Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Sembilan)

BERBAGI News – Sebuah dokar menunggu di depan rumah. Kusirnya masih mengenakan sarung dan peci, nampaknya baru kembali dari masjid.

Orang-orang baru pulang melaksanakan sholat ied.

“Saya disuruh Ahmad mengantar Non Cornelia dan Rabiyah ke mana saja,” kata kusir itu.

“Ahmad di mana sekarang?” tanya Rabiyah.

“Semalam dia sudah bilang akan berkunjung ke keluarganya sehabis shalat ied. Siang baru bisa kemari,” Cornelia menyahut.

“Kalau begitu kita ke Kampung Melayu dulu, jemput Raodah sekalian. Siapa tahu inaq-nya juga mau ikut keliling.”

Di hari raya Idul Fitri itu Cornelia diajak Rabiyah berkunjung ke hampir seluruh kampung di Ampenan. Rumah-rumah yang didatangi adalah keluarga dan kenalan Rabiyah. Melihat gadis Belanda itu berkunjung, para warga berebutan mengajaknya mampir.

“Ke rumah tiyang dulu, Non, ada jaja tujak dengan poteng reket bideng (tapai ketan hitam),” kata seorang wanita menarik tangannya hendak mengajak masuk rumah.

Tetapi seorang perempuan lagi memegang tangannya yang sebelah, sehingga Cornelia kebingungan hendak mengikuti siapa. “Di rumah juga banyak jaje (jajan), Non. Ada kaliadem, keciprut, kacang asin, tolang antap, kelemben, ayo ke sana dulu.”

“He, jangan ditarik-tarik begitu. Bisa keseleo tangan anak saya nanti,” bentak Rabiyah melihat gadis itu jadi rebutan.

Anak-anak berdatangan, menyalami dan mencium tangan Cornelia. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum. Ia berikan anak-anak itu uang-uang recehan yang telah disiapkannya dari rumah, seperti pesan Ahmad.

“Dari mana dapat uang?” seorang ibu bertanya kepada anaknya.

“Dikasih noni.”

“Kepeng hol (uang hadiah lebaran). Kepeng hol!” teriak anak-anak.

“Noni bagi-bagi hol.”

“Yaok, makaq aku ndek man te beng hol (lho, kenapa saya belum diberi hol)?” seorang pemuda bertanya kepada temannya.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat)

“Hol, hol, itung juluk baok tie. Noni beng kanak-kanak doang, (hol, hol, hitung dulu janggutmu itu. Noni hanya berikan untuk anak-anak),” sahut teman di sebelahnya.

Sampai siang kusir dokar mengantar Cornelia dan Rabiyah masuk kampung keluar kampung. Terakhir kali mereka berkunjung ke Dasan Agung.

*

Usai lohor Ahmad datang. Ia membawa seikat sayur kelor.

“Saya lapar, tolong masakkan sayur ini.”

“Kamu belum makan?” tanya Cornelia.

“Hanya makan jajan dari tadi. Perut saya rasanya tak karu-karuan.”

Sebentar kemudian gadis itu membawa hidangan ke berugaq. Pemuda itu makan dengan begitu lahap.

“Kamu benar-benar seperti orang kelaparan.”

“Saya lapar masakanmu.”

“Setiap hari, terutama di bulan puasa kemarin kamu makan di sini. Kamu tidak bosan masakan saya?”

“Kalau saya bosan saat lapar pun saya tak akan makan.”

“Memangnya masakan saya enak?”

“Kalau tidak enak saya tidak nambah seperti ini.”

“Kamu jangan hanya menyenang-nyenangkan hati saya sekarang. Awas kalau kamu cari makan di luar kalau kita sudah menikah nanti.”

“Inyaallah, masakan lezat istri saya kelak membuat saya betah di rumah.”

“Ahmad, kenapa kamu tidak mengajak saya mengunjungi keluargamu, mumpung ini hari lebaran?”

“Kamu mau?”

“Kenapa bertanya begitu? Saya ini akan jadi bagian dari keluargamu.”

“Keluarga paling dekat saya jauh di Lombok bagian timur, Cornelia. Tapi kamu sudah keliling Ampenan dan beberapa tempat lainnya. Sebagian yang kamu kunjungi itu juga keluarga saya. Artinya mereka sudah menerimamu sebelum saya memperkenalkan kamu kepada mereka.”

“Ahmad, sepulangmu semalam, banyak orang antar makanan ke sini. Di dalam banyak jajan, saya keluarkan, ya?”

“Nanti saja kalau sudah ramai orang datang.”

“Ini ‘kan lebaran, Ahmad? Masak mereka mau main gasing juga di hari raya?”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tujuh)

“Mereka mungkin ngumpul di sini, bersilaturahmi.”

Ahmad ternyata benar.

Sorenya, orang-orang berdatangan. Kali ini tak ada yang membawa gasing. Hampir semuanya bersongkok dan berpakaian rapi. Ada beberapa yang membawa istrinya. Di antaranya Daeng Salam dan Abah Karim. Kathelijn datang ditemani Raodah dan ibunya.

“Maryam, ini gadis yang sering ana ceritakan. Dia Nona Cornelia,” kata Abah Karim memperkenalkan istrinya kepada Cornelia.

“Gadis sangat cantik,” puji Maryam.

“Ibu juga cantik,” balas Cornelia sambil memeluk perempuan itu.

Abah Karim berbisik di telinga Daeng Salam, “Akur si Maryam dengan calon madunya.”

Daeng Salam menunjukkan wajah tak suka. Tetapi ia tak banyak bicara, lantaran di dekatnya ada sang istri.

“Lho, Babah Hongli mana bininya?” terdengar suara wanita di sudut berugaq. Itu suara Kathelijn.

“Astaga, Kathelijn belum tahu saya masih bujangan? Perjaka tulen,” sahut Babah Hongli.

“Perjaka?”

“Utuh. Dijamin.”

“Kalau perjaka, dia punya peluang.”

“Peluang untuk siapa, Kathelijn?”

“Saya ‘kan juga belum punya pasangan,” kata Kathelijn lagi.

Abah Karim dan Daeng Salam saling berpandangan dengan muka masam.

“Peluang nomor berapa, Kathelijn?”

“Nomor satu tentunya,” jawab janda itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit ke arah bujang lapuk itu.

Babah Hongli salah tingkah. Tapi hatinya berbunga-bunga. Ah, kedipan mata itu, apa artinya? Malamnya ia tak bisa tidur. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)