Kualiatas Wakil Rakyat dan Patologi Legislasi

Opini1034 Views

BERBAGI News – Pada tanggal 8 oktober 2020, kita dikejutkan dengan unjuk rasa mahasiwa dan buruh di seluruh wilayah Indonesia, aksi ini adalah respon mahasiswa dan buruh yang menganggap Undang-Undang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat marginal dan buruh. Unjuk rasa yang seperti ini adalah hal yang lumrah dan wajar dalam negara demokrasi. Karena masyarakat, mahasiswa dan buruh juga sedang menegakkan kedaulatan rakyat dan cita-cita dari berdirinya repubilik ini.

Dalam tulisan ini penulis akan mengulas dalam kajian politik dan kebijakan negara, mulai dari fungsi dan cita-cita bernegara, fungsi lembaga negara dan patologi legislasi.

Kita ketahui semua negara pasti memiliki cita-cita termasuk negara Indonesia, secara teori dalam kajian ilmu negara, negara adalah organisasi yang menguasai wilayah dan sekelompok orang di dalamnya. Lebih dari itu orang-orang dalam suatu negara dipersatukan dalam tujuan bersama, sehingga terbentuknya tujuan negara republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dalam seluruh tumpah darah Indonesia, memajukkan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melasanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamain abadi, dan keadilan sosial.

Ada pula tujuan negara menurut Harold J. Laski adalah menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan mereka secara maksimal. Tujuan negara merupakan suatu pedoman dalam menyusun dan mengendalikan alat perlengkapan negara serta mengatur kehidupan rakyat.

Terdapat tiga organ alat kelengkapan negara, sebagai lembaga utama. Dalam kontek negara Indonesia yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda.

Lembaga legislatif merupakan lembaga atau dewan yang mempunyai tugas serta wewenang membuat atau merumuskan UUD yang ada di sebuah negara. Selain itu lembaga legislatif di artikan sebagai lembaga legislator, yang mana jika di negara Indonesia lembaga ini di jalankan oleh DPD (Dewan Perwakilan Daerah) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Lembaga tersebut memiliki tugas masing masing yakni tugas DPD mengajukan rancangan UUD yang memiliki kaitan dengan otonomi daerah serta bertugas dalam mengawasi pelaksanaannya. DPR bertugas memegang kekuasaan dalam hal pembentukan UUD. Tugas MPR mengubah serta menetapkan UUD.

Baca Juga :  Prahara Omnibuslaw di Tengah Masyarakat

Lembaga yudikatif adalah lembaga negara yang tugas utamanya sebagai pengawal, pengawas, dan pemantau proses berjalannya UUD, dan juga pengawasan hukum di sebuah negara. Di Indonesia, fungsi lembaga legislatif ini di jalankan oleh MA (Mahkamah Agung) yang memiliki kekuasaan kehakiman, kekuasaan ini adalah kekuasaan yang menyelenggarakan hukum yang adil. MK (Mahkamah Konstitusi) yang memiliki wewenang sebagai pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir yang mana keputusannya bersifat final untuk menguji UU. KY (Komisi Yudisial) yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga juga menegakkan keluhuran kehormatan martabat dan prilaku hakim.

Lembaga eksekutif dalam lembaga negara yang menjalankan roda pemerintahan guna pemenuhan kebutuhan rakyat yang di pimpin oleh seorang presiden, disamping itu juga presiden dalam kapasitas kepala negara dapat membuat perjanjian dengan negara lain, serta fungsinya yang lain bersama-sama dengan DPR membuat UU.

Fungsi legislatiflah yang hari ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat, sebagian masyarakat melihat rendaknya kualitas legislasi kita, hal ini dapat kita lihat dari produk UU yyang diajukan oleh DPR dan Presiden ada kecendrungan menjauh dari cita-cita negara dan mencederai mandat dan aspirasi masyarakat. Tidak dapat difungsi proses legislasi sangat kental dengan proses politik dan kadang kala terjadi proses ekonomi (perdagangan).

Kualitas anggota DPR atau wakil rakyat sangat mencerminkan kualitas legislasi dalam formulasi peraturan perUndang-undangan nantinya. Seharusnya hukum dan kebijakan negara dihajatkan menjawab masalah dan perderitaan rakyat, karena kentalnya kepentinya eleti politik dalam proses legislasi, sehingga tidak dapat dihindari lahirnya kebijakan yang “tidak bijak” yang kemudian menjadi masalah yang melahirkan pederitaan rakyat. Artinya proses politik yang tidak memperhatikan citi-cita nasional aspirasi dan kepentingan rakyat, akan melalahirkan patologi legislasi atau legislasi dan formulasi hukum yang menyengsarahkan rakyat.

