Menjadi Manusia Sasak

Opini1349 Views

Oleh : Azis Meinudin
Mahasiswa Sosiologi Universitas Mataram dan Kader HMI Cabang Mataram

BERBAGI News – Secara umum suku sasak ialah orang yang mendiami pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan bahasa sasak sehari-harinya. Dalam sensus penduduk 2010,  Lombok yang memiliki luas daratan 5.435km/segi dengan jumlah populasi penduduk 3,167 juta jiwa. Berbicara tentang masyarakat Lombok dan sasak tidak terlepas dari keunikan dan ciri khas yang ada didalamnya. Secara luas Lombok dalam pikiran semua orang terlintas tentang pariwisatanya, kebudayaannya, dan juga keunikan lain. Selain daripada itu, orang Lombok yang dikenal dengan orang Sasak sebagai sebuah refresentasi bahwa gumi sasak sudah ada dari berabad-abad lalu.

Sejarah orang sasak di Lombok apabila kita mengacu pada  literatur yang ada banyak versi yang mengulas tentang sejarah Sasak. Riwayat asal-usul yang sering disebut silsilah ini jika dihubungkan antara satu trah keluarga dengan trah keluarga lainnya, akan ditemukan garis pertemuan yang menunjukan kesamaan asal usul dan ini akan menjadi alat pemersatu masyarakat. Dalam buku sejarah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), tim penulis menyepakati era zaman kuno dari abad pertama sampai abad 15. Berdasarkan naskah-naskah berupa babad dan cerita – cerita rakyat, disebutkan pada era itu sudah banyak pemukiman seperti desa Laeq, Pamatan, Suwung, Perigi dan lain-lain yang diidentifikasi sebagai pusat aristoraksi lokal. (Defikbud, 2002: 19).

Berbicara tentang masyarakat sasak tidak terbatas tentang sejarah, asal-usul yang ada. Silsilah dan karakter luhur yang tertanam dalam masyarakat menekankan identitas sebenarnya masyarakat Sasak di Lombok. Hal ini yang menjadi perbedan melihat beberapa aspek yang ada dan faktor yang berkembang sekarang ini. Saat ini sasak dikenal sebagai suku bangsa yang mendiami sebuah pulau Lombok dengan gunung Rinjani yang tergolong dalam jajaran gunung tertinggi dunia. Menjadi orang Lombok dan menjadi manusia sasak adalah salah satu refrensentasi pemaknaan hidup yang perlu kita tanamkan dalam diri manusia yang ada didalamnya. Mengarungi hidup dalam konteks sosial dan silsilah dalam kehidupan kesehariannya yang telah disusun dalam peradaban kita sekiranya sebuah implementasi pokok yang perlu di tuangkan dan mengerti.

Baca Juga :  Dilema Sistem Pembelajaran di Era New Normal

Menjadi Sasak  

Dalam hal ini H. Lalu Faturrahman dalam bukunya Kosmologi Sasak : Risalah Inen Paer, dengan begitu afik dia meletakkan sebuah poros penamaan jati diri seorang manusia sasak yang ada didalamnya sehingga esensi manusia Sasak dalam mengaitkan kehidupan sasak dan posisinya dalam  memuliakan kehidupan ini, baginya yang menjadi pertanyaan penting bukan terletak pada asal-usul kata Sasak. Melainkan mempertanyakan bagaimana menjadi orang Sasak? Biarkan sasak itu melekat menjadi sebuah nama layaknya bangsa Arab, Eropa, bangsa Cina, dan bangsa-bangsa lainnya. Bagaimanapun, bukan itu persoalan utama dalam mencari jati diri, tetapi bagaimana memandang manusianya secara utuh dan dilihat dari aspek kehidupan bangsa, Sasak secara sosiologis, filosofis, ideologis.

Menjadi Sasak secara genealogis bukanlah pilihan atau atas permintaan, tetapi takdir yang ditetapkan oleh Allah SWT. Proses sejarah panjang kemanusiaan telah mencatat bahwa Allah menunjukan salah satu rahasia kekuasaanya dengan menurunkan bani Sasak. Namun demikian, seseoarang yang berdarah Sasak tidak serta merta akan menjadi sasak dalam pengertian sikap dan perilakunya, sangat tergantung pada keluarga yang memberikan warna kepada anaknya. Berdarah sasak memang salah satu indikator untuk menjadi orang sasak, tetapi ia belum bisa dikenali, walaupun secara fisik mungkin ada ciri-ciri tertentu yang bisa diamati. Menguasai seluk beluk masyarakat dan budaya sasak, juga belum tentu bisa menjadikannya sebagai orang Sasak. Seseorang yang mahir berbahasa sasak, belum tentu juga ia menjadi orang Sasak. Sasak dalam hal ini adalah cara pandang, cara berfikir, cara merasa, cara bertindak dan bertingkah laku yang sesuai dengan jati diri sasak.

