Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Delapan)

BERBAGI News – Di atas kepala mereka, ratusan burung raksasa mengepakkan sayap, menciptakan angin bersiuran yang menggagalkan gelombang pasang di pantai. Burung-burung purba, predator prasejarah itu menguik-nguik menyakitkan telinga, dengan sepasang mata merah saga memancar penuh kekejian.

Langit yang sekelam jelaga seperti terbelah ketika halilintar tiba-tiba muncul susul-menyusul, diiringi gemuruh geledek yang menggetarkan bumi. Seperti cambuk api yang melecut ke segala arah, siap menghanguskan apa pun yang terjilat. Lalu terdengar suara mirip terompet ditiup panjang, bergema di seantero pantai.

Cornelia menggigil pucat pasi. Ia nyaris terlempar ke laut. Melihat itu Ahmad secepat kilat menyambar tubuh gadis itu. Pemuda itu mengambil guci tembikar di tangan Cornelia yang gemetaran. Gadis itu memeluk Ahmad erat-erat. Ia membenamkan wajahnya di dada pemuda itu.

Ahmad menutup kembali botol kecil itu. Kegelapan berangsur-angsur lenyap, berganti terang, merah tembaga. Mega-mega yang tadi menghalangi kepulangan matahari, menyingkir ke arah timur. Senja yang sempurna kembali hinggap di Pantai Ampenan.

Saat sumbat botol tembikar ditutup kembali, segala makhluk yang mengelilingi mereka serta-merta menghilang.

“Ahmad, benda itu mengerikan sekali,” ucap Cornelia. Tangannya masih mendekap tubuh pemuda itu.

“Kamu membukanya tiba-tiba, itu sama dengan perintah siaga. Isyarat yang tak hanya dipatuhi para jin tentara, tapi segala makhluk berkumpul. Siap berperang, menunggu titah selanjutnya.”

Dari tengah dermaga terdengar seruan seorang perempuan.

“Astage, te taok’n bekapongan kanak-kanak ne (astaga, di sini ternyata tempat anak-anak ini berpelukan).”

“Inaq!” Cornelia melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah dan tersipu-sipu.

“Inaq cari ke mana-mana, di sini kalian ternyata.”

“Ada apa?”

“Ada lima dokar datang ke rumah.”

“Kenapa dokar-dokar itu?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Delapan)

“Kusir-kusirnya mengantar beras berkarung-karung.”

“Beras untuk apa?”

“Bukan hanya itu, Non. Menyusul setelah itu datang seseorang mengantar dua ekor sapi.”

Cornelia terheran-heran.

“Mereka katanya disuruh Jemuhur,” lanjut Rabiyah.

“Jemuhur yang punya warung di Otak Desa itu?”

“Benar. Katanya, Jemuhur bilang Ahmad dan Non Lia mau merariq. Beras dan sapi-sapi itu untuk begawe (pesta).”

Setelah keheranan, kini Cornelia terkejut. “Dari mana dia tahu saya dan Ahmad akan merariq?”

“Tidak tahu tiyang, Non. Coba tanya Ahmad.”

Tetapi tanpa mereka sadari Ahmad sudah tidak ada di dermaga.

“Yaok, mbe Ahmad. Selung-selung telang (lho, di mana Ahmad. Tiba-tiba hilang).”

Sepanjang perjalanan pulang Rabiyah bercerita. Seluruh pengunjung arena gasing heboh mendengar Cornelia yang dikabarkan akan menikah. “Nane jak biyur wah Ampenan (sekarang Ampenan bakal gempar),” ujar Rabiyah, “Orang-orang di berugaq bersorak gembira Non Lia akan kawin. Tapi ada juga yang nyebeng (bermuka masam).”

“Kenapa mereka nyebeng?”

“Ya kecewa karena Non Lia akan diambil orang. Inaq lihat tadi Babah Hongli momot (termenung) sambil karek otak (garuk kepala). Semakin butak (botak) dia. Daeng Salam dan Abah Karim langsung pulang.”

Di rumah, Willem dan Kathelijn sedang asyik mengobrol. Mereka seperti tak menyadari kepulangan Cornelia dan Rabiyah.

“Jadi, Dokter Willem sudah menyerah?”

“Ya, tablet-tablet itu tidak berguna baginya. Demamnya tambah parah.”

Cornelia kini tahu dialah yang menjadi bahan perbincangan.

“Tapi dia sembuh juga, kan?” Kathelijn bertanya.

“Dia sembuh total. Tapi yang pasti bukan saya yang menyembuhkannya.”

“Mungkin sembuh dengan tablet juga.”

“Entahlah.”

“Saya tahu. Pil itu mereknya Ahmad.”

“Hei!” seruan Cornelia mengagetkan mereka. “Kalian ini mempergunjingkan saya, ya? Coba urus diri sendiri. Satu bujang lapuk. Satu lagi janda muda cantik. Kalian lama-lama bisa jadi benda yang berkarat.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Dua)

“Justru itu. Kita akan akhiri kesendirian ini. Dan kamu memulainya terlebih dulu. Inilah yang sedang kita bicarakan sekarang, menentukan waktu pernikahanmu,” kata Kathelijn.

Kathelijn menyerahkan sebuah kotak kecil. Cornelia mengerutkan kening.

“Sebelum kalian datang, ada seseorang mengantarkan ini untukmu.”

“Siapa?”

“Namanya Sedah.”

“Saya pernah dengar nama itu.”

Cornelia membuka kotak yang diterimanya dari Kathelijn. Ada seuntai rantai kalung besar dengan liontinnya, sepasang giwang, dan sepasang cincin kawin, dari emas. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)