Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Dua)

BERBAGI News – Ampenan, Minggu malam, 7 September 1941. Almanak bulan atas, 15 Sya’ban 1360 Hijriyah. Cahaya keemasan memantul di laut Pantai Ampenan yang sedang pasang. Seluruh kawasan Ampenan bermandi sinar purnama. Di langit, awan menyingkir, seolah terpapar cahaya rembulan bulat sempurna.

“Mana telur-telurnya?”

Cornelia menyerahkan bungkusan berisi sembilan butir telur ayam. Ahmad memasukkannya ke dalam tas.

“Apakah ada jalan lain menuju ke sana?” tanya gadis itu.

“Lewat sini juga bisa, tidak mesti dari tengah jembatan,” Ahmad mengajak berbelok lewat samping rumah Dokter Willem.

“Kita turun ke sungai?”

“Tidak perlu,” Ahmad mengeluarkan sebutir telur, “Letakkan di telapak tanganmu. Bayangkanlah dirimu adalah embrio di dalam telur yang memulai membentuk sel. Embrio berubah dan terus membesar, sampai siap keluar dari cangkang telur.”

“Sekarang?

“Ya, sekarang, lakukan itu menghadap ke sungai.”

Cornelia meletakkan telur itu di telapak tangan kanannya. Ia ulurkan tangannya lurus ke depan. “Boleh sambil pejamkan mata, Ahmad?”

“Terserah, tapi sebaiknya kamu pandang saja.”

Cornelia mulai berkonsentrasi seperti diterangkan Ahmad. Ia terpekik kegelian ketika membayangkan dirinya sudah siap ke luar dari kurungan dinding telur. “Ahmad, telur ini bergerak-gerak.”

“Tahan saja sebentar.”

Telur di tangan Cornelia bergemeretakan, retak-retak, lalu terbelah. Ia melihat sesosok tubuh kecil sebesar jempol ke luar dari cangkang telur. “Lihat, Ahmad, itu saya!” ia berseru takjub.

Tiba-tiba sosok kecil kembaran Cornelia itu melompat, lalu menghilang ke dalam sungai, bersamaan dengan munculnya titian di ujung kaki gadis itu. Jembatan kecil yang cukup untuk dilalui dua orang bersamaan.

“Kita lewat titian?”

Ahmad mengangguk.

Begitu kaki mereka menginjak titian, alam berubah terang-benderang, seperti saat di senja hari. Taman dan istana duplikasi gedung Witte Huis nampak di hadapan mereka.

“Jadi, malam di alam kita berarti sini siang?”

“Tidak begitu. Para jin itu mengondisikan waktu-waktu yang paling disukai manusia, misalnya pagi atau sore hari. Juga agar semua bisa kamu lihat dengan jelas.”

“Saya mesti bawa telur jika misalnya saya datang sendiri ke tempat ini?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Empat)

“Ada beberapa media menuju alam mereka. Tapi menggunakan telur-telur suatu cara paling mudah.”

“Semua orang bisa ke sana?”

“Tergantung.”

“Saya paham. Saya mudah ke dunia mereka karena saya kekasih tuan para makluk tak kasat mata.”

“Kamu boleh ke mari setiap waktu.”

“Saya mau ajak inaq sekali waktu ke tempat ini,” Cornelia memikirkan sesuatu, “Ah, sebaiknya saya rahasiakan saja. Kalau saya ajak, saya khawatir Inaq Rabiyah nanti tidak mau pulang-pulang karena langsung kawin dengan jin.”

Ahmad tertawa geli mendengar lelucon gadis itu. Ia lalu berbicara banyak tentang telur yang menjadi simbol universal, tak hanya di kalangan manusia. “Jauh sebelum timbulnya perdebatan para filsuf yang mempertanyakan mana lebih dulu telur atau ayam, hampir semua peradaban kuno meyakini bahwa alam semesta lahir dari sebutir telur.”

“Wah, menarik. Kamu mengetahui banyak hal, Ahmad. Kamu banyak membaca, ya?”

“Ada beberapa buku pernah saya baca, dan selebihnya dari mendengar penuturan orang-orang berpengetahuan.”

Mesir Kuno, kata Ahmad, memercayai adanya telur purba sebagai penjaga kekuatan hidup umat manusia. Seorang dewa melompat dari telur itu untuk menertibkan kekacauan. Dari telur jenis yang sama, Dewa Khnum ditetaskan. Dewa yang menjadi sumber lahirnya telur dan benih kehidupan.

Peradaban primordial di Cina menyebutkan bahwa 18.000 tahun yang lalu langit dan bumi terpisah. Bentuknya seperti telur ayam. Telur-telur pecah karena saling berbenturan, kemudian membentuk unsur-unsur berat menjadi bumi (yin) dan anasir ringan menjadi surga (yang).

Di tenggara Peru terdapat sebuah kota bernama Cusco, tempat Coricancha atau kuil matahari Bangsa Inka, peradaban pra Columbus. Ada ornamen utama di kuil itu, berbentuk piring emas oval yang diapit bulan dan matahari yang melambangkan Huiracocha sebagai dewa tertinggi. “Telur bagi Bangsa Inka mewakili kekuatan kreatif cahaya yang menegaskan janji kebangkitan,” ujar Ahmad.

Sedangkan dalam mitologi Yunani, tradisi Orphic melarang memakan telur. Sebab telur hanya dipersembahkan kepada orang mati, sebagai penegasan adanya kelahiran kembali.

“Di berbagai wilayah, telur adalah lambang ketenangan seperti rumah, sarang, atau rahim ibu.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Lima)

“Ahmad, kita sudah sampai di gerbang.”