Memuliakan Kehidupan

Kesadaran diri sebagai makhluk Allah yang ditakdirkan hidup bersama makhluk-makhluk lain di gumi Sasak, melahirkan sikap, pandangan dan perilaku dalam mengelola kehidupan bersama yang dirumuskan dalam sistem adat atau dalam istilah umum disebut sistem kebudayaan. Sistem adat dan kebudayaan yang meliputi banyak aspek kehidupan yang diekspresikan dalam bentuk nilai, sistem sosial, dan sistem teknis. Dalam pengembangan nilai dasar Sasak adanya derivasi konsepsional dari hal yang bersifat dogmatis, menjadi filosofis teoritis dan pragmatis atau perilaku. Iman Islam yang bersifat Dogmatis, Iman, Islam, Ihsan adalah sumber motivasi nilai Sasak. Nilai tindih  yang berarti Istiqamah atau komitmen terhadap suatu perbuatan, konsep nilai maliq suatu perbuatan tercela yang dilakukan, akan mengurangi komitmen seseorang baik walaupun sedikit akan mengantarkan kepada perbuatan baik yang lain. Motivasi nilai Sasak dalam berperilaku gune yang  berarti menghindari pekerjaan yang sia-sia, gemet yang berarti rajin mengerjakan perbuatan baik.

Baca Juga :  Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Berkhasiat pada Pengobatan Tradisional

Dalam sistem sosial, atau tatanan masyarakat juga mengacu pada sumber motivasi yaitu iman Islam dan sistem nilai dasar dan nilai penyangga. Dalam satuan sistem sosial terkecil disebut bale langgaq (Rumah tangga) yang merupakan suatu lembaga yang bertugas melakukan transmisi dan transformasi dan transformasi nilai yang pertama dan utama. Lingkungan sistem sosial yang lebih besar disebut gubuk gempeng memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan bale langgak   dengan cakupan yang lebih luas. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing keluarga dalam satu gubuk gempeng memiliki tatanan nilai yang sama. Mendidik anak dengan cara yang sama dan masing-masing orang tua bersikap dan berperilaku tindih, maliq, dan merang dengan mengedepankan keteladanan.

Dalam sistem teknis, segala sesuatu dikerjakan dengan konsep kemanfaatan, mensejahterakan orang banyak, saling tolong, dikerjakan dengan ilmu pengetahuan dan keahlian (pergine). Apapun yang dikerjakan dengan konsep secukupnya (semaik), tidak berlebihan tetapi memenuhi standar kemanfaatan (logis), keindahan (estetis) dan mempertimbangkan batas nilai dan norma (etis). Dalam hubungan sesama manusia dan alam dan nilai yang digunakan adalah pemole (pemuliaan). Pemuliaan yang dimaksud ialah konsep hidup saling menghargai dan saling memuliakan melalui tatanan adat yang disebut adat tapsila yakni adat dalam pergaulan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan alam dibangun dengan sikap-sikap yang sama yaitu pemole atau pemuliaan yang dibangun dalam ritual-ritual ketauhidan.

Bagi orang sasak dalam memaknai hidup dan mempersiapkan kehidupan berarti memahami eksistensinya berada diatas dunia ini. Hidup adalah sebuah perjalanan mete langan ulek- mencari jalan pulang, dalam konteks ini perjalanan membutuhkan sangu (bekal) baik berupa material maupun bersifat non material seperti pengetahuan dan spiritual. Perjalanan pulang pun dirancang dengan sebaik-baiknya sehingga cukup kelak dalam perjalanan, perjalanan dirasakan nyaman dan yang terpenting ada oleh-oleh ketika sampai ke kampung halaman. Bekal pulang harus benar-benar dipersiapkan sehingga dalam peribahasa Sasak jangan sampai “oleq tunggang jaran kurus” pulang mengendarai kuda kurus. Semakin singkat waktu untuk mengurusi dunia, artinya semakin panjang waktu untuk menata keidupan akhirat. Sejauh ini berupaya mengerti banyak silsilah dan pemaknaan hidup dalam diri manusia yang bermanfaat, orang Sasak adalah sentral sosial dan empati sosial yang dibangun didalamnya. (meinudin)