Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Lima)

BERBAGI News – Dua hari menjelang Bulan Ramadhan, Ampenan terang-benderang. Rencana penyelenggaraan rowah (pesta) menyambut kedatangan bulan suci atas inisiatif Jemuhur, yang semula dihajatkan hanya untuk kalangan pecinta gasing, berubah menjadi pesta besar untuk seluruh warga Ampenan.

Beberapa hari sebelumnya, pelaksana inti kegiatan itu mengadakan pertemuan di berugaq di lokasi permainan gasing.

“Kita namakan rowah beleq (pesta besar) Ampenan saja,” usul Abah Karim, “Coba ente baca berapa total sumbangan untuk acara ini, Hep,” katanya menoleh kepada Daeng Salam.

“Di luar bantuan Amaq Jemuhur, ada sumbangan tambahan tiga ekor sapi dari urun-urunan warga, 15 ekor kambing, 500 ekor ayam, sepuluh karung beras, 5000 butir kelapa, sepuluh karung gula, dua karung kopi, dan 5000 butir telur,” jelas Daeng Salam.

“Sedangkan sumbangan uang totalnya 450 gulden,” Babah Hongli menambahkan. Ia membantu Daeng Salam mencatat partisipasi warga yang mendukung acara tersebut.

“Boleh saya usul?” tanya Cornelia.

“Saya persilakan, Non,” jawab Daeng Salam.

“Kami,” tukas Abah Karim meluruskan. Matanya melotot.

“Iya, ya, kami persilakan, Non Cornelia.”

“Mereka yang kita utamakan hadir di acara rowah nanti adalah anak-anak yatim-piatu di Ampenan. Kita belum tahu berapa jumlahnya. Semua diundang tanpa kecuali. Kedua, para janda miskin juga diundang.”

“Si Rabiyah juga janda. Juga Kathelijn,” sahut Abah Karim.

“Dua janda itu pengecualian, mereka ‘kan panitia,” kata Cornelia tertawa. “Ketiga, saya usulkan ada lomba membuat berbagai makanan dari bahan telur. Boleh hidangan untuk lauk atau jajan.”

“Kalau jajan, pasti paling banyak diikuti orang-orang Kampung Banjar,” ujar Babah Hongli.

“Siapa pun boleh mengikuti lomba. Kita umumkan pemenangnya di malam rowah. Kami sudah siapkan dana untuk hadiahnya. Juga kami telah niatkan untuk memberikan sumbangan kepada anak-anak yatim dan janda-janda itu,” ucap Cornelia seraya menyerahkan kantung berisi keping-keping uang.

“Repot-repot, Non. Ini ada dana, bisa Non pakai,” timpal Daeng Salam.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Satu)

“Itu sumbangan Ahmad dan saya. Kata Ahmad, kita bantu mereka yang tidak mampu, agar ada sangu selama melaksanakan ibadah puasa,” kata gadis itu lagi.

“Betul juga si Ahmad. Tapi kenapa dia serahkan lewat Non Cornelia. Dia padahal tahu petugas pengumpul sumbangan kita sudah tunjuk Daeng Salam dan Babah Hongli,” ujar Abah Karim dengan nada cemburu.

“Tadi dia buru-buru mau ke Bengkel. Dia sudah titip salam kepada semua panitia,” sahut Cornelia.

Uang dalam kantung itu dihitung. Abah Karim, Daeng Salam, dan Babah Hongli terperanjat ketika mengetahui jumlahnya. Uang yang bisa untuk membeli 20 ekor sapi!

Tiga lelaki itu saling berpandangan.

“Begini. Saya sangat setuju pemikiran Ahmad. Selama ini kita hanya mengingat anak-anak yatim dan para fakir miskin ketika menjelang lebaran, saat kita berkewajiban memberi infaq sadakah. Kita akan berpuasa sebulan penuh, hanya mementingkan ibadah kita sendiri. Bagaimana dengan mereka saat memasuki Bulan Ramadhan? Bagaimana kalau semua sisa anggaran dan material rowah kita serahkan kepada mereka? Saya secara pribadi juga akan menambah sumbangan untuk membeli sarung dan telekung,” kata Daeng Salam.

“Berikan mereka nanti masing-masing setengah kilogram kurma. Saya tambah juga uang sumbangan,” ucap Abah Karim.

“Saya pun juga segera menambah sumbangan untuk keperluan itu,” timpal Babah Hongli.

*

Sejak menjelang maghrib suasana Ampenan benar-benar berbeda dari hari-hari sebelumnya. Para pemilik hampir seluruh rumah terheran-heran, ketika mendapatkan rumah mereka telah bercat baru. Tidak hanya itu. Di halaman rumah tiba-tiba tumbuh beraneka jenis tanaman bunga. Kembang-kembang indah bermekaran. Selain itu di depan rumah ada dua obor besar menyala, berbahan bakar minyak jarak.

“Siapa yang bikin rumah ini jadi teratur begini?” tanya Dolah, warga Sukaraja, kepada istrinya.

“Saya tidak tahu, dia selung-selung (mendadak) seperti ini.”