Ahmad menyerahkan dua butir telur. “Bayangkan lagi, satu telur ini adalah kunci, satunya lagi pintu gerbang.”

“Lalu?”

“Benturkan keduanya satu sama lain.”

Cornelia mengerutkan kening. Ia nampak ragu.

“Benturkan saja sampai pecah,” kata Ahmad lagi.

Telur di tangan kiri Cornelia dihempaskan ke telur di tangan kanannya. Kedua telur pecah, tetapi tidak ada apa pun keluar dari dalam cangkang. Dua telur kosong melompong. Tapi ia lihat gerbang taman pelahan terkuak.

“Kita jalan-jalan lagi di taman atau langsung ke istanamu?”

“Saya kepingin lihat istana itu, Ahmad. Lagipula kita sudah keliling taman beberapa hari lalu, walaupun belum seluruhnya. Baliknya baru kita jalan-jalan lagi.”

Mereka tiba di ujung taman depan istana. Tapi halaman istana di kelilingi air yang cukup dalam.

“Mana jembatannya, Ahmad? Kamu suruh saya berenang mencapai istana?”

Ahmad merogoh tasnya. Ia serahkan lima butir telur lagi.

“Lemparkan ke dalam air itu.”

Satu-persatu telur dilemparkan Cornelia. Ia melihat tuna-tuna putih besar berlomba memperebutkan telur-telur di dalam kolam. Lalu tiba-tiba pandangan mereka terhalang tembok tinggi yang memiliki lima pintu.

“Sebenarnya kamu boleh membawa banyak telur. Ada puluhan ruangan di istana ini. Lima butir telur tadi mewakili lima ruangan. Sekarang kamu bebas memilih pintu ruangan mana saja.

Cornelia memilih pintu yang berada di tengah. Harum aroma gaharu merebak ketika pintu terbuka.

“Sebentar,” Ahmad memberikan gadis itu sebutir telur yang tersisa, “Kupas yang satu ini.”

“Ini telur mentah, Ahmad.”

“Kupas saja.”

Gadis itu mengetukkan pangkal telur itu ke dinding. Ternyata telur itu sudah matang.

“Ini sebagai simbol saja yang kita perlihatkan kepada mereka. Simbol kemesraan sepasang manusia. Tolong suapi saya telur itu.”

Telur yang sudah dikupas itu disuapkan Cornelia ke mulut Ahmad. Pemuda itu mengunyah dan menelannya setengah bagian.

“Sekarang giliran kamu saya suapi,” kata Ahmad, lalu ia menyuapi gadis itu.

Mereka meneruskan langkah. Ruangan itu sangat luas, hampir selebar seperempat lapangan sepak bola. Seluruh lantai tertutup permadani berwarna merah. Langit-langit bercat putih, di tengah-tengah dan empat sudutnya bergantung lampu-lampu kristal. Empat sisi dinding bercat hijau muda, nampak bersih dan baru. Ada beberapa lukisan dari kain kanvas berbingkai dengan ornamen indah. Lukisan pemandangan alam pegunungan dengan air terjun bertingkat-tingkat. Lukisan lainnya adalah aneka bunga yang tumbuh di taman, mengelilingi sebuah kolam yang bening.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Belas)

“Ruangan yang sangat bagus,” kata Cornelia.

Gadis itu menarik tangan Ahmad, sambil menunjuk sebuah lukisan yang berukuran paling lebar, hampir dua kali lebar daun pintu. Lukisan dengan subyek Cornelia dan Ahmad sedang berpelukan di tepi pantai!

“Selamat datang, Nona Cornelia sayang. Selamat datang, Tuan Ahmad. Selamat datang, wahai pengantin!”

Cornelia mencari sumber suara. Ia melihat seekor burung kakatua bertengger di atas sandaran sebuah sofa panjang. Burung itu terus berbicara.

“Burung cantik dan pintar,” puji Cornelia.

Cornelia menoleh ke luar ruangan. Ada berugaq yang nampak sangat kokoh, rapi, dan artistik di situ, di tepi telaga berair jernih. Ia terperanjat ketika melihat beberapa orang yang dikenalnya duduk-duduk di berugaq.

“Ahmad. Coba lihat! Itu ada Daeng Salam, Abah Karim, dan Babah Hongli di berugaq!”

Ahmad tak menjawab.

Dari pintu belakang muncul puluhan gadis dan pemuda yang berbaris rapi. Satu barisan pemuda berparas tampan membungkuk memberi hormat kepada Ahmad dan Cornelia. Mereka memberi isyarat kepada Cornelia.

“Itu barisan pengiringmu, mereka akan mengantarmu ke sebuah ruang lain.”

“Terus, kamu sendiri?”

“Saya diantar para gadis ini ke ruang yang berbeda.”

Cornelia memperhatikan gadis-gadis itu satu-persatu. Wajah-wajah jelita, berkulit kuning gading, berpakaian cukup ketat. Menampakkan lekuk dan tonjolan tubuh, ranum menggiurkan.

Sepasang mata dara Eropa itu membelalak, menatap wajah Ahmad dengan sorot murka. Nampak ia menahan perasaan cemburu yang tiba-tiba membakarnya.

“Jangan berpikir macam-macam, Cinta!”

Ucapan Ahmad cukup membuatnya luluh, walaupun nyeri hati disebabkan syak wasangka belum serta-merta hilang. Ia melangkah juga, diiringi belasan pemuda berdestar dan berpakaian seragam istana. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)