Budaya Mencontek dan Plagiasi, Ciri-Ciri Generasi Bermental Korupsi

BERBAGI News – Sistem pendidikan di Indonesia kini terus berupaya mencari pola tentang system penilaian dan standarisasi mutu pendidikan. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendidik dan mencerdaskan anak bangsa melalui kemendikbud dengan memberlakukan kurikulum yang berbeda pada tiap periode pengajaran. Namun, di sisi lain fenomena yang ada menunjukkan bahwa tedapat sebuah masalah moral dalam pendidikan yang mengakar dan terus menerus dilakukan oleh berbagai generasi penerus hingga saat ini, pada dasarnya implementasi kurikulum pendidikan hanya berfokus pada nilai akademis saja sehingga tidak terlalu memperhatikan nilai non-akademis dan pendidikan karakter dari para pelajar atau generasi penerus bangsa. Hasil penelitian berjudul cheating in academic institusions, a decade of research yang dilakukan oleh peneliti dari Pennsylvania state university menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pelajar yang mencontek dari tahun ke tahun, yang cukup mengejutkan para pelaku tindakan menyontek ini bukan saja anak dengan kepandaian biasa-biasa saja tetapi tetapi juga dilakukan oleh mereka yang cerdas dan aktif dalam kegiatan disekolahnya.

Lewis R Aiken dalam admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan “mencontek” di Amerika Serikat meningkat. Dikatakan bahwa kasus mencontek tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku, tetapi mencontek disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru. Pada peneltian Aiken yang ditujukan pada kasus CAP dan CTBS (California achievement program dan California test for basic skills), ditemukan bahwa alasan siswa mencontek karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Berkaca pada pernyataan seseorang sekelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah kepemimpinan Anies Baswedan dahulu yang prihatin dengan Indeks Integritas atau tingkat kejujuran Ujian Nasional (UN) di Indonesia yang masih rendah.

Dengan alasan standar kelulusan semakin tinggi sehingga perbuatan contek-mencontek bagi pelajar di Indonesia di halalkan, kebiasaan mencontek akan berdampak pada pertumbuhan karakter yang tidak baik bagi para pelajar mulai dari kebiasaan mengambil milik orang lain tanpa izin, plagiarism, senang jalan pintas dan malas berusaha. Bisa dipastikan saat siswa sudah dewasa dan hidup sendiri tabiat-tabiat hasil perilaku mencontek mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti mencuri, korupsi, manajemen buruk, pemalas tapi ingin mendapat jabatan dan pendapatan tinggi, diharapkan kita akan lebih paham makna pendidikan yang sebenarnya sehingga kita tidak akan menyalahgunakan dari pendidikan itu sendiri, ketika dunia pendidikan kita menerapkan sistem ujian nasional (UN) sebagai standar atau ukuran kelulusan. Dalam konteks kehidupan bangsa saat ini bisa jadi para koruptor-koruptor besar mungkin adalah mereka-mereka yang terbiasa mencontek di sekolah, dengan kebiasaan mencontek ini memiliki potensi untuk menjadi koruptor penipu dan penjahat.

Baca Juga :  Kreatif dan Inovatif, Mahasiswa KKN-T Unram Kembangkan Olahan Cokelat Tempe di Desa Keroya

Sistem pendidikan yang ada di suatu negara pada umumnya merupakan gambaran dari kondisi sosial ekonomi dan politik bangsanya. Kondisi Indonesia dari berbagai aspek kehidupan bangsanya merupakan cerminan dari kualitas sistem pendidikan yang ada di Negara ini. pendidikan yang diharapkan dapat menjadi ruang yang akan melahirkan pemimpin bangsa dan melakukan revolusi dalam mendorong kemajuan Negara melalui pendidikan, dunia pendidikan hingga saat ini hanya berorientasi pada nilai akademis tanpa memperhatikan nilai kejujuran dalam diri pelajar. Demikian yang terjadi di Indonesia persoalan pendidikan belum beranjak menuju perubahan yang cukup signifikan. Orientasi pendidikan tetap menjadi perdebatan klasik dan selalu dipertanyakan bahwa pendidikan di Indonesia sedang mengalami involusi. Di Indonesia yang bergulat dalam bidang pendidikan bukan makin cerdas, berwawasan luas, berdedikasi, kreatif, jujur dan adil atau kerja tinggi.

