Sabung Ayam Antara Keberkahan atau Penyakit Sosial

Opini910 Views

Penulis : Iwan Haryanto, S.H., M.H
Direktur PUSHAM Fakultas HUKUM, UNSA

BERBAGI News – Menguaknya persoalan sabung ayam atau adu ayam di kabupaten Sumbawa bukan menjadi persoalan baru di tanah intan bulaeng ini. Tetapi sudah lazim terjadi di tengah masyarakat kita. Pasalnya kegiatan adu ayam ini hampir seluruh desa menggelar kegiatan tersebut. Mungkin dikarenakan faktor histori struktur Kerajaan Sumbawa di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa pada tahun 1623 dimana Raja Gowa I Mangari Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tuminanga ra Gaukanna memberikan keistimewaan kepada Sumbawa untuk mempertahankan adat dan rapang Kerajaan Sumbawa (Dewi Fortuna Anwar, 2019). Menurut catatan Gilbert Hamonic bahwa kultur Kerajaan Gowa pada era Raja Gowa X Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tanipalangga Ulaweng pada tahun 1562 terkenal dengan mitologi sabung ayam (Gilbert Hamonic:1986).

Terlepas histori tersebut, dalam pergelaran sabung ayam berbagai macam ras ayam yang di adu dalam ajang bergengsi itu. Mulai dari ayam Bangkok, Birma, Segun, hingga perpaduan berbagai ras. Ini membuktikan bahwa ayam yang dipertaruhkan dalam kegiatan tersebut beranekaragam warna dan rasnya.

Namun dalam kehidupan masyarakat Sumbawa bahwa adu ayam atau sabung ayam dianggap penyakit sosial yang harus dihilangkan karena mengandung unsur judi di dalamnya. Sehingga marak dilakukan penertiban oleh pihak kepolisian terhadap kegiatan itu. Seperti yang terjadi di beberapa desa dan kelurahan di kabupaten Sumbawa, mulai dari desa Poto, BTN Bukit Permai Kelurahan Seketeng, Dusun Mengkoang Desa Lape, Dusun padak Desa Labuhan Sumbawa, dan masih banyak lagi desa yang menggelarkan kegiatan itu. (surantb).

Pembubaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian tentu didasarkan pengaduan masyarakat yang dianggap meresahkan. Selain itu aktivitas ini melanggar Pasal 303 KUHP Jo Undang-Undang No. 7 tahun 1974 tentang Perjudian, yang menyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian merupakan kejahatan. Sehingga di dalam pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah. Ini artinya bahwa aktivitas sabung ayam merupakan tindakan kejahatan yang di ganjar hukuman yang cukup berat, maksimal 10 tahun dan denda dua puluh lima juta rupiah.

Baca Juga :  Pendemi Berujung PHK, Perempuan dan Anak Jadi Korban Kekerasan

Walaupun aktivitas bergenGsi itu merupakan tindak kejahatan namun dalam kehidupan masyarakat tetap eksis dilaksanakan mulai dari menetapkan hari, waktu hingga tempat dilaksanakan.

Tak bisa di pungkiri kegiatan sabung ayam mampu menjadi magnet yang menghifnotis masyarakat banyak. Pasalnya kegiatan ini digelar di berbagai desa di kabupaten Sumbawa sehingga Kegiatan sabung ayam menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Tradisi atau kebiasaan, dalam bahasa latin disebut dengan traditio atau diteruskan yang berarti sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut menyukai perbuatan itu. Jika kebiasaan sudah diterima oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang, maka segala tindakan yang bertentangan dengan kebiasaan akan dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum (Soerjono Soekanto ; 1990).

Hadirnya kegiatan sabung ayam dalam kehidupan masyarakat Sumbawa berpengaruh terhadap nilai sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Hal ini terlihat pada angka budidaya ternak ayam masyarakat Sumbawa pada tahun 2015, angka ternak berjumlah 629. 969 ekor, pada tahun 2016 mencapai 1.490.450 ekor, dan tahun 2017 berjumlah 1.022.923 ekor (Sumbawa dalam angka 2020). Belum lagi harga ayam aduan yang cukup fantastis. Bagi yang belum diadu, kisaran antara Rp.400.000 sampai Rp.600.000 perekor. Begitupun yang sudah diadu dan menang dengan harga berkisar Rp.1.500.000 sampai dengan Rp.2.000.000. Dengan tinggi harga ayam aduan tentu berpengaruh terhadap tingkat perekonomian masyarakat (hasil investigasi PUSHAM, 2019).

Sebagai kebiasaan dalam kehidupan masyarakat Sumbawa, sabung ayam juga mempengaruhi kehidupan ekonomi pengrajin kurung ayam. Rata-rata pengrajin terdapat di berbagai desa di kabupaten Sumbawa, seperti di wilayah Moyo hilir, alas, dan beberapa kecamatan lain di kabupaten Sumbawa. Dalam sehari pengrajin ini bisa menjual lima sampai tujuh dalam sehari sehingga mampu meraup keuntungan mencapai satu juta dalam sehari.

Baca Juga :  Peluang Industri Kecil Menengah di Masa Pandemi Covid-19

Ini artinya bahwa keberadaan sabung ayam menjadi keberkahan bagi kehidupan masyarakat. Namun disisi lain aktivitas ini dianggap penyakit sosial. Karena bertentangan dengan norma agama dan norma hukum, hingga norma lain sehingga membuat masyarakat tidak begitu simpati dengan sabung ayam.

Namun disisi lain ada budaya yang masih di pelihara oleh masyarakat hingga sekarang. Budaya ini mendapat legitimitas kekuasaan. Karena selalu digelar pada momentum tertentu, seperti festival moyo. Budaya ini adalah balapan kuda. Dalam bahasa sumbawa di sebut dengan budaya main jaran. Budaya ini mendapat tempat terbaik di tengah masyarakat serta mendapat dukungan penuh pemerintah daerah Pasalnya kegiatan main jaran ini memiliki keunikan tersendiri dari daerah lain yakni menggunakan joki kecil.

Penggunaan joki kecil dalam budaya ini, jika dikaji lebih dalam merupakan kegiatan yang tidak manusiawi karena memperkerjakan anak, menempatkan anak pada dunia kekerasan, dan bahkan berpotensi membunuh anak. Tidak hanya itu budaya ini penuh dengan unsur judi di dalamnya. Aktivitas judi melampaui anggaran judi yang terdapat disabung ayam. Namun aktivitas ini terindikasi tidak pernah di gubris dan di bubarkan oleh penegak hukum (hasil Investigasi PUSHAM Tahun 2019). Padahal selain judi, eksploitasi anak dalam kegiatan ini bertentangan dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang diungkapkan dalam Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Ini membuktikan ada indikasi pilih kasih dalam penegakan hukum terhadap problem yang hidup ditengah masyarakat. Padahal keberadaan sabung ayam, walaupun dianggap penyakit sosial yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak namun tidak berpotensi menimbulkan unsur tidak manusiawi didalamnya, seperti budaya main jaran. (red)