Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Satu)

BERBAGI News – Lari lelaki asing itu lebih cepat dari anak panah yang lepas dari busurnya. Tetapi Ahmad tak menunggu lama untuk mengetahui ke mana arah penculik itu.

Lelaki yang memanggul tubuh gadis Belanda itu nampak terkejut mengetahui Ahmad sudah berada di hadapannya, di puncak Gunung Sasak. Ia melambaikan tangan seperti gerakan biasa, tetapi Ahmad sejak awal waspada. Gerakan melambai itu menciptakan udara bertekanan yang sangat panas. Kulit di sekujur tubuhnya terasa perih terbakar. Ia membuat sebuah putaran yang seketika memunculkan kabut sangat sejuk di sekeliling tubuhnya, sekaligus membuyarkan hawa panas di sekitar puncak gunung. Ahmad hendak menyusul dengan sebuah serangan. Namun ia segera tersadar, ia mesti lebih memperhatikan keselamatan Cornelia yang tak berdaya dalam panggulan lelaki itu.

“Serahkan botol tembikar itu, jika kau ingin gadismu selamat,” lelaki itu menghentakkan sebelah kakinya. Pengunungan itu berguncang dan bergemuruh. Seperti dilanda gempa dahsyat yang menyebabkan longsor di beberapa bagian di lereng pegunungan. Belasan pohon tumbang, tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sebatang pohon besar nyaris menimpa Ahmad yang berdiri gontai, bertahan agar tak rebah. Tetapi pemuda itu tak sekadar menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia menekan salah satu pijakannya, lalu serta-merta guncangan reda.

Tidak ada cara lain, ia membathin. Jika kekuatan pikiran dapat mengendalikan gerakan gasing, benda mati yang tadi dimainkannya, seharusnya akan berdaya guna ketika ditransfer ke sesuatu yang hidup. Ia pusatkan pikirannya, memindahkan separuh kekuatannya ke tubuh Cornelia. Tiba-tiba tangan gadis itu bergerak. Terdengar raungan kesakitan, ketika sebelah tangannya menyikut dada lelaki itu. Setelah ia berhasil melepaskan diri, ia lepaskan tendangan sebat, menghantam telak tulang rusuk lelaki itu. Tubuh Cornelia yang dialiri tenaga yang sangat dahsyat membuat serangan baru, namun ia melihat lelaki itu telah roboh muntah darah.

Ketika kesadarannya kembali pulih, dan ketika kekuatan itu telah meninggalkan tubuhnya, gadis itu menjerit kaget. “Ahmad, apa yang telah saya lakukan?” ia menubruk dan memeluk pemuda itu.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Empat Puluh Lima)

Di hadapan mereka lelaki itu pelahan bangkit sambil terbatuk-batuk. Ahmad tetap waspada. Ia meminta Cornelia berlindung di belakangnya.

“Betapa cinta menghasilkan kekuatan yang tiada terduga sama sekali. Cinta, kata yang sangat saya benci,” katanya. Ia menarik nafas dan kembali terbatuk.

“Beberapa murid saya tak berdaya menghadapimu,” lelaki itu menyebut beberapa nama. “Tapi jangan mengira saat ini saya telah takluk padamu.”

Ia memperkenalkan diri. Namanya Saburo Tsuyoshi. Ia lahir di tahun 1855, dua tahun setelah armada kapal hitam bersandar di Pelabuhan Uraga di Prefektur Kanagawa, Jepang. Kapal hitam menggambarkan warna yang lebih tua dan asap hitam yang keluar dari mesin uap berbahan bakar batubara. Kapal-kapal dari Mississippi, Plymouth, Saratoga, dan Susquehanna, yang berlabuh pada 14 Juli 1853, di bawah komando Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat. Kedatangan armada ini memaksa Jepang membuka isolasi terhadap dunia barat melalui Konvensi Kanagawa pada 1854.

“Tetapi orang-orang menjuluki saya si Anak Haram dari Hutan Aokigahara. Tradisi ubasute membuang orang-orang tua tak berguna di kaki Gunung Fuji. Tapi saya dibuang sejak baru dilahirkan.”

Saburo Tsuyoshi kini tersenyum. Senyum yang getir, ketika kembali menyebut cinta. “Ibu saya wanita ningrat dari garis keturunan josei tenno atau kaisar wanita, disebut juga kaisarina. Suaminya juga dari kalangan terhormat. Tapi ia menemukan cinta ketika bertemu ayah saya, seorang pendatang barbar. Saya ada dari hasil perselingkuhan itu. Buah cinta sesungguhnya. Cinta yang melahirkan saya sekaligus membuat saya terbuang. Sebab ibu saya akhirnya memilih tegaknya martabat, memilih pendamping yang tak dicintainya. Tetapi saya tak menyalahkannya. Saya juga tak menyalahkan suaminya dan ayah saya. Saya dendam pada cinta yang pada akhirnya membuat manusia menjadi lebih kejam daripada iblis.”

Di Hutan Aokigahara ia ditemukan sosok sesepuh jin yang lahir menjelang berakhirnya zaman es di Negeri Sakura, sebelum kebudayaan Jomon yang muncul sekitar 11.000 SM. Kebudayaan yang bercirikan mesolitik hingga neolitik, pembuat kerajinan tembikar terawal di dunia.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Sebelas)

“Hirasaki memungut saya di hutan. Mengangkat saya sebagai anak dan muridnya selama lima puluh tahun pertama. Ia jauh lebih tua daripada Ghalib. Bahkan saya katakan Hirasaki lebih sakti. Ia menyerahkan dua benda ini yang dulu diabaikan Ghalib.”