Namun  bisa dikatakan  pendidikan dari berbagai jenjang mulai dari sekolah dasar hingga jenjang perkuliahan hanya mementingkan hasil yang diperoleh tanpa mempertanyakan prosesnya, sehingga banyak ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh pelajar, bahkan oknum yang terlibat dalam kegiatan menyontek ini juga di dilakukan oleh guru sebagai fasilitator dimana guru yang di harapkan akan menjadi pengawas dan memberikan dukungan moral dan karakter serta kejujuran dan tanggung jawab tetapi justru memberikan keringanan dan bahkan memberikan bocoran soal maupun jawaban sehingga siswa merasa bahwa kegiatan menyontek yang dilakukan merupakan suatu kewajaran. Realitas dunia pendidikan saat ini menunjukkan terjadinya ketimpangan sosial dimana para pengajar dan siswa lebih focus bagaimana memperoleh nilai yang bagus tanpa memikirkan proses memperoleh nilai tersebut. Secara tidak langsung tentu saja hal ini akan melemahkan karakter dari para pelajar, padahal sudah tentu di negara ini kita tidak kekurangan orang pintar melainkan orang yang berkarakter jujur dan bertanggung jawab.

Jika kita telaah lagi pendidikan saat ini kurang memperhatikan penanaman karakter dan nilai moral pada pelajarnya padahal sekolah diharapkan akan menjadi wadah atau media yang akan memberikan pendidikan moral dan karakter.  Tentu saja, pendidikan karakter lebih menantang ketimbang sekedar mengajari anak-anak agar lulus ujian. Dalam pendidikan karater tidak ada rumus yang baku karena berkaitan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat. Prakteknya pun di dunia nyata bukan di atas kertas yang bisa di manipulasi, karena itu pendidikan karakter ini memerlukan dukungan dari orang tua selaku agen sosialisasi pertama anak, juga di perlukan kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan orangtua dalam mengembangkan pendidikan karakter salah satunya adalah tentang kejujuran, tanggung jawab dan berproses. Bahkan tidak sedikit kasus jual beli kunci jawaban pada saat UN dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Setiap tahun selalu ada saja berita mengenai praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN.

Baca Juga :  Pentingnya Pemanfaatan Lahan Kosong, KKN Tematik Unram gelar Workshop di Desa Tegal Maja

Tidak bisa dipungkiri memang sistem pendidikan di Indonesia berorientasi pada nilai kognitif dan kurang menanamkan pendidikan karakter. Mindset jika anak yang pintar adalah anak yang nilainya bagus dan mendapatkan peringkat di kelas sudah tertanam pada kebanyakan siswa maupun orang tua secara turun-temurun. Padahal, kepintaran atau kecerdasan setiap individu itu berbeda-beda.

Menurut Prof Howard Gardner, tokoh pendidikan dan psikologi berkebangsaan Amerika, tipe kecerdasan beserta ciri-cirinya dibagi menjadi delapan, kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis atau logika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis. Sehingga tidak adil rasanya jika individu yang berprestasi dibidang olahraga (memiliki kecerdasan kinetik-jasmani) tetapi nilai kognitifnya kurang kita anggap bodoh. Perlu adanya perubahan sistem pendidikan yang menghargai setiap kecerdasan.

