Mutu Pendidikan Anak Menurun, Perlukah Sekolah Tatap Muka Dibuka Kembali?

Opini, Pendidikan888 Views

Oleh: Wira Sura Panggi
Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Universitas Mataram

BERBAGI News – Metode pembelajaran jarak jauh resmi diterapkan pemerintah sejak dikeluarkannya surat edaran menteri pendidikan Nadiem Makarim pada 9 Maret 2020 kepada dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, dan lembaga pendidikan terkait diseluruh Indonesia dalam rangka mencegah penularan covid-19.

Berbagai pertimbangan dan perencanaan telah dilakukan pemerintah untuk menerapkan metode ini dalam mendukung ikhtiar pemerintah memutus rantai penyebaran covid-19.

Tinginya kasus infeksi virus corona di Indonesia sejak Maret 2020 membuat semua lini kehidupan menjadi berubah drastis dengan ketidakpastian yang melanda, tidak terkecuali bidang pendidikan ditanah air.

Metode pembelajaran jarak jauh menggunakan sistem dalam jaringan telah membuat mutu pendidikan anak menjadi menurun disemua jenjang, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Proses adaptasi masih berlangsung mengenai sistem ini, karena metode pembelajaran seperti ini dirasa masih baru dikalangan pelajar kita.

Budaya literasi masyarakat Indonesia yang masih rendah menjadi masalah ketika menerapkan sistem pembelajaran seperti ini, karena penekanan dalam metode ini yaitu kemandirian belajar. Dimana kita ketahui bersama bahwa mentalitas peserta didik kita yang sudah terbiasa menerima pendidikan melalui proses belajar mengajar dikelas dengan tekhnik pemberian materi dan tugas-tugas sekolah.

Dalam pola pikir mereka penyampaian materi yang lebih banyak dilakukan guru, maupun dosen bagi mahasiswa sangatlah lebih memberikan pemahaman daripada belajar secara otodidaks. Hal ini tentunya menjadi masalah klasik yang muncul kepermukaan baru-baru ini. Mengapa tidak, untuk membaca materi saja terkadang peserta didik butuh kesadaran tersendiri dalam diri mereka bahwa membaca itu penting bagi masa depan dan capaian hasil belajar mereka. Kebiasaan peserta didik dalam menunutut ilmu seperti ini membuat mutu belajar menurun ketika diterapkannya sistem daring sejak covid ini berlangsung diIndonesia.

Selain itu, peserta didik yang duduk dibangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama belum mampu menguasai atau bahkan belum mempunyai teknologi informasi secara massif yang digunakan dalam metode belajar jarak jauh, dikarenakan sebagian besar orang tua mereka memberikan handpone dan sejenisnya tanpa mengontrol apa yang dilakukan anak ketika menggunakan teknologi informasi tersebut.

Baca Juga :  Dampak Perubahan Iklim pada Perubahan Sosial di NTB, Bagaimana Pandangan Sosiologi?

Untuk itu di tahun 2021 pemerintah merencankan membuka sekolah tatap muka diseluruh Indonesia dengan ketidakpastian yang terus membayangi. Mengingat gelombang kedua virus corona di Indonesia baru dimulai, kemudian proses vaksinasi masih tabu walaupun akan dilakukan dalam waktu bersamaan dengan dibukanya sekolah tatap muka. Jadi, perlukah sekolah dibuka dengan pertimbangan mutu pendidikan anak yang terus menurun dimasa covid atau sekolah dalam jaringan akan terus berlangsung dengan pertimbangan klaster-klaster baru yang terinfeksi virus corona terus bermunculan dan program vaksinasi yang masih banyak terkendala?

Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) menerima 213 pengaduan pembelajaran jarak jauh selama kurun waktu tiga minggu, terhitung sejak 16 maret hingga 9 april 2020.

Mayoritas pengaduan terkait dengan beratnya penugasan yang diberikan guru kepada siswa. Hal ini membuat tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh ditengah merosotnya semangat belajar peserta didik dimasa pandemi.

Selain itu, konsep pembelajaran jarak jauh masih sangat sulit untuk diterapkan saat ini, hal ini dikarenakan terkendala akses dan fasilitas bagi peserta didik yang tinggal di pedesaan dan jauh dari wilayah perkotaan dengan kelengkapan sarana penunjang pembelajaran onlinenya. Sarana jaringan internet juga sangat terbatas, meskipun pada bulan September pemerintah memberikan subsidi kuota belajar, akan tetapi akses untuk kesemua situs masih terbatas dan tidak sampai 10 GB/bulan.