Ahmad terperanjat ketika Saburo memperlihatkan dua botol tembikar yang sama persis dengan benda yang ada padanya.

“Dua botol ini kosong, Ahmad. Tapi kosong bukan berarti habis sama sekali. Botol-botol yang masih memiliki kekuatan dari sisa cairan yang menempel. Saya perlu menunjukkannya padamu,” tangan Saburo membuka sumbat-sumbat botol.

Mendadak keadaan sekitar gelap gulita. Bumi kembali berguncang bahkan lebih hebat daripada sebelumnya. Udara dipenuhi aroma pekat harum gaharu. Ahmad dan Cornelia memandang di sekeliling mereka berdiri ribuan makhluk hitam menyeramkan. Berkali-kali cahaya halilintar membelah angkasa. Gelegar suara guruh seperti hendak menghancurkan tempat mereka berpijak. Tetapi suara-suara makhluk itu lebih dominan, membuat Cornelia menggigil ketakutan. Ia tak berani membuka mata. Pelukannya semakin erat di tubuh Ahmad. Ia merasa makhluk-makhluk itu semakin mendekati mereka. Tetapi keadaan tak berlangsung lama. Sesaat kemudian berangsur-angsur terang. Cahaya matahari leluasa menyorot dari arah barat.

Saburo telah menutup botol-botolnya.

“Dendam menjadi mimpi. Saya ingin membangun kekuatan bersama anak-anak yang terbuang. Saya ingin membangkitkan janin-janin yang terbunuh. Mereka yang teraniaya lantaran adanya cinta. Jasad-jasad yang disingkirkan, yang tak sempat dilahirkan selayaknya, anak-anak manusia yang tercipta dari hubungan gelap, anak-anak jadah, anak-anak hasil perzinahan, juga pemerkosaan. Saya ingin mendapat bantuanmu, Ahmad,” Saburo menatap tajam ke arah Ahmad, “Saya tidak serakah. Saya hanya meminta beberapa tetes dari cairan yang kau miliki di dalam tembikar. Saya butuh tetesan-tetesan itu untuk membangkitkan mereka.”

“Maafkan, saya Tuan Saburo. Saya memegang amanat untuk menjaganya. Insyaallah saya akan mempertahankannya semampu saya. Saya tidak akan biarkan walau setetes pun isinya berpindah tangan,” jawab Ahmad tenang.

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Belas)

“Termasuk kau memikul akibat bahwa kau akan kehilangan orang yang sangat kau cintai?” Saburo mengalihkan pandang kepada Cornelia. Kata-kata yang lebih tepatnya sebuah ancaman. “Ahmad, jangan bodoh. Saya tahu apa yang sudah kau lakukan selama ini. Ghalib hanya membuatmu menjadi korban pada suatu ketika. Ahmad, saya tidak memaksamu memberikan saya saat ini. Saya masih memberikanmu kesempatan. Sampai berjumpa lagi.”

Setelah mengucapkan itu Saburo lenyap seketika. Rimba Gunung Sasak hening beberapa saat. Matahari sebentar lagi tenggelam.

“Saya menggendongmu lagi, biar cepat sampai rumah. Orang-orang pasti sibuk lagi mencarimu,” ucap Ahmad.

Cornelia belum membuka mata. Ia kini merasakan tubuhnya dibawa melesat terbang. “Pelan-pelan, Ahmad, saya takut,” katanya.

Rabiyah mendengar suara di dalam kamar Cornelia. Ia membuka pintu. Betapa terkejutnya wanita itu ketika melihat gadis itu sedang berbaring di tempat tidur sambil berkata-kata seperti mengigau.

“Pelan-pelan, Ahmad. Pelan-pelan,” ucap gadis itu berulang-ulang.

“Ternyata Non Lia sudah di sini. Bangun, Non. Orang-orang ramai di luar. Mereka mencari Non Lia ke sana-ke mari.”

Cornelia seperti terbangun dari mimpi. Tetapi ia tidak bermimpi. Ia baru saja bersama Ahmad yang telah menyelamatkannya dari percobaan penculikan seorang lelaki asing. Ia bergegas menemui orang-orang di depan.

“Alhamdulillah, Non ternyata sudah di rumah. Tapi bagaimana bisa?” seseorang bertanya. Ia tak habis pikir.

“Sudahlah. Yang penting saya sudah selamat. Terima kasih, terima kasih, saya jadi merepotkan banyak orang,” kata gadis itu.

Orang-orang membubarkan diri. Waktu isya telah tiba.

Cornelia kembali ke kamar ditemani Rabiyah.

“Non tadi bilang, pelan-pelan, Ahmad. Hah? Jangan-jangan Non dan Ahmad sudah…”

“Kotor lagi, kotor lagi pikiran Inaq.”

Suara yang menjerit-jerit karena tergelitik itu mengusik Willem yang sedang duduk di ruang tengah. Pintu kamar Cornelia dibukanya. Ia berdiri terheran-heran.

“Ada apa kalian?”

“Anu, Tuan Muda. Non Lia tak sabar mau kawin.”

“Hah?”

“Bohong!” (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)