Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh)

BERBAGI News – Serangan mendadak pasukan Jepang terhadap Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada Minggu pagi, 7 Desember 1941, dalam perhitungan jangka pendek menciptakan peluang bagi Jepang. Selain kesempatan memulai kampanye militer di Asia-Pasifik Raya, tujuan paling utama adalah menduduki Hindia Belanda untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi. Sebab, Jepang sangat kesulitan setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat dibutuhkan untuk industri maupun keperluan operasi militer mereka.

Propaganda “Asia untuk orang Asia, “kemakmuran bersama Asia Timur Raya”, dan kesejahteraan bersama yang bebas dari kolonialisme dan dominasi Barat yang dilancarkan, berhasil menutup tujuan utama Jepang. Semakin membenarkan agresi-agresi mereka di Asia Timur yang berlangsung sejak tahun 1930-an hingga akhir Perang Dunia ke dua.

Iming-iming membebaskan Asia dari imperialisme Barat, adalah konsep licik yang berawal dari gagasan Jenderal Hachiro Arita yang saat itu menjabat menteri luar negeri dan pakar ideologi angkatan darat.

Propaganda yang mendapat respon luar biasa. Pribumi terlena dan bersuka-cita, seperti datangnya hujan setelah musim kering berkepanjangan. Jepang dinanti-nanti sebagai dewa penyelamat, jauh sebelum Belanda dikalahkan di Bulan Maret 1942.

“Nippon pahlawan Asia. Negeri yang akan membantu kita terbebas dari penguasaan Belanda,” ucap seorang pemuda yang baru datang dari Batavia.

Arena permainan gasing di Sukaraja nampak lebih ramai. Hari itu akhir tahun 1941. Sejumlah pemuda yang merantau ke Pulau Jawa kembali ke kampung halaman. Beberapa di antaranya adalah mereka yang sebelumnya pernah berjumpa dengan Cornelia di Batavia.

“Jepang sebagai pembela negara-negara Timur.”

“Sekarang sudah sejauh mana gerakan mereka?”

“Jepang saat ini sudah mulai menyerang Malaya yang dikuasai Inggris.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Dua Puluh Lima)

Kapal Prince of Wales dan Repulse ditenggelamkan Nippon. Di Kuching, Sarawak, Inggris sudah kocar-kacir. Tinggal menunggu waktu sampai di Hindia Belanda. Tapi Aceh sudah mulai berhubungan dengan tentara Jepang.”

“Tapi mengapa Bung Hatta justru membuat seruan di surat kabar agar kita melawan Jepang?”

“Ana juga tak mengerti jalan pikirannya. Menurut ana, Bung Hatta keliru, Hep.”

“Bung Hatta tidak pernah percaya campur-tangan bangsa lain. Ratusan tahun sudah kita membiarkan diri jatuh dalam penguasaan negeri asing.

Tokoh itu sepertinya mengingatkan kita untuk bersandar hanya pada kekuatan bangsa sendiri,” Ahmad membuka suara. Semua mata memandangnya.

Tetapi perhatian orang-orang yang duduk di berugaq kini berpindah pada seorang lelaki berdandan rapi yang mendekati kerumunan orang yang menyaksikan permainan gasing. Lelaki tinggi langsing, berkulit putih, berusia sekitar empat puluhan, tapi nampak gagah. Rambutnya agak panjang namun tersisir rapi. Dari fisik dan logat bicaranya, ia seorang pendatang asing.

“Siapa berani bertaruh melawan saya?” lelaki itu memutar-mutar gasing di atas telapak tangannya.

Tantangan itu dijawab Miaseh, lelaki dari Dasan Agung. “Subhan, lawan orang ini. Saya pasang 25 gulden.”

“Saya tambah 25 gulden lagi, Subhan,” timpal Sapoan.
Beberapa orang ikut serta menambah nilai taruhan, sehingga totalnya mencapai 100 gulden.

Adu ketangkasan bermain gasing pun dimulai. Namun pada akhirnya gasing Subhan terbelah, menandai sebuah kekalahan. Jago gasing itu dengan mudah dipecundangi pemain asing, lelaki yang baru muncul.

