Mewaspadai Cuaca Ekstrim Dan Peningkatan Potensi Banjir

Opini615 Views

Oleh: Dr.IEKE WULAN AYU, STP., M.Si
Bidang Ilmu: Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Samawa
Ketua LPPM Universitas Samawa

BERBAGI News – Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang bervariasi dari tergolong kering sampai sangat basah, namun distribusinya tidak merata baik secara spasial maupun temporal. Kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat memasuki puncak musim hujan sejak Januari 2021.

Hasil penelitian analisis kondisi iklim dan neraca air yang telah di lakukan selama rentang waktu 15 tahun terakhir di Kabupaten Sumbawa, menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan mulai terjadi pada bulan Januari dan cenderung meningkat dalam periode puncak di bulan Februari serta mulai menurun di bulan Maret 2021, sehingga masyarakat harus tetap waspada menghadapi potensi cuaca ekstrim yang terjadi.

Cuaca ekstrim sangat berpotensi menimbulkan dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir. Seperti yang terjadi di sembilan desa yang berada di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Moyo Utara (Desa Pungkit, Sumbawa (Kelurahan Samapuin, Brang Bara dan Bugis), Labuhan Badas (Labuhan Sumbawa), Moyo hilir (Desa Moyo, Moyo Mekar dan Serading) dan Rhee (Desa Rhee). Hal ini bukanlah suatu hal baru, mengingat Kabupaten Sumbawa berada pada wilayah yang memiliki 3 bulan basah dan 8 bulan kering dengan sifat hujan yang eratik.

Curah hujan eratik yaitu aliran permukaan terkonsentrasi dalam jumlah besar dan waktu yang singkat sehingga sebagian besar mengalir sebagai aliran permukaan menyebabkan recharge air tanah menjadi rendah berdampak terhadap cadangan air pada musim kemarau menjadi rendah.Hasil proyeksi prakiraan curah hujan bulanan akan cenderung lebih basah dibandingkan musim hujan tahun lalu sebagai dampak fenomena iklim global La Nina yang terjadi sejak awal Oktober 2020.

Baca Juga :  Beras Melejit, Rakyat Menjerit

Saat ini, masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi dinamika atmosfer yang tidak stabil dan berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah. Adanya sirkulasi siklonik di selatan Indonesia dan utara Australia meningkatkan pertumbuhan gugus awan yang berpotensi menimbulkan curah hujan tinggi.

Curah hujan tinggi, peningkatan pemanfaatan ruang dan lahan yang tidak terkendali, luapan beberapa sungai besar yang mengalir ke tengah kota, kerusakan lingkungan pada daerah hulu, kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater, berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai, dan macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah serta ketidakjelasan status dan fungsi saluran menjadi isu hangat yang berkembang, menjadi penyebab terjadinya banjir yang selanjutnya dapat berdampak pada kejadian bencana yang lebih besar, apabila tidak dikelola dengan lestari.

Sudah saatnya, paradigma kebencanaan di rubah dari upaya responsive menjadi preventif mulai dilakukan jauh sebelum BMKG mengeluarkan peringatan dini terkait kewaspadaan, dari pendekatan sektoral menjadi multisektoral, dari urusan pemerintah ke urusan bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana.

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044, pada 10 September 2020sudah  menghendaki adanya desain sistem ketahanan bencana yang bersifat menyeluruh, yang didukung kapasitas kelembagaan pemerintah, kemitraan lintas pemangku kepentingan, sistem data, ilmu dan teknologi, peran serta masyarakat dan kearifan lokal, dan kolaborasi dengan komunitas global.

Desain sistem ketahanan bencana harus dimulai dengan menata ulang seluruh peraturan perundang-undangan agar adaptif dalam penanggulangan bencana yang dilakukan secara menyeluruh, berupa kegiatan fisik seperti pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai (in-stream) sampai wilayah dataran banjir (off-stream), dan kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir.