Membedah Kasus Pencurian Dalam Keluarga di Sumbawa

Opini1447 Views

Oleh: Endra Syaifuddin Ahmad, SH., MH
Pakar Pidana Fakultas Hukum Universitas Samawa

Kensep Negara Hukum

Dalam konsep negara hukum menghendaki segala sesuatu dilaksanakan menurut hukum, sehingga seluruh perilaku masyarakat, serta tindakan dan kewenangan aparatur negara harus sesuai dengan hukum. Dalam kajian hukum pidana kita kenal dengan asas legalitas sebagai dasar hukum untuk melakukan tindakan atau upaya penegakan hukum yang bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat manusia guna melindungi kepentingan umum.

Membedah Kasus Pencurian Dalam Keluarga di Sumbawa

Menarik kasus yang diberitakan oleh media online samawarea (23/02) mengenai kasus pencurian itu terjadi pada 15 Januari 2021 pukul 17.00 Wita, sebagaimana laporan polisi nomor LP/41/I/2021/SPKT,  korban NR bertempat tinggal di  Kelurahan Pekat Kota Sumbawa, melaporkan bahwa rumahnya dibobol maling, ternyata tersangka pelakunya adalah suaminya sendiri, yang kemudian oleh Polres Sumbawa diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak Reserse dan Kriminal Polres Sumbawa menerapkan system restorative justice (RJ) dalam menyelesaikan perkara tersebut.

Dalam pemberitaan media Kasat Reskrim Polres Sumbawa, IPTU Akmal Novian Reza S.IK menjelaskan telah menyelesaikan kasus pencurian tersebut, dengan menerapkan sistem restoratif justice, kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan melalui proses mediasi, yang mana penyidik memfasilitasi penyelesaian antara istri dan suami ini, karena diketahui pelapor dan terlapor masih suami-istri yang sah. Kerugian yang ditimbulkan dalam kasus itu juga nilainya di bawah Rp 2 juta.

Pelapor sudah memaafkan perbuatan pelaku atau suaminya tersebut dan mencabut laporan polisi atas kasus pencurian itu, maka kasus tersebut dianggap selesai.

Cita Hukum

Dalam kajian teori hukum kasus di atas mencerminkan hukum dan aparat hukum berkerja dengan baik guna mewujudkan cita hukum, karena hukum merupakan alat atau instrumen melindungi hak-hak masyarakat dan menjamin ketertiban, ketentraman dalam masyarakat. Dalam beberapa dekade dewasa ini pengaduan ke aparat hukum sering terjadi, dikarenakan anggapan sebagian masyarakat bahwa setiap permasalahan akan lebih baik diselesaikan dengan ranah hukum atau pengadilan padahal alangkah baiknya jika diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Baca Juga :  Kuliah Cuma Belajar, Benarkah..? Pengalaman Merdeka Belajar dari Kampoes Djoeang FH UNSA

Seperti halnya pemberitaan di atas jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 367 KUHP, pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan pihak korban. Pencurian dalam keluarga menurut Pasal 367 Ayat (2) disebutkan bahwa pencurian dalam keluarga merupakan salah satu bagian dari delik aduan.

Secara normatif perdamaian tidak dapat menghapuskan pidana, tetapi dalam hal delik aduan, pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan, sesuai ulasan Pasal 75 KUHP diatur dalam rumpun Bab VII tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, dalam hal ini “Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan” dengan demikian Pasal 75 KUHP hanya bisa berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang sifat deliknya adalah delik aduan saja. Pasal 75 KUHP para penegak hukum lebih mengutamakan penyelesaian perkara khusus pencurian dalam keluarga dengan sistem kekeluargaan.

Jika kita mengacu kepada UU 52 tahun 2009 tentang Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, dalam Pasal 1 poin 6 menerangkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Pencurian dalam Keluarga

Kasus pencurian dalam keluarga, merupakan bentuk kasus dari pencurian biasa, dalam definisi pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang merupakan milik orang lain dengan cara melawan hukum, seperti tertuang dalan Pasal 362 KUHP menyebutkan “Barang siapa yang mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hukum. Sebagai tindak pidana pokok pencurian, dengan unsur subjektif yaitu dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum dan unsur objektifnya yakni barang siapa, mengambil, sesuatu benda dan sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

Baca Juga :  Memimpin Dengan Kelembutan Hati

Bentuk pokok dari tindak pidana pencurian di atur dalam Pasal 362 KUHP yaitu bahwa siapapun yang melakukan tindak pidana pencurian, diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah, jika dikaitkan dengan Pasal 367 KUHP, apakah rumusan bentuk pokok dari tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP merupakan rumusan mutlak dengan tidak ada perkecualian. Dengan kata lain apakah setiap orang siapapun juga yang melakukan tindak pidana pencurian seharusnya dilakukan penuntutan dan kalau terbukti seharusnya dipidana.

Seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP. Kasus pencurian dalam keluarga seperti diulas di atas adalah  bentuk dari pencurian yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP yaitu dalam Pasal 367 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari korban.

Secara normatif, delik aduan yang tetap diproses meski pengaduannya telah dicabut, pemprosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemprosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Jadi pencurian dalam keluarga pada Pasal 367 KUHP, menurut Pasal 75 KUHP orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam  waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan.

Restoratif Justice dan Cita Hukum

Sekarang ini bahwa setiap permasalahan akan lebih baik diselesaikan dengan ranah pengadilan padahal alangkah baiknya jika diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau dengan cara diluar pengadilan (Restorasi Justice). Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:

Baca Juga :  Mungkinkah Pasar Seketeng Gagal Perencanaan Dan Apa Solusinya?
  1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya);
  2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya
  3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.