Pendemi Berujung PHK, Perempuan dan Anak Jadi Korban Kekerasan

Opini554 Views

Oleh: Muhammad Ali Sopian
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi
Universitas Mataram

BERBAGI News – Pada saat  kondisi  pendemi   sekarang menyebabkan banyaknya karyawan swasta yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dunia kerja yang sangat berpengaruh terhadap  perekonomian mendapatkan ujian yang paling berat sejak awal terjadinya pendemi covid-19 yang melanda Indonesia pada Maret 2020. Tidak sedikit perusahaan yang memutus hubungan kerja dengan karyawan. Pendemi virus corona mengakibatkan dampak serius di sektor ketenagakerjaan. Data Menteri Tenaga Kerja menunjukan dimasa pendemi tercatat 1.792.108 juta buruh yang harus di PHK. Orang tua yang awalnya memiliki pekerjaan dan sudah aman dalam urusan finansial tiba-tiba dihadapkan dengan kondisi yang belum pernah dibayangkan sehingga banyak penyebab orang tua melakukan kekerasan terhadap anak karena kebingungan dengan keadaan yang berubah dari biasanya pada saat pendemi covid-19.

Mayoritas anak mengalami kekerasan selama belajar daring di rumah. Keterbatasan ekonomi keluarga untuk membiayai pembelajaran daring anak menjadi salah satu sebab orang tua lebih mudah terpancing amarahnya, saat anak tidak mampu menguasai proses pembelajaran jarak jauh di rumah, kondisi perekonomian yang sedang melemah serta kebutuhan yang harus terus terpenuhi. Kondisi ini , cukup memprihatinkan melihat dampak PHK yang berujung terhadap kekerasan perempun dan anak  yang dilakukan di NTB. Seperti, kekerasan fisik, mulai dari dorongan, cubitan, tendangan sampai pemukulan, selain  kekerasan psikologis, mulai dari membuat jadi takut, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan tekanan-tekanan psikologis lainnya. Kondisi ini masih dianggap hal sepele di  masyarakat. Pemahaman tokoh agama,  tokoh masyarakat, dan orang tua masih sangat kurang. Melihat masih banyaknya kekerasan perempuan dan anak terutama di masa pendemi.

Baca Juga :  Rokok Jagung Sasak dalam Balutan Budaya dan Hukum

Yuliana “Mayoritas anak mengalami kekerasan selama belajar daring di rumah. Keterbatasan ekonomi keluarga untuk membiayai pembelajaran daring anak menjadi salah satu sebab orang tua lebih mudah terpancing amarahnya saat anak tidak mampu menguasai proses pembelajaran jarak jauh di rumah,” jelasnya.

Yuliana mengatakan perlu upaya strategis dalam menguatkan fungsi dan peran keluarga dalam proses pendampingan anak selama berkegiatan di rumah. Kapasitas keluarga perlu diperkuat terutama fungsi keluarga dalam mendampingi anak selama pandemi COVID-19.

“Meskipun tidak mudah, dengan upaya maksimal dan kerja sama sedini mungkin dan memperkokoh peran serta sekolah, keluarga, dan masyarakat, seharusnya kita mampu bersama-sama mengatasi kasus kekerasan terhadap anak selama pandemi COVID-19,” katanya.

Pengetahuan dan informasi cara menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sangat kurang, karena permasalahan ini masih sangat dinggap sepele dan tidak menghiraukan dampak yang ditimbulkannya.

“Secara umum perempuan dan anak mengalami tindakan kekerasan, karena anak yang dipekerjakan secara penuh, adanya kesenjangan ekonomi antara laki-laki dengan perempuan, dominasi laki-laki terhadap perempuan, pengambilan keputusan yang berbasis laki-laki serta konstruksi kebudayaan masyarakat yang masih kuat bahwa perempuan lebih banyak hanya menjadi pekerja rumah tangga.” di kutip dari jurnal  Jhon Dirk Pasalbessy.

