Optimalisasi Pemberantasan Predator Seksual dalam Sistem Pendidikan

BERBAGI News – Kekerasan seksual yang terjadi dan paling banyak menimpa anak-anak dan perempuan khususnya di dalam system pendidikan merupakan isu yang semakin hari semakin memanas. Kekerasan seksual yang menimpa anak-anak Indonesia bukan saja terjadi di wilayah-wilayah yang rawan kekerasan tetapi juga terjadi di wilayah yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak seperti di lingkungan pendidikan yang pelakunya tidak jauh dari orang-orang yang dikenal oleh korban itu sendiri.

Komnas Perempuan mencatat jumlah pengaduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sebanyak 45 kasus sepanjang 2015-2020. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan lingkungan pendidikan belum bebas dari kekerasan. Itu terlihat dari kenaikan jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan yang meningkat dari 2015 sebanyak tiga kasus menjadi 15 kasus pada 2019. Total ada 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015-2020.

Tingginya kasus kekerasan seksual berdasarkan data diatas menggambarkan rendahnya perhatian pemerintah serta lembaga penegak hukum terhadap permasalahan ini. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan harus ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena kerusakan yang disebabkannya telah mengancam masa depan generasi bangsa. Kekerasan seksual berarti juga telah merusak aset yang paling penting dan berharga dari negara, karena masa depan negara digantungkan pada anak-anak di masa sekarang.

Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan menjadi salahsatu isu yang sangat fenomenal belakangan ini. Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada bulan November kemarin cukup menyita perhatian public dan akademisi. Kejadian tersebut menimpa seorang mahasiswi Universitas Riau yang berinisial L diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya.  Terduga pelaku yang juga dosen L tersebut adalah Dekan Fakultas FISIP Universitas Riau yang berinisial SH.

Sebuah institusi pendidikan yang sejatinya adalah tempat tumbuh kembang peserta didik dalam urusan literasi dan pengembangan soft skill harusnya menjadi ruang yang aman bagi mereka. Tetapi, nampaknya hal ini tidak berlaku bagi para penyintas  kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam kasus kekerasan seksual. Kasus seperti ini nyatanya banyak terjadi di sekolah maupun Universitas dan menjadi “rahasia umum yang sengaja dilupakan” oleh sebagian besar pihak di dalamnya. Tidak banyak korban yang berani melapor karena stigma terhadap korban kekerasan masih sangat kuat, belum lagi jika hal ini dilakukan oleh pihak yang mempunyai posisi penting dan kekuasaan dalam institusi pendidikan. Selain itu, tidak adanya kebijakan bahkan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan membuat minimnya tindak lanjut dari pelaporan jika ada yang masuk.

Baca Juga :  Cegah Bencana Banjir, KKN Unram Tanam 863 Bibit Pohon di Desa Kabuan Pandan

Bentuk kekerasan seksual dalam institusi pendidikan pun beragam macamnya, dari pelecehan seksual, percobaan pemerkosaan hingga pemerkosaan, serangan bernuansa seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan pernikahan antara korban perkosaan dengan pelakunya. Hal ini terjadi dibanyak tempat di Indonesia dengan pelaku yang beragam, seperti Guru, Dosen, Staff administrasi, Senior bahkan dilakukan oleh teman sendiri. Dalam institusi pendidikan ini, Dzeich dan Weiner (1990) menyebutkan adanya beberapa tipe pelecehan seksual yang sering terjadi, diantaranya adalah:

