Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Enam)

BERBAGI News – Ketika Ahmad menceritakan datangnya empat puluh perempuan cantik yang mencoba menggagalkan ritualnya di telaga dekat pondok Ghalib, ia memperhatikan wajah Cornelia yang nampak tak suka. Gadis itu cemberut dan seperti tak berminat mendengarnya.

“Gadis-gadis cantik?” tanya dara itu ketus.

Ahmad menyadari kekeliruannya. Ia pun mafhum.

“Ya, perempuan-perempuan cantik. Tapi, seperti pernah saya katakan, Cornelia itu gadis terlalu cantik. Jika Cornelia yang menggoda saya, saya pastikan konsentrasi saya buyar, dan saya gagal ujian,” jawab Ahmad.

Jawaban yang seolah tiupan angin menghalau mega-mega yang menutupi purnama. Wajah gadis itu bersinar lagi. Tawanya yang renyah membuat miniatur belantara taman persembahan itu semakin sejuk.

“Sejak benda itu diberikan Ghalib saya menjadi incaran. Cairan paling berkelas itu tak bisa disembunyikan walaupun berada dalam botol yang tertutup rapat, bisa terendus mereka yang memiliki indera yang peka,” ucap Ahmad.

Ia mengisahkan peristiwa pertama kalinya ia diserang dua orang asing yang belakangan diketahuinya berasal dari timur delta Sungai Nil. Ia mengira urusan telah selesai setelah ia mengalahkan Omar dan Kosey di Pantai Ampenan. Hari itu ia menuju Gunung Rinjani dan menemukan pohon gaharu purba seperti diceritakan Ghalib. Pohon yang dijaga demikian ketat.

Ketika ia dalam perjalanan pulang, ia dihadang dua sosok lelaki. Ternyata keduanya adalah Omar dan Kosey yang belum menyerah untuk memperoleh benda yang mereka inginkan.

Kosey mengerahkan belasan makhluk gaib sekutunya mengepung Ahmad. Di saat yang sama Omar menyerang dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Serangan mahkluk piaraan Kosey dengan mudah dipatahkan para jin dalam kendali Ahmad. Makhluk-makhluk itu tak satu pun tersisa. Mereka bertumbangan dengan tubuh-tubuh tak utuh lagi. Kosay sendiri kehilangan kakinya sebatas lutut, ketika satu dari senjata makhluk-makhluk yang bertarung nyasar, tak dapat dihindarinya.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Lima)

Omar telah mandi keringat, tapi tak satu pun jurus-jurus saktinya mampu mengenai sasaran. Seluruh gerakan silat yang jika dipertontonkan di keramaian akan mengundang decak kagum. Tapi bagi Ahmad, jurus-jurus andalan Omar tak ubahnya gerakan tari-tarian laki-laki banci.

“Tarian apa lagi yang kau suguhkan?” ledek Ahmad yang mulai bosan berurusan dengan kedua orang asing itu.

Wajah Omar kelam membesi. Puluhan jurus yang telah ia keluarkan tadi tak pernah gagal selama ia terlibat pertarungan di negerinya. Lawan-lawan yang ia hadapi babak belur, bahkan beberapa meregang nyawa. Begitu terhinanya ia ketika mendengar gerakan-gerakan hebatnya disebut sebagai tarian.

Tangan kanannya ia angkat setinggi kepala, dengan jari-jari membentuk kepala ular yang siap menyemburkan bisa. Tangan kirinya sejajar dengan bahu, nampak menyasar leher lawan. Tangan-tangan berotot yang dialiri tenaga dalam penuh. Dua kakinya bertumpu di telapak bagian depan, siap melompat melancarkan serangan hebat. Satu jurus yang paling diandalkannya, berisi tiga puluh gerakan dan pukulan mematikan. Sekurang-kurangnya membuat lawan lumpuh seumur hidup.

Tetapi Omar tak menyadari siapa kini yang dihadapinya. Seorang pemuda ingusan yang tak punya jurus-jurus hebat. Dan ia tak membutuhkan itu. Di luar dukungan ribuan jin yang selalu siap sedia melaksanakan titahnya, Ahmad memiliki kekuatan yang bersumber dari pikirannya.

Jika rekor kecepatan serangan Omar seperlima detik mencapai sasaran, maka Ahmad mampu membagi setiap detik menjadi ribuan kemungkinan. Sehingga gerakannya tak tertangkap mata biasa.

