Palestina, Pencabikan Kemanusian dan Kepalsuan Ide HAM

Opini656 Views

Oleh: Hajirun
(Ketum Gerakan Mahasiswa Ideologis Mataram)

BERBAGI News – Penjajahan bukan hanya soal peroncean kepemilikan suatu negara atas tanah beserta kekayaan-kekayaan yang terkandung di dalamnya. Penjajahan tidak saja menyangkut hegemoni politik, ekonomi dan militer terhadap suatu negara. Penjajahan juga tidak selalu berkaitan dengan pembunuhan massal yang dilakukan negara atau militer terhadap negara lain. Tetapi lebih jauh dari itu, penjajahan adalah sebuah upaya pencabikan hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki setiap individu masyarakat suatu negara.

Padahal sebagaimana kita maklum, HAM adalah sejumlah hak yang melekat pada setiap individu tanpa memandang status-status sektoral seperti nasionalitas, etnisitas, rasialitas, agama dan sebagainya. Artinya, setiap manusia tidak sah mengeksploitasi, meronce dan menjarah, sebagai konsekuensi atas kepemilikan hak hidup bebas dan merdeka yang dimiliki manusia lainnya.

Berdasarkan hal itu, melihat penjajahan Palestina semestinya tidak hanya pada aspek pencaplokan tanah atau wilayah oleh Israel saja. Tapi seyogyanya, upaya mengkaji persoalan Palestina harus menjorok pada aspek perenggutan hak asasi manusianya (HAM). Dengan kalimat lain, kehadiran Israel di tanah Palestina harus kita interpretasikan lebih dari sekedar perampasan hak milik, melainkan secara jelas Israel telah melanggar ketetapan Internasional yang telah disepakati sebagai hukum universal yang berlaku untuk setiap negara. Itulah HAM.

Hal ini penting, mengingat term HAM sering mengemuka dalam hampir setiap kasus pembunuhan atau bentuk kekerasan fisik lainnya, baik dalam cakupan nasional maupun global. Tujuannya pengamatan ini jelas, untuk mengukur sejauh mana konsistensi para penggaung HAM dalam mempertahankan nilai kemanusiaan yang dimiliki setiap pribadi? Benarkah para pengusung HAM memberikan perhatian serius terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM? Sudahkah mereka mengadili secara proporsional kepada mereka (baca:negara) yang melanggar ketetapan HAM?

Rangkaian pertanyaan ini penting untuk diutarakan disini untuk dikupas secara tuntas, agar dunia menjadi tahu seperti apa hakikat HAM. Apakah HAM merupakan ide yang sifatnya universal dan berlaku secara sama bagi setiap umat manusia? Atau sebaliknya, HAM merupakan produk sektoral yang bersifat etnosenteris dan bertujuan untuk membesarkan sebagian dan mengeksploitasi sebagian lainnya.

Baca Juga :  Jujur dan Adil

Penjajahan Palestina bukanlah masalah baru bagi dunia adalah fakta. Orang yang menetap di dunia terjauh sekali pun tahu bahwa penjajahan Palestina adalah masalah yang terbilang lama. Panjangnya penderitaan Palestina memicu munculnya pertanyaan baru, mengapa problem tersebut dapat berlansung dalam kurun waktu yang lama? Muncul juga keheranan, bagaimana mungkin kasus pencabikan hak asasi manusia dapat terjadi di tengah peradaban yang memuja HAM? Bersamaan dengan itu muncul pula ketidakpercayaan akan fakta, benarkah kasus pembunuhan massal, perenggutan hak milik, asusila terhadap wanita dewasa dan anak-anak perempuan dapat menguap begitu saja tanpa penyelesaian serius dan tuntas dalam lembaran peradaban yang menggaungkan HAM? Ini seperti anekdot bukan?

Problem Palestina memang terkesan seperti anekdot. Banyak media, termasuk media tanah air, yang memberitakan masalah Palestina sebagai konflik prebutan hak milik, bukan penjajahan. Jelas, pemberitaan ini bertujuan untuk menciptakan satu pola dan kesan publik yang sama atas Palestina. Dan celakanya, umat Islam juga ikut terhibnotis dengan framing yang digencarkan media tersebut. Sehingga muncul anggapan dikalangan umat Islam, “Biarkan Palestina dan Israel saling-hantam, toh keduanya sama-sama punya kepentingan”. Anggapan ini masih bertengger disebagian besar benak umat Islam.

Pada awal tahun 2.000-an, salah satu situs berita nasional menyatakan bahwa PBB telah mendamaikan Palestina dan Israel. Pemberitaan ini sontak mendapatkan respon positif dari seluruh dunia, termasuk dunia Islam. Sejak saat itu, masalah Palestina sempat hilang dalam perbincangan global. Namun, tidak berselang lama Israel kembali berulah di Palestina dan pada saat yang sama PBB tidak berbuat banyak. Ujungnya, kredibilitas PBB dimata umat Islam mulai anjlok secara perlahan.