Dalam kasus UU Cipta Karja, Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU cipta kerja kepada DPR pada rabu, 13 Februari 2020. Draf RUU cipta kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab dan 174 pasal. Draf itu mudah di dapatkan melalui aplikasi percakapan online, tetapi ironisnya tidak ada satupun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf maupun naskah akademik RUU cipta kerja.

Baca Juga :  Dor To Dor, Mahasiswa KKN Unsa Sosialisasi Manfaat Vaksin Covid-19

Hal tersebut melanggar salah satu prinsif pembentukan peraturan perundang-undangan yang di atur dalam pasal 5 huruf g UU 12/2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebar luaskan RUU sejak tahap penyusunan. Tidak tersediah kanal resmi untuk mengakses RUU cipta kerja menjadikan ruang partisapasi masyarakat merupakan hak yang di jamin dalam pasal 98 ayat (1) UU 12/2011.

Proses penyusunan draf RUU cipta kerja yang di lakukan pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elite, seperti kepala daerah dan asosiasasi pengusaha. Di sisi lain DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Adanya gelombang penolakan publik tidak membuat DPR kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, jumlah anggota DPR justru mengeluarkan pernytaan yang terkesan memberikan karpet merah kepada pemerintah bahwa mereka akan segera mengesahkan RUU cipta kerja menjadi UU.

Draf RUU cipta kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan perundang undangan, yaitu asas kejelasan dan asas dapat di laksanakan. RUU cipta kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya, percantuman pasal perubahan langsung di gabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya. Mengingat pasal pasal yang harus di refisi berasal dari 79 UU, seharusnya menyusun RUU cipta kerja menggunakan standar yang sudah di atur dalam uu No. 12/2011. asas kedua yang berpotensi di langgar adalah asas “dapat di laksanakan”.

Hal ini terlihat dalam pengaturan pelaksanaan dari UU yang sudah di ubah oleh RUU cipta kerja harus di sesuaikan dengan RUU cipta kerja yang mengatur bahwa peraturan plaksanaan dari UU yang sudah di ubah oleh RUU cipta kera yang mengatur bahwa peraturan pelaksanaan.

Kepada pemerintah atas UU cipta kerja “Di masa pandemi ini semestinya harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan DPR untuk mencari solusi atas pandemi. Justru jadi pilihan strategis untuk meloloskan RUU cipta kerja. Masyarakat juga menolak di sahkan RUU cipta kerja karena di anggap prestasi sebab bertentangan dengan keinginan rakyat, dan merugikan mereka yang merupakan kelas pekerja.

Baca Juga :  Pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Spirit Civitas Akademika FH Unsa Mengisi Hut RI ke-76

Masyarakat menganggap pemerintah dan DPR tak mempedulikan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu masyarakat mulai resah dengan DPR dan pemerintah karena menegakkan UU cipta kerja yang merugikan kaum buruh dan petani. Masyarakat mengharapkan UU cipta kerja di hapus karena parah buruh di bayar tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Oleh sebab itu masyarakat melakukan tindakan unjuk rasa (demo) dan pada aksi itu mereka menolak pengesahan RUU cipta kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja.

Harapan masyarakat terhadap lembaga lembaga yang ada di Indonesia harus mempenuhi harapan rakyat dan lebih mementingkan kepentingan rakyat, dan anggota-anggota DPR tidak membuat UUD yang memberatkan masyarakat kalangan petani, buruh, nelayan, dan pekerja-pekerja lainnya, anggota DPR harus menegakkan keadilan bagi rakyat-rakyat yang ada di Indonesia serta lebih mementingkan rakyat tanpa membedakan kalangan yang miskin dan kaya, karena negara kita ini adalah negara yang demokrasi, dan semoga DPR membuat UU yang tidak merugikan masyarakat kalangan petani, buruh maupun nelayan.

Tentu kita semua berharap kepada parlemen karena sudah semestinya para legislator memperjuangkan hak rakyat dan harapan saya terhadap anggota DPR jangan hancurkan kepercayaan rakyat karena kepercayaan rakyat itu sangat mahal harganya. Karena pada dasarnya kalian lah yang mengemis suara dari masyarakat dengan kalian mengimingkan visi misi yang hanya sekedar janji yang tidak terbukti bahkan kalian mempersulit parah buruh, tani, dan nelayan, bagaimana negara kita negara Indonesia menjadi negara maju kalau anggota DPR hanya mementingkan diri mereka masing-masing tanpa memikirkan kehidupan rakyatnya.

Ayolah kita berkerja sama agar negara kita menjadi negara yang maju dan dapat bersaing dengan negara-negara lainnya tanpa adanya campur tangan dari orang asing. (Dedi Setiadi).