Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Delapan)

BERBAGI News – Belum ada satu pun puasa Cornelia jebol. Ini membuat Rabiyah bertambah menyayangi gadis itu. Bahkan kini ia tak pernah merasa terlalu lelah. Cornelia selalu membantunya, sehingga ia merasa bukan seorang babu lagi. Benar-benar seorang ibu bagi gadis itu.

“Mengapa Non Lia puasa?”

“Masak orang-orang puasa saya tidak.”

“Tidak apa-apa, Non.”

“Inaq puasa. Ahmad puasa. Saya juga harus puasa. Dan puasa itu membuat saya tambah sehat, Inaq. Badan saya cukup langsing. Kemarin-kemarin saya sempat takut gemuk. Dan benar kata Ahmad, makan di saat lapar begitu nikmat. Setiap berbuka semua makanan itu lezat.”

“Betul, Non, jangan sampai gemuk, nanti ndak bisa di-senggeq Ahmad.”

Kedua wanita itu tertawa.

Hari menjelang sore. Raodah memberi tahu Cornelia, Ahmad ada di depan membawa sorok (jaring kecil) dan keranjang dari bambu.

“Inaq ikut ke kokok (sungai)? Saya kepingin makan udang kokok lagi.”

“Ayo!”

Di Sungai Jangkok yang jernih itu Rabiyah, Cornelia, dan Raodah menjerat udang dengan peralatan yang telah disiapkan Ahmad. Sedangkan pemuda itu sibuk dengan alat yang disurukkannya ke dalam air di bawah tumbuh-tumbuhan di tepian sungai. Sekali angkat, sejumlah hewan isi kali menggelepar di dalam sorok. Ada kepiting, udang, ikan mujair, lele, dan gabus.

Raodah berjingkrak-jingkrak dan Cornelia berseru kegirangan setiap melihat hewan-hewan itu berhasil ditangkap Ahmad.

“Ahmad, beberapa hari ini saya perhatikan, setiap saya menatapmu, kenapa kamu selalu menunduk?”

Ahmad mengibas-ngibaskan sorok, membuang benda-benda kecil yang menempel. Ia memandang ke arah barat. Senja mulai turun.

“Saya khawatir puasa saya makruh bahkan batal.”

“Apa itu makruh, dan apa hubungannya batal puasa dengan wajah saya?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Sembilan)

“Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Juga menahan emosi dan hawa nafsu.”

“Jadi setiap melihat wajah saya nafsumu muncul, Ahmad?”

Ahmad tak menjawab. Ia kembali menyurukkan jaring kecilnya ke pinggir sungai.

“He, kenapa tidak dijawab? Kalau nanti malam saya boleh mencubitmu?” gadis itu bertanya lagi, tapi ia kemudian memekik ketika melihat sorok Ahmad berhasil menangkap ikan mujair lebih besar dari telapak tangan, tiga ekor sekaligus.

Keranjang Ahmad penuh ikan dan udang. Ia serahkan kepada Rabiyah. Mereka meninggalkan sungai. Hari masih terang.

*

Sehabis tadarus Ahmad kembali. Ia menemui Cornelia, mengingatkannya sesuatu.

“Sekarang tanggal 17 Ramadhan. Masih ingat pesan Ghalib?”

“Saya masih ingat, Ahmad. Tapi apakah saya bisa melihat pesan seperti yang dikatakan mendiang Kakek Ghalib?”

“Kita lihat dari berugaq saja.”

Mereka memandang ke arah selatan, di atas Sungai Jangkok di timur jembatan.

Pertama kali Cornelia melihat pohon gaharu yang muncul di keremangan kolong jembatan. Di langit rembulan nampak menyembul di balik awan. Sebelah bahagian tepinya mulai menyusut karena telah melewati masa purnama.

“Ahmad, saya melihat seperti huruf-huruf kaligrafi di atas pohon itu. Terang keemasan, seperti cahaya bintang. Di sebelah kiri nampak seperti menara yang berkilau.”

“Itu salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebuah firman Allah.”

“Boleh saya tahu apa bunyinya?”

Ahmad membaca dan memberi tafsiran ayat itu.

“Itu surah Adz-Dzaariyat ayat 49. Terjemahannya, dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”

“Ahmad, itu muncul lagi.”

“Nah, yang itu hadist. Sabda rasul yang diriwayatkan seorang bernama Ahmad.”

“Namamu sama.”

“Sesungguhnya orang-orang yang saling mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti terlihat seperti bintang yang muncul dari timur atau bintang barat yang berpijar. Lalu ada yang bertanya, “siapa mereka itu?”, “mereka itu adalah orang-orang yang mencintai karena Allah ‘Azzawajalla.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sembilan)

Cornelia terdiam beberapa saat.

“Puasamu utuh, Cornelia?”

“Sampai tadi belum ada yang rusak, Ahmad.”

“Boleh saya bertanya, kamu puasa karena siapa?”

“Karena saya mencintaimu, Ahmad. Kamu lapar seharian. Saya tak mau kamu lapar sendirian.”

“Cornelia.”

“Iya.”

“Cinta itu siapa yang berikan?”

“Seperti kata Kakek Ghalib, dari zat yang Maha Tinggi. Allah-kah maksudnya?”

“Benar. Karena Allah menumbuhkan cinta, maka segala syukur itu dipanjatkan kepada-Nya. Selain doa-doa, disampaikan melalui rukun agama. Puasa adalah bentuk ibadah umat muslim, semata-mata wajib dikerjakan karena Allah SWT. Sang Penganugerah cinta.”

“Ahmad, kapan kamu menikahi saya?”

“Sudah saya catat waktunya. Insyaallah Tuhan melapangkan jalan ketika saya mempersuntingmu. Jangan risaukan itu.”

“Ahmad, saya ikhlas ikut agamamu. Kapan saya resmi memeluknya?”

“Tidak perlu terburu-buru. Kenalilah semua ajaran agama ini, ajaran-ajaran kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi segala makhluk dan alam semesta. Sampai ketika kamu benar-benar ikhlas beribadah hanya karena-Nya, segera sampaikan kepada saya.”

Rembulan kembali lenyap di balik gerombolan awan.

“Sudah mulai larut malam, kamu masuklah.”

“Ahmad!”

“Iya, gadisku.”

“Saya suka dengar itu Ahmad. Boleh saya minta kamu tambah satu kata lagi?”

“Apa itu?”

“Sayang.”

“Kembalilah ke peraduanmu, matahari hati. Selamat tidur, Cornelia, gadisku sayang.”

“Kamu selalu memberikan saya sesuatu yang lebih dari yang saya minta. Terima kasih, pemudaku, cintaku.”

Tangan lembut dara itu menyalaminya, mencium tangannya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)