Mari kita intip bagaimana Finlandia sebagai Negara dengan Sistem Pendidikan terbaik di dunia mendidik para calon penerus bangsa. Di Finlandia, tidak ada sistem ranking, karena mereka menganggap setiap anak adalah ranking satu. Ujian Nasional pun hanya dilakukan satu kali yaitu pada usia 16 tahun, dan pelajar diajarkan untuk mengevaluasi dirinya sendiri sejak dini. Jika di Indonesia tugas dan evaluasi rutin dilakukan, Finlandia sebaliknya, mereka mengganggap bahwa banyaknya tugas dan evaluasi justru menghambat kreatifitas siswa. Penekanan pendidikan di Finlaindia juga menyeimbangkan antara soft-skill (kemampuan mengatur diri dan orang lain) dan hard-skill (kemampuan kognitif), sehingga calon penerus bangsa memiliki karakter yang baik.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah kepemimpinan Anies Baswedan dahulu yang prihatin dengan Indeks Integritas atau tingkat kejujuran Ujian Nasional (UN) yang masih rendah. Bahkan ia menyebut, korupsi yang sekarang banyak terjadi, berawal dari tindakan contek-mencontek. Perbuatan mencontek ini dilakukan dengan bebagai macam cara dan modus, mulai dari kode-kode jari, dengan lemparan catatan kertas kecil, menyembunyikan catatan bahkan ada yang berani terang terangan membuka buku. Pada titik inilah terdapat persamaan yang sangat kental antara para siswa yang mencontek dengan para koruptor. Mencontek dalam ujian merupakan tindakan tak terpuji layaknya korupsi. “Mencontek adalah usaha untuk mendapatkan nilai yang bagus dengan cara yang curang.  Sama halnya dengan koruptor yang menghalalkan cara untuk kaya, tapi dengan cara yang curang.

Baca Juga :  Ubah Sampah Jadi Kompos dan Souvenir

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa perlu untuk memasukkan materi antimenyontek dalam kampanye antikorupsi di berbagai daerah. KPK menganggap menyontek adalah embrio perbuatan korupsi. kedua perbuatan ini baik mencontek maupun korupsi begitu marak terjadi, bahkan dilakukan secara massiv dan sistematis, para pelakunya kompak bekerjasama dan saling melindungi serta memberikan banyak alasan untuk tidak mengakui perbuatannya saat tertangkap basah, sehingga mereka tampak seperti orang- orang yang “merasa benar dijalan yang sesat”. Semangat menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan untuk menguntungkan diri sendiri lalu menganggapnya sebagai hal yang lumrah inilah yang menjadikan seorang siswa sebagai calon koruptor kelak di masa mendatang, ketika mereka telah berkecimpung kedalam kehidupan bermasyarakat sebagai pribadi-pribadi yang mempunyai kekuasaan dan wewenang atas jabatan yang mereka sandang. Untuk itu diperlukan usaha yang sinergis dan berkesinambungan dari berbagai pihak, utamanya dari lingkungan sehari-hari tempat para siswa ini tumbuh dan berkembang,  yaitu lingkungan keluarga dan sekolah.

Mentalitas menyontek ini akan merongrong bangsa ini. Ia akan membius, menghujam, melukai bahkan melumpuhkan sehingga bisa menjadi bangsa yang kerdil dan miskin identitas. Kalau pendidikan menjadi kata kunci dan pondasi bagi kemajuan bangsa ini, akankah bangsa ini bisa maju dengan kondisi yang ada sekarang ini. Ketidakjujuran, perilaku korupsi sudah mengakar dan menjalar ke mana-mana, tidak melihat status pendidikan, legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif yang berperan dalam penegakan hukum sudah banyak terlibat dalam beberapa kasus korupsi. Realita  ini menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan yang dalam hal menumbuhkan manusia yang berkarakter baik dan berakhlak mulia. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian dan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara,

Sebagaimana amanat UU No 20 Tahun 2003 yang hakekatnya adalah mengembangkan kemampuan dan potensi diri peserta didik dengan dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan, kepribadian, akhlak mulia dan kemandirian. Pelajar sebagai peserta didik adalah anggota masyrakat yang berusaha mengembangkan potensi diri dan menemukan jati dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan satuan pendidikan tertentu. Pelajar merupakan subyek didik di dalam lembaga pendidikan maka diperlukan pembimbingan seluruh proses belajarnya sebagai peserta didik dalam proses pembimbingan. Oleh karena itu, marilah awali hidup kita dengan sikap kejujuran dan tanpa harus berbuat curang untuk mencapai keinginan tertentu. (ria)