Noni Jembatan Ampenan (Bagian Enam Puluh Tiga)

BERBAGI News – Apakah ada tempat yang tenteram itu? Perang dan perang terus terjadi, berkecamuk di mana-mana. Seolah manusia tak membutuhkan lagi kehidupan yang damai. Atau barangkali alam memiliki kehendak lain. Bumi tak ingin lagi dihuni manusia. Sehingga banyak jiwa kini dirasuki kebencian dan kesumat yang menyala-nyala. Di bantai dan membantai. Setiap saat selalu ada manusia meregang nyawa

“Kita pergi ke Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, atau Selandia Baru. Kita bisa diterima di negara-negara itu, sebagai pelarian perang,” kata Willem.

“Kita ke Surabaya atau ke Batavia dulu. Dari sana kita tentukan ke mana tujuan kita,” usul Kathelijn.

“Dalam situasi saat Jepang sedang gencar-gencarnya menginvasi wilayah Hindia Belanda? Mohon maaf saya tidak bisa ikut. Saya kira Lombok adalah tempat teraman saat ini,” ungkap Cornelia.

“Sayangku, setidaknya kita sementara berada di tempat banyak saudara dan kerabat kita sebangsa. Ratusan ribu orang Belanda ada di Pulau Jawa. Dibanding di sini, kita punya jauh lebih banyak kawan berpikir di sana. Kawan-kawan yang sedang menghadapi problem yang sama,” ucap Kathelijn lagi.

Cornelia tidak menjawab lagi. Ia diam bukan lantaran menyetujui penjelasan dan alasan-alasan dua orang yang sedang duduk bersamanya.

Akhirnya, ucapan Willem menjadi sebuah kesimpulan di senja itu. Suaranya berat dan serak, seperti sedang memikul beban yang sangat berat.

“Adikku, saya, kami, tak dapat memaksamu. Saya memaklumimu. Saya tahu kamu tak mungkin meninggalkan Lombok. Kamu sudah merasa nyaman dan kerasan di sini. Tetapi sebagai saudaramu satu-satunya, saya mencoba memberi jalan keluar yang sebenarnya juga tidak bisa saya jamin apakah itu memang yang terbaik. Tapi saya tak bisa bertahan di tempat ini, saya mesti meninggalkan Lombok. Persoalannya, kesan orang, terutama ayah, pasti menganggap saya cari selamat sendiri, sebab kamu adalah adik saya yang sampai saat ini menjadi kewajiban saya memberikan perlindungan kepadamu. Namun saya tak peduli anggapan-anggapan itu. Hanya saya butuh sedikit penjelasan dari Ahmad, bagaimana ia bisa meyakinkan saya. Bukan saya bermaksud menyerahkan tanggungjawab. Tetapi saya ingin mendengarkan ucapannya, agar saya bisa sedikit lega meninggalkan pulau ini. Cornelia, saya menyayangimu, sampai kapan pun. Saya ingin kamu tetap senang, tenang, dan bahagia.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Tiga Puluh Enam)

Dua hari kemudian, puluhan orang mengantar keberangkatan Willem dan Kathelijn. Sebuah kapal yang akan menuju Surabaya tengah bersandar.

Agak menjauh dari dermaga Pelabuhan Ampenan, Willem dan Ahmad berdiri sambil membicarakan sesuatu yang nampak sangat penting. Di tempat yang terpisah, Cornelia dan Kathelijn saling berangkulan. Air mata nampak mengalir deras membasahi wajah-wajah kedua wanita Eropa itu.

Cornelia juga memeluk Raodah. Gadis kecil itu dibawa serta. Kathelijn telah mengangkatnya sebagai anak. Ibunya dengan berat hati mengijinkan ia pergi. Namun mengingat belakangan ini ia mulai sering sakit-sakitan, wanita yang nampak pucat itu merelakan Raodah dibawa janda yang tidak memiliki anak itu. Ia tak tahu sesuatu yang akan menimpanya di belakang hari. Ia mesti membuat keputusan demi masa depan anak satu-satunya.

*

Pada suatu siang di berugaq.

Cornelia sedang menemani Ahmad bersantap siang. Ia telah memasak semua hidangan yang diminta pemuda itu sehari sebelumnya.

“Bagaimana, enak?”

“Jangan tanya itu. Kamu bukan wanita Sasak. Tapi masakan Sasak yang kamu buat benar-benar…”

“Benar-benar apa, Ahmad? Rasanya bagaimana?” gadis itu tak sabaran.

“Rasanya…”

“Iya, rasanya.”

“Rasanya indah. Merasakan masakanmu, seperti menikmati puisi terindah.”

Gadis itu terdiam sejenak. Wajahnya merona merah sambil mengulum senyum. Bola matanya bersinar-sinar. “Jujur, Ahmad. Saya begitu bahagia mendengarnya. Kamu bisa aja. Tapi apa kamu hanya bermaksud menyenang-nyenangkan hati saya, menghibur saya? Saya yang kini sendiri, ditinggal pergi satu-satunya saudara. Entah kapan bisa bertemu lagi. Saya yang kini berada di sini tanpa sanak famili.”

“Menyenang-nyenangkan? Itu sama dengan mengatakan saya sedang berbohong. Kapankah saya pernah membohongimu?”

“Siapa tahu.”

“Sudahlah. Saya menunggu saat yang tepat. Saya kira ini waktu yang tepat. Saya ingin mengatakan sesuatu yang penting.”

Baca Juga :  Noni Jembatan Ampenan (Bagian Lima Puluh Tiga)

“Ada apa, Ahmad?”

“Apakah kamu siap mendengarnya?”

“Katakan saja.”

“Cornelia. Kita harus akhiri semua ini.”

Gelas di tangan Cornelia terjatuh. Isinya tumpah, membasahi karpet alas berugaq. Gadis itu merasakan dunia tiba-tiba gelap. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)