  1. Tipe “Pemain-Kekuasaan” atau “quid pro quo”, di mana pelaku melakukan pelecehan untuk ditukar dengan benefit yang bisa mereka berikan karena posisi (sosial) nya, misalnya dalam memperoleh atau mempertahankan pekerjaan, mendapat nilai bagus, rekomendasi, proyek, promosi, order, dan kesempatan lain.
  2. Tipe “berperan sebagai figur Ibu/Ayah”, pelaku pelecehan mencoba untuk membuat hubungan seperti mentor dengan korbannya, sementara itu intensi seksualnya ditutupi dengan pretensi berkaitan dengan atensi akademik, profesional, atau personal. Ini merupakan cara yang sering digunakan oleh guru yang melecehkan muridnya.
  3. Tipe “Anggota Kelompok” (“geng”). Ini semacam inisiasi untuk dianggap sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu. Misalnya, pelecehan dilakukan pada seseorang yang ingin dianggap sebagai anggota kelompok tertentu, dilakukan oleh anggota-anggota kelompok yang lebih senior.
  4. Pelecehan di tempat tertutup, yaitu pelecehan yang dilakukan oleh pelaku secara tersembunyi, dengan tidak ingin terlihat oleh siapapun, sehingga tidak ada saksi.
  5. Groper, yaitu pelaku yang suka memegang-megang anggota tubuh korban. Aksi memegang-megang tubuh ini dapat saja dilakukan di tempat umum ataupun di tempat yang sepi.
  6. Oportunis, yaitu pelaku yang mencari kesempatan adanya kemungkinan untuk melakukan pelecehan. Misalnya di tempat umum yang penuh sesak, pelaku akan mempunyai kesempatan untuk mendaratkan tangannya di bagian-bagian tubuh tertentu korban.
  7. Confidante, yaitu pelaku yang suka mengarang cerita untuk menimbulkan simpati dan rasa percaya dari korban. Sebagai contoh, korban mula-mula terbawa perasaan karena pelaku menceritakan permasalahannya. Setelah itu pelaku membawa korban pada situasi di mana si korban dipaksa untuk menjadi pelipur lara atas penderitaan yang diceritakannya
  8. Pelecehan situasional, di mana pelaku memanfaatkan situasi korban yang sedang ditimpa kemalangan. Berlainan dengan tipe sebelumnya, yang sedang ditimpa kemalangan justru adalah si korban, dan kemudian pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Misalnya, korban yang sedang sakit, korban yang mengalami cacat fisik, korban yang sedang dilanda stress karena ditinggal mati keluarganya, dsb.
  9. Pest, yaitu pelaku yang memaksakan kehendak dengan tidak mau menerima jawaban “tidak”. Pemaksaan kehendak ini dilakukan karena pelaku sangat menginginkan untuk melakukan perbuatan yang ingin dia lakukan, tidak peduli dengan perasaan korban.
  10. The Great Gallant, yaitu orang yang mengatakan komentar-komentar “pujian” yang berlebihan, tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan rasa malu pada korban. Dapat saja komentar-komentar itu justru berlawanan dengan kondisi yang sebenarnya dari si korban.
  11. Intellectual seducer, di mana pelaku mempergunakan pengetahuan dan kemampuan untuk mencari tahu tentang kebiasaan atau pengalaman korban, dan kemudian dipergunakan untuk melecehkan korban.
  12. Incompetent, yaitu orang yang secara sosial tidak kompeten dan ingin mendapatkan perhatian dari seseorang (yang tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap pelaku pelecehan), kemudian setelah ditolak, pelaku balas dendam dengan cara melecehkan si penolak.
  13. Bentuk pelecehan seksual “Lingkungan”, yaitu yang dianggap “sexualized environment”. Ini adalah lingkungan yang mengandung obsenitas, gurauan-gurauan berbau seks, grafiti yang eksplisit menampilkan hal-hal seksual, melihat pornografi di internet, poster-poster dan obyek yang merendahkan secara seksual, dsb. Biasanya hal ini tidak dituj ukan secara personal pada seseorang, tetapi bisa menyebabkan lingkungan yang ofensif terhadap orang tertentu.
Baca Juga :  Kolaborasi, Kelompok Pemuda dan Mahasiswa KKN Unram Kembangkan Wisata Pantai Buaya di Desa Segara Katon

Upaya untuk menghadirkan perlindungan terhadap korban kekerasan masih banyak menemui hambatan. Pandangan bahwa kekerasan seksual disebakan oleh perempuan itu sendiri masih menjadi pemahaman umum yang sulit untuk diubah, juga dengan paham patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek dan digunakan untuk merendahkan posisi perempuan. Jika dulu terdapat pemahaman bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan berasal dari golongan miskin dan tidak perpendidikan, sekarang justru semakin beragam dan juga dilakukan oleh para terpelajar. Institusi pendidikan yang sejatinya adalah tempat bernaung para “pelajar yang terdidik” malah memperlihatkan kebodohannya sendiri dalam melindungi peserta didiknya.

Insititusi pendidikan harus mulai berbenah diri. Banyaknya kasus yang mulai mencuat ke publik seharusnya memberikan tamparan untuk segera berubah. Upaya perlindungan korban dapat dimulai dari dalam dengan menyusun kebijakan sebagai permulaannya. Kebijakan yang baik pun, harus dibuat dengan pemahaman yang baik pula, yaitu pemahaman yang adil gender dan memprioritaskan upaya perlindungan bagi korban. (vfn).

DAFTAR PUSTAKA
Handayani, T. (2018). Perlindungan Dan Penegakan Hukum Terhadap Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 2(2), 826-839.
https://regional.kompas.com/read/2021/11/06/152032078/cerita-lengkap-kasus-mahasiswi-universitas-riau-mengaku-dicium-dosen-saat?page=all
https://www.voaindonesia.com/a/lingkungan-pendidikan-belum-bebas-dari-kekerasan-seksual/5637501.html
https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-143060080/dekan-fisip-jadi-tersangka-kasus-pelecehan-seksual-mahasiswi-rektor-unri-diperiksa-polda-riau
https://nasional.kontan.co.id/news/tuai-pro-kontra-ini-poin-poin-penting-permendikbud-ristek-no30-tahun-2021-1