Rindu Sekolah Dilema Covid-19

Berita, Opini809 Views

BERBAGI News – Pandemi Covid-19 telah merubah pola dan perilaku kehidupan sosial masyarakat. Orang tua yang memiliki anak mulai merasakan betapa sulitnya memberikan pendidikan berkualitas untuk anaknya sendiri. Sementara para Guru merasa bebannnya sedikit berkurang memberikan pengajaran terhadap peserta didiknya, tapi tidak bagi anak-anaknya sendiri. Karena kontrak sosial selama pandemi itu, secara tidak langsung mengembalikan amanah pendidikan dan pengajaran kepada orang tua biologisnya di rumah.

Selama pandemi, pemerintah membuat aturan supaya peserta didik belajar di rumah masing-masing di bawah bimbingan orang tua mereka. Orang tualah yang menjadi Gurunya. Aturan pemerintah itu, tidak serta merta membuat keluarga enjoy dan dapat menjalankan proses pendidikan dan pengajaran secara baik. Bahkan, ada di antara mereka merasa menjadi beban tersendiri.

Penerapan konsep belajar dari rumah yang ditetapkan pemerintah membuat para orang tua dilematis. Satu sisi, ingin melihat anak-anaknya pintar di sekolah dan sukses hidupnya. Namun, di sisi yang lain, orang tua memiliki keterbatasan untuk menyediakan imprastruktur yang layak bagi anak-anaknya. Karena kemampuannya memang terbatas. Akibatnya belajar dari rumah gagal dengan berbagai alasan.

Anak-anak sendiri, disebabkan oleh teknologi yang berada di jantung keluarga malah membuatnya lost control. Mereka lebih asyik bermain game dengan berbagai konten menarik di bandingkan harus belajar materi pelajaran yang menjemukan.

Psikologis anak mengalami pergeseran terkait minat belajar dan membaca. Anak-anak lebih senang menonton dan bermain game ketimbang membaca huruf pada lembaran kertas pelajaran sekolahnya. Karena asyiknya, anak-anak kita seringkali lupa makan dan lupa waktu.

Akibatnya para orang tua, mulai resah memikirkan perubahan perilaku anak-anaknya. Tidak sedikit dari orang tua yang seringkali marah-marah melihat perilaku anak-anaknya. Sementara reaksi si anak terkadang cengengesan dan pergi meninggalkan orang tuanya yang ngedumel seraya berkata “sili-sili dik” artinya marah saja kerjanya.

Baca Juga :  HMI, Pelantikan Komisariat Ushuludin UIN Mataram

Dalam perspektif psikologi sosial pandemi covid-19 telah mempengaruhi pola hubungan dalam keluarga inti masyarakat. Kondisi tersebut tentu saja, kalau dibiarkan akan membuat hubungan orang tua dan anak-anaknya dalam situasi perang dingin. Situasi dan kondisi ini sedang terjadi saat ini di tengah mewabahnya Covid-19.

Syahdan, saya kedatangan tamu (wali santri) yang bekesah tentang satu anaknya yang sulit dinasehati padahal masih dalam pendidikan pesantren. Sejak pulang dari pondok, anaknya jarang keluar rumah, jarang makan, dan hand phone tidak pernah lepas dari tangannya. Berkali-kali dinasehati tapi tetap saja tidak berubah.

Kalau urusan ibadah tentu tidak pernah alfa dan selalu membaca al-Qur’an habis shalat maghrib dan terkadang habis shalat subuh kesahnya. Tentu saja, hal itu yang membanggakan kami sebagai orang tua. Memang tidak mudah menjadi orang tua zaman sekarang, katanya. Kami, “jero matik gitak tulak jok pondok kanak hino ketimbang ngonek leq bale”. Kami, sangat ingin lihat, lebih cepat balik ke pondok dari pada di rumah terlalu lama.

Keluh kesah serupa juga dialami oleh wali santri lainnya. Seorang wali santri bercerita tentang anaknya yang kuat sekali tidur. Ia sangat heran terhadap anaknya yang bisa tidur seharian. Bangun tidur sekedar untuk shalat dan makan. Setelah itu, ya tidur lagi. Apa tidak pusing atau sakit kepala, kesahnya. Tapi, kalau malam hari seringkali tidur menjelang pagi, kesahnya.

Memang banyak sekali kesah orang tua tentang anaknya di masa pandemi covid-19. Ringkasnya dari kesah-kesah itu, dapat diambil satu benang merah, bahwa mendidik dan mengajar anak di rumah selama pandemik tidak mudah dan cendrung tidak bisa dilakukan. Bagi sebagian anak-anak mengatakan bahwa di rumah tempat istirahat dan bermain, bukan tempat sekolah. Saya tidak tahu, apa yang ada di benak dan pikiran anak-anak kita.

