Penerapan Konsep Politik Islam di Era Modern Perspektif Al Mawardi

Opini1353 Views

Oleh: Muhammad Najmul Akhyar
Mahasiswa IISBUD SAREA, Fakultas Ilmu Sosial, Prodi Ilmu Pemerintahan

BERBAGI News – Sebagai sebuah ilmu, Islam memberikan banyak panduan mengenai berbagai bidang, termasuk dalam bidang politik. Salah satu ilmuannya, Al Mawardi merupakan tokoh pertama yang mengeluarkan teori mengenai politik negara yang berdasarkan dengan prinsip dan nilai Islam.

Al Mawardi juga merupakan pakar politik pertama yang menjelaskan mekanisme pemilihan dan pengangkatan kepala negara serta penerapannya dengan baik. Al Mawardi menjelaskan bahwa sebuah negara perlu memiliki pondasi berupa lembaga khilafah (Sistem kepemimpinan), khalifah (Pemimpin), dan persyaratan yang diperlukan untuk menjadi khalifah. Dalam konsep tersebut Al Mawardi lebih mengutamakan pendekatan institusional dengan memaksimalkan fungsi pelembagaan negara.

Dapat disimpulkan bahwa konsep ini sangat relevan pada sistem pemerintahan dan administrasi negara. Konsep yang diperkenalkan Al Mawardi memiliki kesesuaian dengan apa yang diungkapkan oleh Montesquieu seorang pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan, Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Montesquieu juga dikenal dengan ajaran Trias Politika nya atau pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga. Dengan adanya Khalifah sebagai Eksekutif; Lembaga Ahl al-Halli wa al-‘Aqdhi sebagai Legislatif; dan Ahl al-Ikhtiyar sebagai Yudikatif.

Konsep ini memiliki relevansi dengan negara yang menggunakan sistem parlementer. Prinsip penting yang menjadi esensi dari sistem pemerintahan yang diajukan Al Mawardi ini adalah musyawarah (syra’). Konsep Syura’, tentu dalam konteks prinsip kenegaraan Islam sangat terkait erat dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mengayomi kehidupan umat, dan melayani umat menuju kemaslahatan
bersama (al-maslahat al-ammah).

Baca Juga :  Penerapan Nilai Pancasila dalam Pandemi Corona

Hal ini dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip yang universal (Kulliyat). Prinsip-prinsip yang bersifat umum inilah yang membentuk dasar-dasar syari’ah yang bersumber dari kumpulan prinsip-prinsip khusus (juziyyat).

Hubungan pemimpin dan rakyat dalam sistem pemerintahan adalah berdasarkan keadilan, persamaan, dan mendahulukan suatu perkara yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum, yang semuanya itu adalah landasan dari sebuah kemaslahatan.

Dalam mewujudkan konsepsi tersebut, tentu dibutuhkan sarana atau cara untuk menjembataninya, yang dalam Islam dapat diwujudkan dalam bentuk musyawarah (syura).

Selain itu, sosok pemimpin juga menjadi bagian integral dalam konsep yang diajukan Al Mawardi tersebut. “Ada paradigma yang menyebutkan bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik yang saling memerlukan. Agama memerlukan negara sebagai wadahnya untuk berkembang secara terjamin dan negara membutuhkan agama sebagai pembimbing dalam etika dan moral. Karena itu kriteria pemimpin dalam konsep ini didasarkan pada agama, yaitu Quran dan Sunnah.

Karena seperti yang kita lihat Modernisasi politik di Indonesia dalam tingkat tertentu telah menimbulkan sekularisasi politik. Namun di negara yang berideologi Pancasila ini, proses itu tidak akan mengarah kepada negara sekuler. Hubungan antara agama dan negara adalah hubungan persinggungan, tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah.

Di sisi lain, ekspresi kebebasan dalam kasus-kasus tertentu telah menimbulkan perselisihan dan konflik yang bisa mengganggu harmoni sosial dan integrasi bangsa. Dalam konteks inilah agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif yang mendukung eksklusifisme dalam masyarakat. (Najmul)