Subhan diganti dengan pemain lain. Jumlah taruhan dilipatgandakan. Namun kembali orang asing itu memenangkan permainan. Suasana menjadi gaduh dan panas, terutama mereka yang kehilangan uang dalam pertaruhan. Mereka memaki-maki dua jagoan yang ternyata tak berhasil membuktikan kehebatan mereka. Sementara pendatang baru itu tersenyum-senyum mengejek penuh kemenangan.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Dua)

“Ayo, masih berani lagi?” kembali ia menantang.

Sebuah suara menyahut dari berugaq. “Di sini bukan tempat bertaruh. Kembalikan uang-uang mereka!”

Orang-orang tertegun. Mereka melihat Ahmad bangkit dari berugaq.

“Kembalikan? Kau sudah lihat, bukan? Mereka pasang taruhan memilih jago-jago bodoh. Saya pemenangnya, dan berhak mendapat imbalan kemenangan itu,” jawab lelaki asing itu tanpa melihat Ahmad. Ia menepuk-nepuk seluruh sakunya yang penuh dengan uang.

Disebut jago bodoh, dua pemain gasing itu mendelik geram.

“Tapi di sini tidak pernah ada orang bertaruh. Saya mohon Saudara jangan merusak suasana persaudaraan yang sudah berlangsung lama di sini dengan niat berjudi. Tolong kembalikan,” Ahmad kini berhadap-hadapan dengan lelaki itu.

“Wow, seorang pemuda mau jadi pahlawan? Uang bisa kembali dengan satu sarat.”

“Sebutkan syaratnya.”

“Kau harus bertaruh dan harus menang melawan saya.”

“Baik, walaupun saya tidak suka mendengar kata taruhan, saya terpaksa melayani Saudara. Setelah itu saya minta Saudara tinggalkan tempat ini.”
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. “Keluarkan taruhanmu!”

Ahmad mengeluarkan kantong kain dari dalam tasnya. Ia meminta seseorang memegangnya. “Setengah kilogram keping emas.”

Orang-orang berseru mendengar nilai taruhan yang disebut Ahmad. Mereka juga terheran-heran, selama ini Ahmad tidak pernah ikut bermain gasing, tiba-tiba berani menantang seseorang yang telah mengalahkan pemain-pemain terbaik di arena itu.

Orang asing itu kembali tertawa membahana, membuat suasana cukup mencekam. Ia juga menyerahkan sejumlah uang senilai tantangan.

“Penantang mesti memulai pertama,” katanya mempersilakan.

Ahmad meminjam gasing salah seorang pemain. Para pengunjung terkejut ketika terdengar letusan laksana gelegar geledek begitu ia melepas lilitan tali gasing. Sementara gasing itu berputar menderu, mengeluarkan suara seperti topan prahara. Debu-debu beterbangan. Orang-orang mundur, agak menjauh dari arena.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tiga)

Giliran lelaki asing itu melepas gasingnya, menghantam gasing Ahmad.

Suara ledakan kembali terdengar. Ujung gasing pemain asing menerjang, namun gasing Ahmad tidak terpengaruh. Gasing itu tetap berputar stabil. Kini dua gasing sama-sama berputar di atas tanah, tapi tak lama gasing milik lelaki asing itu lebih dahulu berhenti.

Posisi berubah. Sekarang giliran Ahmad membuat serangan. Begitu gasingnya menukik, gasing lawan terbelah menjadi delapan bagian. Para penonton berseru kagum. Tetapi, dengan cepat keping-keping gasing menyatu, lalu berubah menjadi gasing berukuran raksasa.

Ahmad sejak tadi menyadari lelaki itu bukan orang biasa. Lelaki yang baru muncul lalu membuat masalah, ia pastikan punya maksud tertentu.

Gasing Ahmad tiba-tiba membuat gerakan aneh. Gasing melompat sendiri tepat di bagian kepala gasing lawan yang telah berubah besar. Gasing lawan mendadak berhenti berputar, seolah mendapat tekanan sangat berat dari benda yang berada di atasnya.

“Kau menang, Ahmad. Taruhan itu kini milikmu,” kata lelaki itu mengakui keunggulan Ahmad.

Para penonton berdecak kagum. Mereka mengelilingi Ahmad dan memberi pujian.

Tiba-tiba terdengar pekikan seorang wanita. Suara Cornelia. “Tolong, Ahmad!”

Lelaki itu menyambar tubuh Cornelia yang sedang berdiri tak jauh dari kerumunan. Kejadian yang tidak terduga sama sekali. Terlihat bayangan berkelebat, lalu keduanya lenyap dari pandangan. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Berita Lainnya