Satu jengkal lagi pukulan Omar bakal mendarat di kepalanya, tangan Ahmad tiba-tiba mencengkeram sabuk di pinggang lelaki itu. Tubuh besar Omar diputar seperti kitiran. Tak lama terdengar suara lolongan kesakitan. Tubuh Omar terlempar dalam keadaan berputar, membentur sebuah pohon besar. Ia rasakan seluruh tulangnya remuk. Kedua kakinya patah. Untung saja benturan itu tidak mencederai bagian kepalanya. Ia tak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Kesakitan luar biasa yang membuat nyalinya hilang sama sekali. “Apakah pemuda itu segera membunuhku?” ia membathin. Tetapi dalam pandangan yang samar ia sempat melihat pemuda itu mengangkat tubuh Kosay yang masih pingsan, memindahkannya ke dekatnya yang tergeletak tak berdaya di bawah pohon.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Enam)

Lalu Ahmad melangkah meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.

“Mungkin inilah kesalahan saya, membiarkan mereka hidup. Sebab beberapa bulan setelah itu saya berhadapan lagi dengan orang-orang satu asal dengan mereka. Mereka membocorkan keberadaan tembikar dan pohon di lereng Rinjani itu. Dan berturut-turut setelah itu saya dikejar-kejar orang-orang dari berbagai penjuru,” tuturnya.

Cornelia mendengarkan kisah Ahmad sambil berkali-kali menahan nafas.

“Saya pernah beberapa kali nyaris celaka ketika diserbu makhluk-makhluk penghisap darah.”

“Vampir?” Cornelia bergidik.

“Kalau vampir mitos yang muncul di abad pencerahan. Ada catatan juga menyebutkan tentang kisah mayat hidup itu sudah ada sejak abad 12 di Eropa atau abad pertengahan. Tetapi Persia adalah bangsa pertama yang mengenal setan penghisap darah, dengan ditemukannya pecahan-pecahan tembikar Persia Kuno bergambar makhluk yang menghisap darah manusia. Menyusul kemudian legenda yang hampir sama menjadi kisah horor di Mesopotamia, Babylonia, Yahudi, Yunani kuno, Romawi kuno, dan lainnya. Makhluk-makhluk yang berhubungan dengan hasrat ingin hidup abadi. Saya lanjutkan di hari lain. Sekarang, kamu harus pulang.”

“Kamu mengusir saya, Ahmad?”

“Orang-orang mencarimu.”

“Saya tak mau pulang.”

“Kamu tidak kasihan pada Rabiyah, pada kakakmu?”

Dari sebuah pohon suara burung koak kaok terdengar lagi. “Jangan mau pulang, Cornelia. Jangan mau. Merariq dulu di sini.”

“Kamu dengar itu, Ahmad?”

“Saya dengar burung usil itu. Tapi, apa kamu memang tidak sabar mau kawin?”

Wajah gadis itu kembali merona, memerah lagi. Matanya yang biru indah membelalak. Tetapi ia tak mampu menunjukkan raut marah, sebab ia memang sedang menikmati saat-saat berdua dengan Ahmad. Hanya jemarinya yang tak henti-henti mendarat di perut, lengan, dan punggung pemuda itu. Cubitan-cubitan gemas, tapi tentu saja tidak menimbulkan rasa sakit.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Empat)

Mereka tiba di gerbang astral, perbatasan antara dunia nyata dan dimensi bawah sadar.

“Ahmad, suara-suara apa itu, gaduh sekali?”

“Suara orang-orang memukul berbagai benda, orang-orang ramai mencarimu.”

“Memangnya sudah berapa lama kita pergi?”

“Hitung saja sejak malam kamu membawa pisau ingin membunuh saya. Hampir dua malam satu hari.”

“Hah?!

“Coba perhatikan mereka yang di pinggir kali.”

“Iya, saya lihat. Banyak orang duduk di depan sesuatu yang berasap. Nah, nah, ada Abah Karim sedang terpejam dan mulutnya komat-kamit. Itu juga, Daeng Salam, tangannya sibuk sekali. Ada Tante Kathelijn di belakangnya.”

“Yang lain-lain adalah dukun benaran, kecuali dua orang itu,” jelas Ahmad.

“Dukun-dukun ikut mencari saya?” gadis itu kini sadar, betapa ia telah membuat banyak orang sibuk mencari-carinya. Ia terharu, orang-orang sangat memperhatikannya. Orang-orang mencemaskannya. Ia merasa bersalah. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)