Polemik Jalan Samota, Panji Prabu Dharma, SH., MH: Antara Hak Milik atau Kawasan Hutan

Berita Utama1182 Views

BERBAGI News – Pembangunan akses Jalan Samota di Kabupaten Sumbawa tahun ini Pemerintah Pusat kembali menggelontorkan anggaran untuk jalan lingkar utara Sumbawa tersebut, yang total panjangnya direncanakan 24,7 kilometer. Tahun 2021 ini mendapatkan alokasi anggaran untuk 5 kilometer jalan, yang berlokasi di Desa Kukin Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, rencana pembangunan jalan sepanjang 5 kilometer tahun 2021 ini, terkendala karena tanah yang akan dilalui jalan tersebut adalah kawasan hutan yang memiliki sertipikat hak milik (SHM), atau tanah milik warga yang memiliki alas hak SHM tersebut masuk dalam kawasan hutan, sehingga lahan tersebut tidak dibayar, karena dinyatakan masuk dalam kawasan hutan, disisi lain secara keperdataan lahan tersebut milik masyarakat dengan alas hak SHM yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa pada Tahun 2014, dengan SHM Nomor 114 atas nama Kamaruddin dan SHM 115 atas nama Adnan, yang kemudian dijual dan kini menjadi milik Agus Salim.

Terkakit dengan masalah ini, peneliti agraria Fakultas Hukum Universitas Samawa, Panji Prabu Dharma, SH., MH kepada Berbagi News menerangkan bahwa “konflik agraria antara masyarakat pemilik hak atas lahan yang ada SHM dengan pemerintah atau dengan invertor sudah sering terjadi di Indonesia, ini menarik untuk dikaji dalam wilayah agraria di Kabupaten Sumbawa, agar warga tidak melakukan perbutan eigen rechting (main hakim sendiri.red), begitu juga dengan aparatur negara dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa agar tidak melakukan perbutan main hakim sendiri dengan dalil bahwa lokasi obyek tanah atau lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.”

Pemengang hak juga harus dilindungi hak keperdataannya, karena secara defacto (kenyataan dilapangan.red), warga sudah menguasai lahan secara turun temurun dengan beraktivitas di atas lahan tersebut dan pada akhirnya warga mereka telah memperoleh hak atas tanah dengan sertifikat hak milik dari kantor Pertanahan Sumbawa, sehingga secara yuridis telah memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut, jika kita mengacu pada Pasal 32 Ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, artinya warga telah memperoleh legitimasi sebagai alat bukti hak yang kuat, kita ketahui PP No. 24 Tahun 1997 ini dihajatkan sebagai jaminan hak atas tanah yang telah terdaftar dan memiliki SHM, karena pada Pasal 1 poin 1 diterangkan bahwa “pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya,” ulas Panji.

Baca Juga :  Data Kendaraan dihapus, 2 Tahun Tidak Perpanjang STNK

Kemudian dalam konsep penguasaan negara, yang mana negara memiliki kewenangan pengusaan dan pengaturan atas tanah sesuai ketentuan Undang-undang Pokok Agraria Pasal 2 Ayat (2), dalam kasus ini secara dejure SHM telah terbit di atas lahan tersebut oleh negara lewat institusi BPN yang telah menjalankan kewenangannya melalui tindakan penelitian tanah hingga bermuara pada publikasi SHM secara prosedural,” terang Panji peneliti agraria Fakultas Hukum UNSA ini.

Kasus ini jika dibedah dalam kajian konstutional dan HAM seperti termuat dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Kemudian dalam konstitusi kita Pasal 28 H Ayat (4) mengamanahkan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal ini memberi jaminan secara konstitusional
perlindungan hak kepemilikan termasuk di dalamnya adalah hak kepemilikan tanah, sehingga negara bertanggung jawab untuk melindungi dan menghormati hak tersebut,” jelas Panji.

Dalam hal keperdataan sertipikat hak milik adalah bukti hak yang terkuat, sepanjang tidak dapat dibuktikan kelemahannya, artinya tidak mutlak, karena sistem hukum agraria kita menganut sistem negatif bertendens positif artinya sertifikat sebagai bukti hak yang kuat sepanjang tidak ada bukti bahwa sertifikat tersebut tidak memenuhi syarat dan terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bahwa sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka sertifikat tersebut harus dibatalkan. Guna memberikan kejelasan polemik jalan samota antara hak milik atau kawasan, Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan NTB mengajukan pembatalan sertifikat, pembatalan ini dapat dilakukan antara lain mendaftakan ke pangadilan sampai ada putusan pengadilan yang incrach (kekuatan hukum tetap.red) atau Dinas Kehutanan NTB dapat mengajukan permohonan pembatalan ke BPN Sumbawa untuk diadakan kajian terkait SHM tersebut,” tutup dosen muda dari Fakultas Hukum UNSA ini. (Red)