Kebanyakan diberikan kuota untuk mengakses aplikasi seperti zoom metting, dan google meet. Subsidi kuota yang terbatas ke semua situs ini membuat peserta didik masih harus mengeluarkan uang untuk membeli kuota tambahan, hal ini dikarenakan bagi peserta didik yang notabene bermain medsos pasti terkuras kuotanya untuk hal tersebut tanpa mempertimbangkan apa yang mereka akses berhubungan dengan pendidikan.

Baca Juga :  Refleksi Satu Tahun Pandemi Covid-19: Meningkatkan Kewaspadaan Diri

Golongan pelajar yang tidak mempunyai gawai juga sangat banyak, dengan begitu pemerintah harus memberikan subsidi gawai selain kuota apabila pembelajaran jarak jauh tetap dilaksanakan pada tahun 2021 nanti.

Terlepas dari tidak efisien dan efektifnya pembelajaran jarak jauh yang masih memiliki kendala mengenai sarana dan prasarana, kasus positif virus corona telah memasuki gelombang kedua. Klaster-klaster baru terus bermunculan yang diakibaatkan oleh ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan seperti sosial distancing, menggunakan masker, mencuci tangan, dan kebiasaan-kebiasaan baru lainnya.

Beberapa pekan terakhir Indonesia mengalami beberapa peristiwa yang patut kita waspadai terkait munculnya klaster-klaster baru positif corona, diantaranya yaitu aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh yang menolak pengesahan undang-undang cipta kerja yang dinilai merugikan kelas buruh, dan perhelatan pemilihan kepala daerah serentak yang masih menggunakan metode seperti biasa dengan kampanye lapangan dan pemilihan melalui kotak suara di TPS.

Dalam kaitannya dengan dibukanya kembali sekolah tatap muka, perlu dipertimbangkan kembali mengenai apa yang terjadi beberapa tahun kedepan, meskipun vaksin telah ditemukan dan telah mencapai uji klinis tahap akhir, tapi belum mampu menjangkau semua elemen masyarakat dari 268.583.016 juta jiwa penduduk Indonesia hannya 160 juta jiwa saja yang akan diberikan vaksin.

Penurunan mutu pendidikan anak peserta didik ketika pembelajaran daring diberlakukan pada masa pandemi covid-19 tidak bisa kita pungkiri. Hal ini menjadi permasalahan yang harus diselesaikan bersama dengan pertimbangan yang matang dan kordinasi dari lembaga terkait.

Pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin dalam memberikan yang terbaik berupa pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Akan tetapi, tidak cukup sampai disitu pembenahan dalam rangka perbaikan kualitas pendidikan dimasa pandemi harus dilakukan, mengingat berbagai kritik muncul dari kalangan intelektual mengenai sistem yang baru terbentuk ini. Kritik dan saran tersebut harus diakomodasi dan dipecahkan oleh pemerintah, salah satu kritik yang sering diungkapkan oleh para intelektual terkait hal ini yaitu pendistribusian kuota belajar bagi peserta didik, dimana para intelektual menilai pendistribusian kuota belumlah memberikan dampak signifikan bagi kualitas belajar pesserta didik. Peserta didik yang menerima kuota belajar rata-rata mengeluhkan kuota utama yang dinilai sedikit dan berdampak pada sedikitnya akses internet ke semua situs, hannya terfokus pada aplikasi tertentu.

Baca Juga :  Antisipasi Ledakan Covid-19, Gubernur NTB Anjurkan Masyarakat Tidak Mudik

Untuk itu pemerintah harus memperbaiki proporsi pendistribusian kuota dengan menambah kuota utama yang dapat mengakses berbagai situs dan laman, atau dapat membeerikan porsi yang sama dengan kuota untuk aplikasi tertentu seperti zoom, dan goggle meet.

Di sisi lain persoalan covid-19 yang memasuki gelombang kedua harus menjadi pertimbangan pemerintah jika ingin membuka kembali sekolah tatap muka yang dinilai kurang mampu memberikan kualitas belajar yang baik dari peserta didik.

Penerapan protokol kesehatan dalam menjalani kegiatan yang melibatkan massa menjadi pilihan terbaik, tidak menutup kemungkinan dilingkungan sekolah.

Penggunaan masker, mencucui tangan, dan jarak sosial harus difasilitasi oleh pihak sekolah dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona. Apabila PILKADA saja menjadi tidak tertunda akibat covid-19 lalu mengapa sekolah tidak dibuka?.

Alasan yang sering kita dengar adalah resiko tingkat penularan yang tinggi dari dibukanya sekolah dan dampak perekonomian yang rendah. Tetapi nasib bangsa dan Negara kedepan perlu diperhatikan juga mengingat kalangan peserta didiklah yang akan menjadi estapet pembangunan bangsa dan Negara ini, apabila mereka menerima pendidikan yang tidak bermutu lalu apakah mereka mampu melanjutkan pembangungan dinegri ini?. (wira)