Menangkap Hikmah Isra’ dan Mi’raj

Religi562 Views

Oleh : ASWAN NASUTION
(Pengurus PW Al Washliyah Prov. Nusa Tenggara Barat)

Saat ini kita sudah berada lebih dari sepertiga terakhir di bulan Rajab Tahun 1442 Hijiriyah.

Bulan Rajab menjadi bulan yang penting karena berbagai peristiwa bersejarah terutama dalam kaitan dengan sejarah keislaman terjadi pada bulan ini.

Salah satu yang paling fenomenal adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pada tahun ke 11 dari kerasulan Baginda Rasulullah Muhammad SAW tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 1 yaitu :

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Isra’ : 1).*

Banyak peristiwa yang dikisahkan Al Qur’an, tapi jarang sekali diawali dengan kalimat tasbih.

Ketika Al Qur’an menceritakan bagaimana Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di laut merah, itu peristiwa hebat dan menghebohkan tapi tidak dimulai dengan kalimat tasbih.

Jika untuk memaparkan peristiwa Isra’ Mi’raj Allah memakai kalimat tasbih, tentulah bukanlah suatu kebetulan.

“Subhanalladzzi” (Maha Suci Allah) Maha Suci dari segala kelemahan, kekurangan dari segala kesia-siaan.

Allah SWT mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin peristiwa Isra’ Mi’raj.

Artinya merupakan pertanda bahwa Isra’ Mi’raj bukanlah suatu peristiwa biasa.

Adapun hakikat dan tujuan dari pada Isra’ dab Mi’raj tersebut hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi di penghujung ayat itu kita dapat menjumpai kalilamat ” Linuriyahu min ayatina” (Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami……”

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seluruh pemandangan dan peristiwa yang dilihat dan dijumpai Nabi sepanjang perjalanan merupakan sebagian kecil tanda-tanda kebesaran Allah.

Baca Juga :  Perayaan Ulang Tahun Perspektif Islam

Demikian itu merupakan tamsil, contoh dan perjalanan bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini.

Misalnya ketika Nabi melihat orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri, beliau bertanya : ” Ya Jibril, itu orang macam apa?” Jibril yang pada perjalanan Isra’ Mi’raj bertugas sebagai pendamping menjelaskan.

Ya, Muhammad, itu adalah contoh dari ummatmu yang suka menjelek-jelekan saudaranya sendiri.

Maksudnya sesama muslim adalah bersaudara seperti satu tubuh. Jika yang satu sakit yang lain seharusnya ikut merasa sakit.

Sehingga logis jika seorang muslim yang suka menjelek-jelekan saudaranya digambarkan seperti orang yang mencakar-cakar mukanya sendiri.

Seperti kata pepatah.*Menepuk air didulang, terpercik kemuka sendiri.”

Lalu Nabi melihat orang yang dipotong lidahnya. Kata malaikat Jibril: Ya Muhammad itu tamsilan dari ummatmu yang hobinya menebar fitnah, tukang gosip, yang suka mencari-cari kekurangan, kelemahan dan aib orang lain.

Kemudian beliau menjumpai orang yang memikul kayu. Bebannya tampak sudah berat, akan tetapi, beban yang sudah membuat jalannya terseok-seok itu makin ditambah, makin berat makin ditambah, begitu seterusnya.

Sehingga Nabi merasa heran dan bertanya: Ya Jibril apa lagi ini? Jawab malaikat Jibril, Ya Muhammad, itulah gambaran ummatmu yang dipercaya untuk memikul amanat, tetapi sebelum amanat itu diselesaikan dia sudah menerima amanat yang lain. Akhirnya bertumpuk-tumpuk di pundaknya.

Di beri jabatan dan tak mampu menunaikan, namun ketika dikasih lagi ia mau, diberi lagi dia terima dan seterusnya.

Demikian jabatan di sana-sini yang dirangkap, tapi tak satupun yang berhasil dan tuntas dilaksanakan semuanya terbengkalai.

Selanjutnya di tempat lain Nabi SAW menyaksikan pula sekelompok orang yang bercocok tanam.

Anehnya, saat itu menanam pohon itu berbuah. Tiap kali dipetik seketika itu keluar lagi buahnya.

Baca Juga :  Langit Tak Akan Pernah Menurunkan Hujan Emas

Maka malaikat Jibril: Wahai Muhammad, itulah sebuah potret ummatmu yang dengan gemar berbagi memberikan bantuan kepada sesama, orang yang memang memerlukannya.

Mereka rajin berbagi, bersedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim piatu, memberikan bantuan kepada pembangunan masjid, menyelenggarakan dakwah, pendidikan, dan sosial lain sebagainya.

Jadi orang yang rajin membelanjakan hartanya dijalan Allah itu ibarat orang yang sekali menanamkan dan terus-menerus memanen buahnya.

Sehingga miliki kita yang sebenarnya adalah apa yang telah kita berikan kepada orang lain, bukankanlah apa yang ada pada kita sekarang ini.

Dengan kata lain, harta dan uang kita yang sesungguhnya adalah harta dan uang yang sudah kita belanjakan di jalan Allah SWT.

Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang disaksikan Nabi Muhammad SAW. Sebagai pelajaran (ibrah) bagi kita umatnya sekaligus merupakan sebagaimana Allah hendak memperlihatkan sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya.

Uraian di atas memperlihatkan bawa Isra’ Mi’raj memiliki isyarat bahwa manusia harus menjaga stabilitas pribadinya selaku hamba Allah.

Miskin jadi hamba Allah kayapun tetap hamba Allah. Jadi orang biasa hamba Allah, punya pangkat, jabatan, kedudukan, harus tetap jadi hamba Allah SWT.

Kapan dan dimanapun, dalam kondisi yang bagaimanapun, nilai kehambaan kita jangan sampai tergeser atau pudar.

Maka bersykurlah kita yang hidup di suatu zaman yang jauh dari Zaman Rasulullah: Kita belum pernah berjumpa dengan Nabi SAW, kita belum pernah mendengar tuturan beliau, juga kita tidak pernah menyaksikan gerak langkah perjuangan beliau.

Tetapi kita percaya akan peristiwa Isra’ Mi’raj jauh lebih beruntung daripada mereka yang hidup di zaman Nabi SAW, tetapi mereka tidak mau beriman.

Hanya saja yang perlu kita catat dan renungkan bersama, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan cerminan kehidupan manusia di masa kini.

Baca Juga :  Pemimpin Tauladan Sepanjang Zaman

Wallahu a’lam bish showab.