Bila kita menilik kembali track reecord penyelesaian masalah Palestina, segudang keheranan akan kita temukan. Pasalnya, sejak beberapa dekade lalu hingga kini Palestina terus digerogoti dengan krisis kepastian hukum. Palestina seperti hidup di tengah peradaban manusia yang tidak berlandaskan hukum, sehingga tatkala mereka ditimpakan masalah penyelesaiannya adalah hukum rimba, “anda kuat anda bebas dan merdeka,namun bila anda lemah, tetaplah berada dalam kondisi terjajah“.

Baca Juga :  LSM Yayasan Tunas Alam Indonesia Soroti Pekerja Anak di NTB

Maka benarlah apa kata orang bahwa “dunia tipu-tipu”. Kita benar-benar hidup dalam dunia yang bertopengkan hipokrisi. Tidak ada kata-kata yang bisa dipegang, tidak ada hukum yang bisa dipijak dan tidak ada institusi yang dapat dipercaya sebagai messiah di tengah masalah yang menimpa. Diplomasi ala PBB hingga hari ini ternyata tidak solutif, terbukti Israel tetap saja melanggar. Resolusi yang digagas PBB juga tak banyak menyelesaikan masalah, kecuali hanya menambah derita palestina hingga semakin dalam. Kecaman yang dilontarkan penguasa-penguasa muslim juga tak cukup menggentarkan Israel, hingga kini Israel masih berdiri gagah dengan moncong senjata yang selalu dipegangnya.

Padahal dunia sudah tahu, operasi militer Israel merupakan bentuk pelanggaran HAM. Dan secara hukum, ini jelas-jelas melanggar tata hukum internasional yang menegaskan kemerdekaan dan hak hidup merupakan miliki seluruh negara. Tindakan Israel sudah jauh dan jauh di luar ambang batas kemanusiaan dan tidak dapat ditolerir lagi. Sehingga tepatlah orang mengatakan ” tidak perlu menjadi muslim, cukup menjadi manusia anda pasti tidak rido atas kekejaman Israel“. Manusia adalah entitas yang memiliki keprihatinan dan rasa simpati yang tinggi. Secara fitri, ia dikaruniahkan dengan naluri penentang pembantaian dan segala bentuk kekerasan fisik. Itu artinya bila ada orang yang suka membantai dan suka menyaksikan pembantaian tidak layak disebut sebagai manusia, bukan?

Sejauh ini umat Islam patut bertanya, apakah PBB benar-benar memperhatikan secara serius masalah Palestina? Jangan sampai penyelesaian ala PBB hanyalah strategi untuk meredakan kemarahan Dunia Islam dan memperpanjang derita Palestina. Umat Islam juga mulai menaruh curiga, mungkin saja kecaman penguasa-penguasa muslim disampaikan tidak dengan sepenuh hati dan tekat bulat untuk menuntaskan masalah Palestina. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Karena memang hingga kini belum ada upaya-upaya praktis yang mereka lakukan, kecuali mengirim sebungkus roti dan tablet obat untuk rakyat Palestina yang terluka dan kelaparan.

Baca Juga :  Pemenuhan Nutrisi Pada Ibu Hamil Guna Mencegah Kejadian Stunting Pada Bayi

Dengan demikian jelaslah bahwa HAM adalah ide bohong-bohongan yang diciptakan Barat. Ide ini sengaja dikonstruksikan untuk dijadikan sebagai komoditas dan instrumen politik global Amerika dan negara-negara kapitalis besar untum melancarkan dan menancapkan hegemoni atas negera dunia ketiga, khusunya dunia Islam. Ini terbukti pengaplikasian ide HAM cenderung dan selalu bermakna ganda dan tebang-pilih. Isu HAM mengemuka dan pengusungnya marah-marah tatkala menghadapi kasus dengan subjek berstatuskan Islam. Dan pada saat yang sama, isu HAM justru tenggelam di tengah kasus yang diprakarsai subjek yang bukan Islam.

Pada akhirnya, umat Islam mesti sadar bahwa kita hidup dalam peradaban yang berpijak di atas ketidakadilan dan kebohongan. Keadilan adalah benda asing dalam peradaban sekarang, sementara ketidakadilan dan kebohongan menjadi konsumsi harian, dan celakanya umat Islam selalu saja terkena impak dari hal itu. Karena itu persatuan global di bawah institusi rintisan Rasullullah Saw perlu diwujudkan kembali. Itulah satu-satunya kekuatan umat yang mampu melawan dominasi Barat hari ini.