakan gaharu. Sejak lebih dari 5000 tahun yang lalu, dalam ayurveda, sebuah ilmu pengobatan yang berasal dari India, menggunakan gaharu sebagai bahan mujarab untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit. Dipakai juga untuk ramuan obat-obatan para sufi, dan pengobatan tradisional di Cina, Arab, Mesir, dan Persia.”

Para biksu Tibet, kata Ahmad, menggunakan gaharu untuk meningkatkan energi batin yang dapat memberikan ketenangan mutlak bagi pikiran dan jiwa. Minyak gaharu telah menjadi bagian dari banyak tradisi dalam upacara spiritual. Dalam Buddhisme, tujuannya juga untuk membersihkan ketidaktahuan. Sementara tradisi Feng Shui milik Cina, seni mengendalikan aliran energi di suatu tempat tertentu, memakai aroma sakral gaharu untuk kepekaan indera dan memperkaya roh.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan)

“Para samurai Jepang yang gagah berani, mengandalkan aroma gaharu yang melekat di baju besi mereka. Mereka meyakininya sebagai jimat dan pembawa kemenangan di medan perang. Nihon Shoki, buku tertua kedua tentang sejarah klasik di Jepang yang ditulis pada 600 SM, juga menyebut keberadaan kayu ini. Itu di Jepang. Bahkan di belahan bumi lainnya, Raja Louis XIV, misalnya, memerintahkan para abdinya untuk selalu merendam, merebus, dan mencuci pakaiannya dengan campuran minyak gaharu, untuk maksud-maksud tertentu, salah satunya untuk energi abadi,” jelas Ahmad. “Anak-anak yang suka ngompol juga disembuhkan dengan wewangian gaharu. Kalau kamu masih ngompol, kita bisa obati.”

“Ih, siapa ngompol?” gadis itu mencubit Ahmad. Wajahnya memerah. Ia seketika mengingat suatu malam terbangun lantaran gaun tidurnya basah. Ia bermimpi sedang mandi di sungai bersama Ahmad.

Pemuda itu memaparkan lebih jauh tentang kayu gaharu yang memiliki berbagai kegunaan dan sebagai sumber kekuatan lantaran diyakini sebagai kayu dari surga. Kayu ini mulai diperdagangkan bangsa Cina sejak Dinasti Han pada 206 SM. Mereka membaginya dalam 20 kelas sesuai kepadatannya. Lalu sejak tahun 300, pedagang Arab dan Persia membangun pemukiman di pinggiran Kanton. Fa-Hien, seorang pengelana Cina, mencatat kekayaan para pedagang Arab dari Hadhramaut dan Oman yang tinggal dengan nyaman di Ceylon. Kekayaan mereka bersumber dari hasil penjualan gaharu besar-besaran yang banyak tumbuh di kepulauan Nusantara. Kayu ini pun menjadi salah satu komoditas unggulan Portugis di abad ke-16, yang aktif berdagang di Goa, Malaka, dan Makao.

“Tetapi orang-orang Mesir jauh lebih dulu melek soal gaharu. Mereka menemukan lebih banyak lagi hal-hal menakjubkan dari kandungan pohon surga ini. Seorang penyihir berhasil menelusuri keberadaan gaharu tertua di dunia. Pohon yang tumbuh di lereng Rinjani. Mereka berhasil mendapatkan bagian pohon yang paling berkualitas. Bagian yang butuh proses alam yang sangat lama. Seperti dikisahkan Ghalib, Minephtah putra Ramses II akhirnya menganggap diri tuhan, percaya diri memiliki kehebatan yang tak tertandingi setelah ia mendapatkan sumber kekuatan dari inti pohon dari Gunung Rinjani. Lalu, Gunung Samalas meletus. Bencana terbesar di Pulau Lombok yang berdampak hingga ke benua lain. Menurut Ghalib ini berhubungan dengan bagian inti pohon yang telah dibawa ke luar, yang berabad-abad melindungi pulau ini,” ungkap Ahmad.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Belas)

Seekor merpati terbang berputar di atas kepala keduanya, lalu hinggap di pundak Ahmad. Di leher burung itu terkalung gulungan kertas. Ahmad melepas gulungan itu, menyerahkannya kepada Cornelia.

Gadis itu menemukan amplop di dalam gulungan. Ia buka dan memperhatikan selembar kertas agak tebal di dalamnya.

“Ahmad, lihatlah!” ia memekik.

Kertas itu sebuah potret hitam-putih. Potret seorang lelaki tampan berdampingan dengan seorang wanita sangat cantik. Potret Cornelia dan Ahmad berpakaian pengantin! (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)