Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Tujuh)

BERBAGI News – Rindu dan perasaan cemas. Dan itu terus berputar-putar. Bahkan kini kecemasan lain terbit di hatinya. Menuai sejumlah pertanyaan yang menggelisahkan.

Seperti diceritakan Ahmad, pertapa Ghalib menyebut pertemuannya dengan seorang pendamping. Seorang wanita yang akan mendampingi pemuda itu, sebagai petanda berakhirnya tugas berat itu. Tujuh tahun Ahmad menanti. Dan Ahmad mengatakan ada persyaratan terakhir yang mesti dipenuhi setelah mereka dipertemukan. Pertanyaannya, apakah pendamping yang disebutkan Ghalib hanya diperlukan dalam misi menjaga dan melindungi sebatang pohon purba? Lalu, bagaimana bentuk persyaratan untuk mengakhiri kewajiban itu? Apakah setelah berakhir, Ahmad segera terlepas dari beban dan meninggalkannya? Inilah kecemasan yang bergelayut di bathinnya. Kegundahan yang membuatnya tak tenang.

“Kamu membutuhkan saya hanya untuk persyaratan saja, agar bebanmu selama ini bisa tuntas, berakhir. Bukankah begitu, Ahmad?” gadis itu baru membuka suara. Sejak tadi ia hanya berdiam diri.

Angin laut mempermainkan rambutnya. Percikan ombak beberapa kali menjilat ujung kakinya yang berjuntai di dermaga. Langit tertutup awan, menghalangi pesona jingga cahaya matahari senja.

Di pelabuhan belum ada aktifitas apa pun. Kapal-kapal belum tiba. Sore itu, di pantai Ampenan hanya ada perahu-perahu nelayan mengapung berayun-ayun diterpa gelombang yang datang dan pergi.

“Kamu egois, Ahmad. Kamu mementingkan dirimu sendiri,” kata Cornelia lagi. Wajahnya muram, cermin suasana hatinya yang gundah. Semuram senja yang kehilangan cahaya sang surya.

Di sebelah gadis itu, Ahmad menatapnya tak berkedip.

“Mengapa kamu berpikir seperti itu, Cornelia?”

“Saya kini meragukanmu.”

“Ragu?”

“Tujuh tahun kamu menunggu saya. Menunggu, karena kamu ingin lepas dari tanggungjawab. Setelah tugasmu berakhir, tak jelas bagi saya. Mungkin kamu akan meninggalkan saya,” air mata menggenangi kedua bola mata gadis itu. “Dan saya semakin ragu, karena sampai hari ini kamu tak pernah menyatakan cinta.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Belas)

“Cinta?” Ahmad memandang gulungan ombak yang sesaat lagi pecah di tonggak-tonggak dermaga.

“Jangan pura-pura bodoh!”

“Jika hanya dengan kata cinta yang terdiri dari lima huruf, lima huruf juga pada kata hubun untuk menyebut cinta dalam bahasa Arab, love bahasa Inggris sebanyak empat huruf, liefde enam huruf dalam bahasa Belanda, atau juga lima huruf pada kata amour dalam bahasa Prancis, betapa gampangnya meraih cinta, mengungkap cinta. Kamu tak perlu jauh-jauh datang sampai Ampenan kalau hanya ingin menerima ucapan I love you! Cukuplah mendatangi kota-kota yang konon romantis di Eropa. Ke Venesia, Bruges, Barcelona, Lisbon, atau ke Paris. Katakan cinta dengan bunga. Atau menanti kiriman surat cinta. Apakah sesederhana itu keinginan dara yang terlalu cantik, terlalu mempesona, Cornelia idola ratusan bahkan ribuan pengagumnya, datang jauh-jauh dari Eropa hanya untuk mendengar kalimat picisan, ucapan cinta seperti remaja belasan tahun?” kata Ahmad,

Cornelia merasa tersinggung. Pemuda inlander ini begitu meremehkan tempat-tempat yang dipuja-puja di Eropa. Tetapi ia sekaligus takjub. Pemuda ini memang benar. Cinta yang digambarkan berbagai mitologi, hanya cerita-cerita cengeng tentang sepasang kekasih yang baru mengenal cinta. Tetapi ketersinggungannya mengabaikan itu. Wajahnya merah padam. Ia marah.

“Saya tak butuh ucapan itu. Saya tak butuh surat cinta. Tidak butuh bunga, tidak butuh pemberian apa pun. Ambil cincin-cincin ini. Ambil semua yang pernah kamu berikan. Kembalikan istana dan taman jinmu itu. Saya hanya butuh pengakuan kamu, kejujuran kamu, apakah kamu sungguh mencintai saya. Saya ingin kamu cintai, terlepas dari tugas dan kewajibanmu selama tujuh tahun. Saya ingin kamu lebih menghargai, menyayangi, dan mencintai saya, lebih dari perhatianmu pada pohon gaharu purba dan tembikar yang ada padamu!”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Dua)

Segulungan ombak cukup besar menyapu pasir pesisir. Suaranya berdebum, mengejutkan seekor anjing yang mengendus-endus di dekat perahu-perahu yang ditambatkan. Anjing itu melompat, berlari terbirit-birit meninggalkan pantai.

Ahmad menghela nafas panjang. Lama ia terdiam.

“Saya pernah katakan, saya akan menyatakannya semua. Tidak sekedar pengakuan,” kata Ahmad. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. “Kamu harus pisahkan hubungan kita dengan sebuah amanat. Benda ini dan pohon di sungai itu adalah amanat yang mau tak mau mesti saya penuhi dan laksanakan sebagai kewajiban. Bersabarlah beberapa hari lagi, semua akan saya sampaikan kepadamu.”

Benda yang dikeluarkan Ahmad adalah botol dari tembikar, diletakkannya berdiri di atas telapak tangannya. Cornelia segera menyambar benda itu.

“Jangan dibuka….”

Belum selesai Ahmad berkata, sumbat botol kecil itu telah dibuka Cornelia. Tiba-tiba dermaga berguncang keras. Asap putih pekat bergumpal ke luar dari mulut botol tembikar. Udara harum semerbak di seantero pelabuhan. Cornelia terpekik kaget ketika menyaksikan ratusan ikan paus memenuhi seluruh pantai. Ikan-ikan sebesar kapal, melompat dari tengah samudera dalam sekejap mata. Ikan-ikan raksasa yang menganga memperlihatkan gigi-gigi yang runcing dan tajam. Dari arah belakang terdengar gemerincing benda-benda dari logam. Sepuluh ribu pasukan jin berbaris di sepanjang garis pantai, dengan senjata-senjata terhunus.

Senja yang suram di Pantai Ampenan, kian redup, lalu diselimuti kegelapan total. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Berita Lainnya