Anak-anak yang akan cenderung mengalami kekerasan. Anak lebih sedikit meninggalkan rumah, akan sering bertemu dengan orang pelaku kekerasan, anak yang lebih kecil tidak memahami cara melapor atau mengakses bantuan, kurangnya aktivitas di sekolah sebagai tempat yang aman bagi anak serta dukungan dari sekolah.

Jika dilihat dari data System informasi online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA) pada 29 Pebruari – 10 Juni 2020 terdapat 787 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan 523 kasus KDRT.

Baca Juga :  Divisi Pengabdian Masyarakat Himasos Unram Mengasah Kepekaan Sosial

Serta Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings menyoroti maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi. “Berdasarkan data SIMPONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi. Oleh karena itu dalam menghadapi new normal ini, kita harus pastikan angka ini tidak bertambah lagi dengan melakukan upaya pencegahan yang mengacu pada protokol penanganan anak korban kekerasan dalam situasi pandemi Covid-19,” jelas Valentina.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Nusa Tenggara Barat menunjukkan kekerasan terhadap anak di provinsi tersebut meningkat 12 persen selama pandemi Covid-19.

Sementara itu, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan kekerasan terhadap anak mencapai 5.697 kasus dengan 5.315 korban sepanjang 1 Januari 2020 hingga 23 September 2020. Sedangkan di NTB sendiri kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat  12 % hingga tahun 2020.

Oleh sebab itu untuk mengurangi dan mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dibutuhkannya peran dari semua pihak, tidak hanya dari pemerintah semata melainkan dari orang terdekat dan pertama yang menjadi tempat sosialisasi perempuan dan anak yaitu keluarga. Dengan memanfaatkan pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta dilibatkannya kelompok-kelompok yang berda dekat dengan masyarakat serta mudah diakses.

Salah satu yang bisa dijadikan role model atau contoh dalam penurunan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan  dan anak yaitu Yayasan Tunas Alam   NTB (SANTAI NTB) yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan anak. Berangkat dari permasalahan yang ada  SANTAI NTB melihat sangat perlunya ada solusi yang diberikan di salah  satu desa di Lombok Utara  langsung berinisiasi serta menjadi pelopor untuk di bentuknya Forum Anak (FA) .Cara yang  yang ditempuh oleh SANTAI NTB  yaitu mengajak diskusi  para tokoh pemuda, kepala desa, para kepala dusun dan para tokoh masyarakat, akhirnya terbentuklah Forum Anak (FA) di Desa Medana sejak tahun 2019.

Baca Juga :  Permasalahan System Daring Dalam Dunia Pendidikan

Dari terbentuknya FA ini mampu mengajak para anak-anak, orang tua dan masyarkat di Desa Medana  untuk mengkampanyekan Stop nikah di usia anak, pekerja anak serta kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dengan diikuti kegiatan-kegiatan lainnya, seperti belajar menjadi pelopor, belajar menulis, kegiatan keagamaan, olah raga dan masih banyak lagi kegiatan positif lainnya, sebagai tempat anak bermain dan belajar.

Ini merupakan  tempat paling mudah dan dekat dengan masyarakat yang bisa dijadikan  desk konsling seperti kelompok pengajian, ibu-ibu PKK, Dharma Wanita, Karang Taruna, PGRI, dan berbagai kelompok Lembaga sosial lainnya yang dapat dengan mudah diakses sebagai tempat desk konsling, tentu dengan akomodasi, pasilitas yang memadai dan sosialisasi atau pemberian pemahaman serta langkah-langkah dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Ini merupakan langkah yang efektif dalam menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia khususnya NTB yang sudah menjadi momok dan ibarat gunug es. Tentu dengan diimplementasikan rekomendasi-rekomendasi ini dapat mencegah secara konkrit serta hasil yang positif. Sehingga mampu megurangi maslah-masalah terutama yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ali)

Editor : Lalu Sahid Wiadi