Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Masa Pandemi

Opini409 Views

BERBAGI News – Pandemi covid-19 ternyata tidak hanya menyerang aspek kesehatan dan ekonomi tetapi berdampak juga pada kekerasan perempuan dan anak. Data menjelaskan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemi lebih tinggi 4x lipat dari kondisi normal. Terdapat 291.677 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh PN dan PA (terlapor, tercatat) dalam CATAHU tahun 2021 Komnas Perempuan dan terdapat 2.389 kasus dari Lembaga mitra Komnas Perempuan. Dari seluruh data yang tercatat, 79% kasus terjadi berada di ramah personal. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan yang paling banyak terjadi dan menempati posisi pertama adalah kekerasan dalam keluarga, selanjutnya kekerasan dalam hubungan pacaran, kemudian kekerasan terhadap anak perempuan, mantan pacar/pasangan dan pekerja rumah tangga.

Kekerasan yang dilakukan bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional verbal bahkan seksual. Terlebih Sebagian besar kegiatan selama pandemi dilakukan secara online maka muncullah kekerasan bentuk baru yakni Kekerasan Berbasis Gender Online atau disebut KBGO.

Penyebab Terjadinya Kekerasan

Gambar : Ilustrasi Stress Meningkat Akibat Work From Home

Kasus kekerasan yang terjadi biasanya disebabkan oleh berbagai faktor. Yang pertama, work from home menyebabkan banyak beban pekerjaan jadi menumpuk dirumah. Hal ini menyebabkan para orang tua khususnya ibu rumah tangga mengalami beban mental yang cukup besar, selain melakukan pekerjaan rumah ia juga dituntut mendampingi anak belajar online dirumah belum lagi masalah kerjaan lainnya. Seperti yang kita ketahui, banyak orang tua yang masih awam teknologi sehingga digitalisasi pandemi akan membuat mereka sedikit kualahan dalam mengajari anak dirumah. Akibatnya segala runtut permasalahan yang ditanggung membuat para orang tua stress dan akhirnya terjadilah kekerasan terhadap anak baik secara emosional, verbal dan fisik.

Baca Juga :  Penghianatan Terhadap UUPA 1960, Akar Problemtika Agraria Yang Belum Tuntas

Yang kedua, faktor ekonomi. Himpitan ekonomi yang berat membuat lagi-lagi perempuan dan anak menjadi sasaran kekerasan. Diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberbagai daerah tentu berpengaruh pada proses produksi, distribusi dan kegiatan operasional lainnya yang menyebabkan penurunan kinerja perekonomian. Hampir seluruh sektor usaha ditutup, sejumlah karyawan di PHK dan angka pengangguran pun meningkat. Banyak keluarga yang tidak bisa memenuhi sandang pangan kehidupan mereka hingga pada akhirnya terjadilah perselisihan suami dan istri dan bisa jadi berimbas juga pada anak.

Gambar : Kekerasan Berbasis Gender Online

Yang ketiga, faktor sosial media, penggunaan internet yang mengalami kenaikan di masa pandemi tidak dibarengi dengan literasi digital yang mumpuni, khususnya bagi perempuan dan anak sehingga lebih sulit bagi mereka untuk melindungi diri di internet. Berbagai kekerasan dan pelecehan terjadi dimedia sosial. Bentuk pelecehan yang dilakukan berupa komentar tidak senonoh, ancaman untuk menyebarkan media tak senonoh (37,5%), pornografi balas dendam (15%), dan penuntutan gambar atau video tak senonoh (10,4%). Tidak hanya itu, Perdagangan perempuan bahkan terjadi melalui penggunaan teknologi, termasuk pemilihan dan persiapan korban (kekerasan seksual terencana).            Yang keempat, krisis hukum yang mengatur masalah kekerasan perempuan. Dengan meningkatnya angka kekerasan seksual di Indonesia Komnas Perempuan merancang naskah RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). RUU PKS ini nantinya diharapkan bukan hanya menjadi landasan hukum bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga sebagai payung hukum pelindung bagi para korban sehingga mendapat perlindungan dari negara. Lalu, benarkah RUU P-KS ini menjadi solusi atas maraknya kekerasan seksual? Tentu tidak, justru menjadikan masalah baru. Karena jika RUU ini disahkan, akan semakin marak perzinahan atas dasar suka rela yang dilegalkan negara tak terkecuali para remaja.

Baca Juga :  Hanya 63% Masyarakat Sumbawa Taat Protokol Kesehatan

Solusi Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual bisa diatasi melalui 3 cara. Yang pertama, menjalankan peran dan kewajiban sebagai ummat beragama. Terutama untuk ummat Islam, kita telah diperintahkan untuk menutup aurat bagi perempuan dan menundukkan pandangan bagi laki-laki. Hal tersebut sejatinya merupakan solusi untuk mengurangi angka kekerasan terutama dalam hal seksual. Dengan meningkatkan ketaqwaan kita terhadap Allah tentu membuat hati dan diri kita terbentengi untuk tidak melakukan hal yang keji dan dilindungi dari hal yang demikian.

Yang kedua, melalui edukasi. Pentingnya edukasi terutama kepada diri sendiri dan orang-orang terdekat tentang bagaimana berani untuk katakan tidak, jauhi dan laporkan tindak kekerasan. Edukasi ini bisa dilakukan melalui sosialisasi, melakukan kajian isu kekerasan dan melakukan dialog dengan Lembaga atau instansi yang menangani kekerasan,

Yang ketiga, melalui advokasi. Advokasi adalah mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Advokasi juga dapat dipahami sebagai proses check and balances. Advokasi kebijakan publik adalah proses di mana individu atau kelompok dan organisasi berusaha mempengaruhi kebijakan publik. Dengan melakukan advokasi sebagai upaya memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak tentu kita berperan dalam meminta kepada pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang bersifat solusi untuk melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Advokasi bisa dilakukan dengan melakukan kampanye baik secara online maupun offline, membuat petisi, melakukan demonstrasi dan advokasi hukum. (ais)