Prahara Omnibuslaw di Tengah Masyarakat

Opini794 Views

BERBAGI News – Undang – Undang Omnibuslaw telah diselesaikan oleh para Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ( DPR – RI ) bersama Presiden Republik Indonesia Bapak Ir H. Joko Widodo dalam waktu lebih kurang 100 hari pasca RUU ini dikeluarkan berdasarkan tantangan Presiden kepada anggota DPR RI dalam pidatonya waktu (kamis/16/01/2020).

Undang – Undang Omnibuslaw ini disebut juga sebagai Undang – Undang sapu jagat karena satu Undang – Undang ini menjadi payung hukum bagi beberapa sektor, dan Undang – Undang  ini bentuk dari pemangkasan penyederhanaan, dan penyelarasan merevisi 79 Undang – Undang dan mencangkup 1.244 pasal, serta merevisi Undang – Undang Pemerintah baik pusat, provinsi, dan kabupaten yang menghambat para investor masuk ke Indonesia menurut Presiden. Pemerintah melalui Undang – undang ini akan menargetkan 20 milyar dollar Amerika Serikat dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan Negara serta dengan membangun kerjasama bersama para investor.

Pasca dikeluarkan Rancangan Undang – Undang Ciptaker ini oleh Pemeritah Indonesia, telah menimbulkan kegaduhan Publik melalui opini dan kajian para pemerhati kebijakan dan hukum, bukan hanya itu RUU ini pun menyebabkan Prahara ditengah Masyarakat Indonesia, karena ada kekhawatiran disana kepada Undang – Undang ini yang disuarakan oleh para Akademisi, Praktisi, lembaga – lembaga, institusi, dan Ahli Kebijakan Hukum dan Undang – Undang. Berbagai elemen Masyarakat memandang Undang – Undang ini sangat terburuh – buruh diselesaikan, apalagi ditengah keadaan Covid – 19 belum juga ada tanda – tanda berakhir. Masyarakat menilai mengapa Pemerintah tidak focus terhadap Covid – 19 dan memperhatikan Masyarakat yang di PHK akibat adanya Covid 19 ini, serta PSBB yang diterapkan Pemerintah menyebabkan Masyarakat harus dirumahkan.

Bukan hanya itu saja, bahwa proses pembuatan Undang – Undang ini ( LawMakingProses ) sangat tidak etis secara konstitusi  ( NonConstitutional Ethics ) karena pemabahasan rancangan Undang – Undang ini sangat minim dan tidak melibatkan Aspirasi para Masyarakat dan berbagai elemen lainnya ( StakeHolder ). Jika kita melihat pada konstitusi kita sangat jelas secara Peraturan Perundang – Undangan khususnya pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan adalah melibatkan Pertisipasi Masyarakat dalam pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, dan ketentuan lain – lainnya yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan Lembaga Negara serta Pemerintah lainnya.

Baca Juga :  Kualiatas Wakil Rakyat dan Patologi Legislasi

Pada pasal 5 huruf g secara tegas menyatakan pembentukan peraturan perundang – undangan yang baik berdasarkan azas keterbukaan. Bisa dikatakan RUU Omnibuslaw cacat procedural ( Formil ), sehingga membuat masyarakat bertanya – Tanya RUU ini untuk siapa, dan memihak kepada siapa, ada kecurigaan pada Masyarakat banyak sehingga melukai dan membuat Masyarakat kecewa atas RUU Omnibuslaw ini.

Dalam RUU ini ada beberapa klaster, yakni terkait dengan Penyerdehanaan Perizinan Berusaha, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahaan Pemberdayaan & Perlindungan UMK-M, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset & Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sangsi, pengadaan lahan, investasi dan proyek Pemerintahan, Kawasan Ekonomi.

Hal yang krusial dan menjadi polemic dan permasalahan yang tidak bisa diterima oleh Masyarakat banyak, misalnya dari para Kaum Buruh yang menyoroti beberapa poin. Salah satunya adalah tentang Upah Buruh, dalam RUU Ciptakerja klaster ketenaga kerjaan telah memangkas faktor Inflasi sebagai salah satu faktor yang menentukan kenaikan pengupahan pada Buruh.

Menurut SUSIWIJONO MOEGIARSO  sebagai Sesmenko Perekonomian mengatakan bahwa pengupahan tidakkan akan turun, dan menyesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi di daerah masing – masing. Penghilangan Faktor Inflasi merupakan pengamputasian pada Hak Buruh.