Bahkan Daeng Salam pun salah masuk rumah. Seorang tetangganya ke luar dari dalam kamar.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Satu)

“Ada apa, Daeng?”

“Maaf, maaf. Ini aneh. Saya tidak tanda rumah saya sendiri.”

“Kenapa bisa begitu, Daeng?”

“Coba kita lihat dari depan.”

Tetangganya mengikutinya di belakang. Ia pun terkejut menyaksikan keadaan sekeliling kediamannya.

“Barusan saya masuk tidak begini, Daeng. Siapa punya kerjaan? Siapa yang pasang obor-obor itu di depan-depan rumah?”

Lalu tercium lembut aroma gaharu yang menenteramkan perasaan. Kedua lelaki itu saling berpandangan.

Di malam bertajuk Rowah Beleq Ampenan itu, jalan-jalan tak berdebu seperti baru tersiram hujan. Warga tak menyadari para khadam bekerja dengan kecepatan yang tak dapat terjangkau nalar, memperindah kota dalam sekejap. Aroma gaharu bertebaran di seluruh penjuru Ampenan.

Mereka telah meminta ijin kepada Ahmad agar ikut ambil bagian menyiapkan pesta besar itu. Ampenan bersih dan wangi. Tiada sepotong pun sampah ditemukan di seantero kota. Obor-obor tak hanya berada di depan rumah-rumah penduduk, tapi juga berjajar di sepanjang kedua sisi Sungai Jangkok dan jembatan Ampenan. Di tempat perhelatan telah tergelar tikar hingga lantai jembatan. Lima buah lampu petromaks menyala terang di sekitar arena pegasingan.

Ribuan orang datang ke pesta. Jalan-jalan sekitar tempat acara dipadati tamu yang duduk bersila. Bermacam makanan dihidangkan. Siapa pun dipersilakan menikmati segala menu sepuas-puasnya.

Ada yang sangat menarik perhatian para tamu. Tiga tokoh yang kini telah akur, Daeng Salam, Abah Karim, dan Babah Hongli, datang dengan pakaian menyolok. Daeng Salam mengenakan jas tutu berkancing warna keemasan, lengkap dengan paroci dan sarung lipa garusuk dan songkok, sebagaimana pakaian tradisi di Sulawesi Selatan. Abah Karim mengenakan setelan thawb atau gamis putih panjang dengan celana panjang longgar yang juga putih atau sirwal. Pakaian yang dibalut jubah lengkap dengan penutup kepala. Sedangkan Babah Hongli memakai jubah labuh hitam dari sutera. Jubah berkerah tinggi itu di bagian lengan sangat lebar. Di bagian dada ada gambar motif naga, bordiran benang emas.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan)

Cornelia dan Kathelijn menyambut ketiga lelaki yang datang hampir bersamaan itu sambil tak henti-hentinya tersenyum. “Pakaian-pakaian yang bagus sekali,” puji Katelijn mengacungkan jempol.

Baik Daeng Salam, Abah Karim, maupun Babah Hongli sangat terperanjat ketika menyadari keadaan mereka.

“Saya tadi hanya pakai kemeja dan peci, kenapa di sini jadi berubah?” bisik Daeng Salam tak habis pikir.

“Ajaib, perasaan si Maryam tadi tidak memberikan pakaian ini,” gumam Abah Karim.

“Aduh, jadi norak begini. Apakah saya sudah mulai pikun? Tadi saya sudah siapkan hem baru,” Babah Hongli menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Dari kejauhan Ahmad tersenyum-senyum sendiri melihat ketiganya. Ia segera tahu, itu adalah bentuk kejahilan beberapa makhluk tak kasat mata.

Ternyata peserta lomba menu kuliner berbahan baku telur diikuti ratusan warga, dengan berbagai kreasi. Mulai pelalah telok (gulai telur), hingga varian kelemben (bolu). Pemenang utamanya adalah seorang wanita warga Kampung Arab, dengan makanan modifikasi Timur Tengah. Ia tata telur-telur matang yang masih utuh dengan kulitnya di sisi nasi yang sudah diberi bumbu di atas nampan. Lalu telur dadar diiris tipis-tipis, dipadukan dengan irisan buah dan sayur membentuk ornamen unik. Hidangan yang juga modifikasi menu begibung. Menjadi pemenang karena tak hanya dinilai dari kelezatan rasa, tapi juga dari penyajiannya yang artistik.

Dari lomba itu, Cornelia mencatat lebih dari 50 jenis makanan berbahan telur yang menjadi kekayaan kuliner di Ampenan. Makanan-makanan yang familiar di lidah siapa saja. Ia terpikir mengadakan kegiatan serupa di lain waktu untuk bahan baku lainnya.

Malam itu, Jum’at, 27 Sya’ban 1360 Hijriyah. Malam pesta besar di Ampenan. Wajah-wajah gembira menyambut datangnya bulan suci. Juga wajah-wajah bahagia anak-anak yatim-piatu, para janda, dan fakir yang menerima santunan dari para dermawan. Berpasang-pasang mata berkaca-kaca. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)