Baca Juga :  Memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Meningkatkan Martabat Bangsa

Jadi belajar dari rumah selama Covid-19 dapat dikatakan gagal dalam memberikan materi pembelajaran. Memang pada awalnya, anak-anak kita mengikuti materi pembelajaran dari TVRI tapi hanya bertahun tiga empat kali pertemuan. Setelah itu, mereka lebih memilih bermain bersama temannya.

Siapa yang harus disalahkan? Ya, tidak ada yang salah. Anak-anak tidak mungkin disalahkan, apalagi tidak ada evaluasi oleh bapak/ibu gurunya terkait materi yang diajarkan di TVRI.

Realitas tersebut membuat orang tua merindukan kehidupan kembali normal sehingga anak-anaknya bisa cepat kembali ke bangku sekolahnya. Daripada di rumah malah tidak produktif dan kerjanya hanya bermain game, tiduran, dan menonton Televisi.

Kesah dari beberapa orang tua wali santri tersebut merupakan realitas hidup di masa pandemik Covid-19. Hanya saja, kita perlu khawatir bahwa realitas itu justru mempertajam kesan terkait menipisnya tanggungjawab orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.

Selama ini, kita maphum bahwa di Indonesia beban pendidikan serta merta dioperkan ke sekolah semenjak anak-anak itu didaftarkan di sekolahnya. Biarlah sekolah atau madrasah yang bertanggung jawab pada pendidikan anak-anaknya. Orang tua tinggal berleha-leha saja. Mereka pasrah “bongkokan” kepada sekolah. Terserah anaknya mau dijadikan apa nantinya. Pokoknya pendidikan itu urusan sekolah.

Mentalitas orang tua yang tidak mau repot dengan pembinaan dan pendidikan anaknya merupakan titik kritis pelemparan tanggung jawab itu terjadi. Ini sangat berbahaya dalam konteks pendidikan partisipatif di era demokrasi sekarang.

Realitas kepasrahan total orang tua kepada sekolah sekolah melahirkan lelucon dari kalangan pendidik. Sekolah katanya, hanyalah tukang jahit, tempat orang tua menjahitkan anaknya. Model atau potongannya seperti apa diserahkan ke sekolah. Tapi kalau model dan potongan tidak sesuai dengan selera walinya, ya, wali tinggal marah saja”. Suka duka pendidikan tidak berproses dalam skema sinergi pendidik dengan orang tua wali.

Baca Juga :  Butuh Biaya Lumayan Besar Untuk Bebaskan Kampung Dari Sampah

Sungguh realitas itu, bertentangan dengan prinsil pedagogi dan etika pendidikan yang paling dasariah. Sebab pada dasarnya, pendidikan itu adalah harta, warisan dan cita-cita yang dimiliki oleh seluruh masyarakat. Dalam arti ini, pendidikan juga bermakna “bonun commune”. Sebab pada pendidikan tergantung masa depan masyarakat, baik dalam hal material maupun nilai-nilai spiritual.

Pendidikan di sekolah sejatinya, bukanlah pengganti pendidikan di rumah. Para ahli pendidikan mengatakan bahwa pendidikan pada awalnya justru harus dimulai di rumah. Anak-anak pertama kali diperkenalkan oleh orang tuanya dengan huruf dan merangkai kalimat, bukan di sekolah. Pendidikan di sekolah dengan demikian sebagai pelengkap akan apa yang tidak bisa diberikan di rumah.

Virus Covid-19 pada aras ini, mendorong bahkan memaksa kita untuk menghayati kembali peran pengajaran awal yang ditorehkan kedua orang tua kita sejak dini. Kita merindu pengajaran dan pendidikan berdasarkan cinta dan kasih sayangnya. Huruf demi huruf diajarkan lalu terangkai indah menjadi kalimat cinta menyebut nama “Amaq, Ayah, atau Bapak”. Ibu lah yang mengajarkan kalimat itu kepada anaknya. Setelah sebutan itu fasih dilafalkan, baru kemudian diajarkan mengeja kata “Inaq atau Ibu”. Keduanya kalimat cinta yang diajarkan Bunda untuk anak-anaknya.

Pendidikan cinta dan kasih sayang bermula di rumah dalam keluarga kita. Jangan pernah meninggalkan pengajaran di rumah dengan menyerahkan pengajaran dan pendidikan anak-anak kita hanya ke sekolah. Keduanya harus bersinergi untuk melahirkan generasi cerdas yang penuh cinta dan kasih sayang, baik di dunia ini maupun kehidupan masa depan bahagia dan abadi. Peserta didik rindu sekolah tapi masih terkendala Covid-19. kapan donk kami bisa sekolah lagi, kata anak saya yang masih sekolah di Sekolah Dasar Negeri.

wallahul Musta’an ila Darissalam