Secara jelas Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan No 78 Tahun 2015 pasal 44 yaitu dalam hal menentukan upah untuk kenaikan upah minimum rumusnya faktor Inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi RUU Omnibuslaw ini menghilangkan Inflasi. Faktor Inflasi sangat penting pada pengupahan Buruh,agar Karyawan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan juga ini melukai Upah minimum di provinsi – provinsi atau daerah yang pertumbuhan ekonominya rendah tetapi inflasinya tinggi. Dan ada potensi para pengusaha membayar upah Buruh itu dibawah upah minimum, pasal 91ayat (1) Undang – Undang Ketenagakerjaaan N0 13 2003 dihilangkan pada RUU Ciptaker ini.

Baca Juga :  Wujudkan Sumbawa Bersih dan Sehat, Mahasiswa Unsa Gelar KKN Gotong Royong Bersih Pantai

Terkait dengan Klaster ketenagakerjaan ada banyak permasalahan yang dan bersifat komprehensif, dan perlu pengkajian ulang dan mendalam lagi melibatkan aspirasi Masyarakat dalam RUU ini. Kemudian bukan hanya diburuh saja, Klaster Lingkungan juga tidak lepas dari sorotan pada Elemen Masyarakat, ada potensi Aneksasi dan penguasaan lahan oleh pihak pihak dari luar melalui RUU ini.

Pada Undang – Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Persetujuan Lingkungan, pasal 69 ayat (1) huruf a sampe j, terjadi penyimpangan yang sangat mendasar dengan RUU Draft Ciptaker Februari 2020, dan disetujui oleh Panja 13 Agustus 2020 dengan kesepakatan bahwa ayat (2) UU 32 pasal 69/2009 dihidupkan kembali.

Namun pada UU Omnibuslaw ketentuan ayat (2) tetap dihapus, dan perubahannya berupa pada termonilogi “ Izin lingkungan “  menjadi “  Persetujuan lingkungan “  pada ayat (1) huruf (g). Menghapus ayat (2) tentang pertimbangan kearifan lokal dalam menerapkan pembukaan lahan dengan cara bakar. Dari adanya penghapusan pengecualian  larangan membakar ini, ada potensi terjadinya kriminalisasi pada masyarakat lokal yang membuka lahan dengan cara tradisional, dan mengakibatkan memindahkan sangsi tanggung jawab hukum koorporasi yang membakar hutan, kepada masyarakat lokal. Mengingat catatan KLHK Korporasi paling banyak membuka lahan dengan cara dibakar.

Kesimpulan penulis pada tulisan ini, bahwa dalam perancangan, dan penyusunan RUU Ciptker ini masih banyak terdapat tumpang tindih dengan Undang – Undang yang lama pada pembagian beberapa klaster pada RUU ini. Memahami bahwa RUU ini merupakan induk dari Undang – Undang berbagai sektor didalam pasal per pasalnya, RUU ini masih terdapat pasl yang tidak tereksplikasi dengan baik dan bersifat multitapsir.

Baca Juga :  PKKMB Unsa , Rektor: Momentum Membangun Militansi dan Idealisme Civitas Akademika

Pemerintah dalam hal ini para DPR – RI dan Presiden Repulik Indonesia harus meninjau kembali Undang – Undang Omnibuslaw ini, para Ahli menilai dibalik Undang – Undang Ciptaker ini lebih mementingkan Korporasi  dan Investasi yang melanggar HAM dan Lingungan,berdampak pada kedaulatan Negara, tidak menutup kemungkinan jika RUU menjadi Undang – Undang maka akan terjadi konflik yang besar pada bangsa ini. Terlihat pula bagaimana Peraturan Pemerintah menjadi hal yang sangat Dominan dalam mengatur undang – Undang Ciptaker ini, masyarakat menilai dengan serius bahwa ada konsentrasi kekuasaan yang besar pada Pemerintah Pusat dan menghilangkan asas Desentralisasi pada daerah.

Sejauh ini Pemerintah tidak berani mempublikasikan draft Undang – Undang Ciptaker ini kepada Publik setelah sudah di selesaikan oleh DPR – RI dalam pembahasannya, dan tidak ada sosialisai dan transparansi terhadap isi pasal serta nilai filosifis, historis, dan yuridis atas Undang – Undang Omnibuslaw ini.

Harusnya Pemerintah bukan sibuk memberi pembelaan dan mengarahkan Opini Publik pada normatif hukum untuk menolak Undang – Undang Ciptaker ini, karna Publik memahami bahwa terjadi cacat hukum pada perancangan, dan penyusunan, terhadap Undang – Undang Ciptaker ini. Maka dengan adanya Penolakan dari berbagai Daerah yang dibuntuti dengan aksi Cheos dar pada Masyarakat dan berbagai elemen yang turun kejalan hari ini, Perpu jalan terbaik pilihan Pemerintah untuk meredam dan menyelamatkan Negara dari kekacauan. (Selvianti).